Nationalgeographic.co.id—Seiring bertambahnya populasi manusia, kebutuhan umat manusia terhadap energi juga terus bertambah. Dan seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia akan gawatnya krisis iklim, kebutuhan manusia untuk memanfaatkan energi yang ramah lingkungan juga terus meningkat.
Negara-negara di dunia telah sepakat untuk mulai mengurangi bahkan meninggalkan penggunaan energi bahan bakar fosil karena jenis energi tersebut menghasilkan emisi karbon dan meningkatkan laju krisis iklim. Mereka mulai beralih ke energi baru terbarukan yang ramah lingkungan, misalnya energi panas bumi atau geotermal.
Pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu adalah salah satu langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia lewat PLN, salah satu badan usaha milik (BUMN), untuk memulai peralihan tersebut. PLTP yang beroperasi dengan kapasitas 10 MW itu berlokasi dekat Kawah Ulumbu di Desa Wewo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur,
Sebelum PLTP Ulumbu beroperasi, beberapa warga Desa Wewo sejatinya sempat khawatir mengenai dampak-dampak buruk yang mungkin akan timbul dari PLTP tersebut. Studi tentang panas bumi di Ulumbu dan potensi listriknya udah dimulai sejak 1970.
“Memang awalnya jujur ada kecemasan dan ketakutan masyarakat, tapi itu tahun 80-an,” kata Laurensius Langgut, seorang warga Desa Wewo yang kini menjabat sebagai kepala desa tersebut.
“Waktu itu kami tidak ingat betul apa keresahan masyarakat kita, tapi orang kan masih merindukan tentang listrik waktu itu sehingga begitu diresmikan oleh Pak Dahlan Iskan tahun 2011 itu jadi rasa bangga,” tutur Laurensius saat dijumpai di kantornya akhir September lalu.
PLTP Ulumbu diresmikan pada 11 November 2011 oleh Dahlan Iskan yang waktu itu menjabat sebagai menteri BUMN. PLTP ini kemudian mulai beroperasi sejak 2012.
Kecemasan-kecemasan warga terkait PLTP Ulumbu antara lain menyangkut potensi timbulnya longsor, emisi gas H2S yang korosif dan merusak tanaman, hingga pengambilan air permukaan yang akan berdampak pada lahan pertanian. Kecemasan-kecemasan tersebut kebanyakan muncul karena minimnya pengetahuan masyarakat soal panas bumi.
Menurut Pri Utami, ahli panas bumi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), gas H2S sejatinya keluar secara alamiah dari manifestasi panas bumi (fumarol, solfatara, mata air panas beraroma belerang) dengan atau tanpa adanya pengembangan PLTP. Hal itu dibenarkan pula oleh Laurensius dan beberapa warga lainnya bahwa sebelum ada PLTP Ulumbu pun, Kawah Ulumbu memang sering mengeluarkan gas H2S.
Mengenai klaim adanya kerusakan atap seng dan tanaman akibat gas H2S dari PLPT, menurut Pri, perlu diketahui bahwa semua jenis pengembangan potensi sumber daya alam apa pun termasuk panas bumi harus melalui suatu kajian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Baca Juga: Mengapa Energi Panas Bumi di Flores Ramah Lingkungan dan Perlu Dimanfaatkan?
Beradaptasi dengan Zaman, Tokoh Pemuda Wewo Sadar Kebutuhan Energi Ramah Lingkungan
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR