“Dodoooooooo. Wake up... Wake up... Come on Dodoooo...,” demikian Ida Ayu Diatmini memanggil Dodo dengan lengkingan berintonasi mesra. Barangkali lengkingan itu semesra panggilan ibu kepada anak kesayangannya atau semesra Tarzan memanggil para penghuni hutan.
Setiap hari Ida mengenakan setelan seragam safari warna khaki. Dia bukan perempuan petualang penakluk rimba, melainkan seorang penjaja dan pemberi pakan satwa buas di Bali Zoo, kebun binatang seluas 5,5 hektare di Gianyar, Bali. Tugasnya, menawarkan daging seharga beberapa puluh ribu rupiah kepada para pelancong yang ingin menyaksikan Dodo bersantap.
Sementara, Dodo merupakan satu-satunya harimau sumatra yang menghuni kebun binatang tersebut. Meskipun garang, Dodo kini sudah berusia 22 tahun—cukup tua untuk ukuran harimau—mudah mengantuk dan matanya pun mungkin sudah rabun.
Ida menyimpan kisah kebiasaan Dodo. Pernah pada suatu hari, demikian tutur Ida kepada saya, sekumpulan pelancong mancanegara menyaksikan Dodo di pagar teralis kandang terbukanya. Kucing besar itu berjalan malas-malasan menuju pagar. Tahu bahwa dia sedang diperhatikan, tiba-tiba Dodo berbalik arah dan membelakangi para pelancong sembari menegangkan ekornya ke atas. Mereka tidak tahu apa maksud gerakan manuver satwa ini.
Croot...croot! Dodo melepaskan hasrat buang air kecilnya tepat ke wajah para pelancong. Mereka sungguh terkejut, ungkap Ida, namun justru senang dengan pengalaman kecut—atau asin—yang baru saja terjadi. Kepada para pelancong yang basah itu Ida berujar sembari tersenyum, “Good bless you, It is a memory from Bali Zoo.” Kemudian para pelancong menanggapinya dengan girang sembari menyeka wajah mereka dengan kertas tisu, “Yes, no problem!”
“Ini sudah menjadi kebiasaan Dodo,” ujar Ida sambil menyeruakkan sekerat daging sapi segar dengan menggunakan tongkatnya. “Dia sering kencingin pengunjung.”
Kisah Dodo itu merupakan salah satu polah lucu dari aneka penghuni Bali Zoo. Para pelancong kerap mengabadikan polah mereka dengan fotografi. Pada 2 Juli sampai 8 September 2014, Bali Zoo kembali menggelar kompetisi fotografi bertajuk “Discover Bali Zoo Through Lens: Get Close & Personal with Our Wildlife”. Sebanyak 139 peserta kategori pelajar dan 235 peserta kategori umum berlaga untuk memperebutkan total hadiah senilai Rp50 juta.
Dewan juri dalam kompetisi tersebut adalah Omar Ariff dari International Professional Photographer, Malaysia; Kristupa Wicaksana Saragih, Professional Photographer; dan Reynold Sumayku, Photo Editor National Geographic Indonesia.
Pengumuman pemenang digelar bersamaan dengan acara “Work Wildlife Photography” pada Minggu 7 September 2014 di Bali Zoo, yang dihadiri sekitar seratus peserta kompetisi. Dalam acara yang kental sebagai forum berbagi itu para peserta dapat bertanya langsung tentang fotografi satwa kepada dewan juri.
Anak Agung Gde Lesmana Putra, General Manager Bali Zoo, mengatakan bahwa kompetisi fotografi ini merupakan ajang kedua kalinya. "Kalau dibandingkan dua tahun lalu," ungkap Lesmana,"lomba kali ini jauh lebih baik. A lot of improvement baik di sisi foto yang di-submit, maupun dari penyelenggaraan."
"Tujuannya," lanjut Lesmana, "sebagai ajang bagi teman-teman yang hobi foto wildlife. Jadi semoga tahun depan bisa diadakan dengan lebih baik lagi."
Omar Arif mengungkapkan kegandrungannya dengan salah satu satwa di Bali Zoo, berang-berang cakar kecil atau otter (Aonyx cinirea). Menurutnya, peserta butuh kesabaran untuk memotret satwa yang sangat aktif tersebut. Salah satu kendala dalam memotret satwa ini adalah menemukan waktu yang tepat untuk menjumpainya, demikian ungkap Omar. Fotografer harus berusaha berkali-kali untuk mendapatkan hasil yang terbaik. “Otter merupakan satwa yang paling menantang untuk tahun ini,” ujar Omar. “Anda membutuhkan waktu yang tepat untuk mendapatkan sebuah foto.”
Dalam forum itu Kristupa Saragih menekankan aspek profesionalisme. Seorang fotografer, demikian ungkapnya, sudah sepatutnya terjun bersama fotografer lain dalam menjaga jejaring. Dia juga memotivasi fotografer pemula supaya tidak menyerah hanya lantaran keterbatasan alat. “Banyak fotografer hebat yang berkarya dengan alat pinjaman.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR