Nationalgeographic.co.id - Prigi Arisandi dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) bersama dengan rekannya, Amirudin Muttaqien, tiba di Yogyakarta dengan mengendarai mobil biru dengan tulisan "Brigade Evakuasi Popok".
Membaca kata brigade mungkin membuat Anda membayangkan satuan militer dengan sebuah tugas khusus. Tidak salah memang, namun apa yang mereka lakukan tidak berhubungan dengan penggunaan senjata dan militer. Mereka memburu sampah popok yang mencemari sungai.
Sebanyak 15 sungai yang ada di Jawa Timur telah mereka telusuri. Hasilnya, lima kota di Jawa Tengah dan Jogja tidak luput dari sampah popok bayi. Dikutip dari Mongabay pada Kamis (20/9/2018), aktivis ini mengatakan bahwa sampah popok adalah ancaman bagi sungai di Pulau Jawa. "Sampah popok mengandung limbah beracun," ungkap mereka lebih lanjut.
Baca Juga : Hujan Badai dengan Petir Meningkatkan Keinginan Buaya untuk Kawin
Dengan berbekal garu, tempat sampah, masker, kacamata air, sepatu bot, sarung tangan, dan pakaian antiradiasi, Prigi turun menuju pinggiran Sungai Sempur di Sleman, Yogyakarta. Dia menghitung jumlah popok bayi yang dibuang ke sungai, bercampur dengan sampah plastik, kaleng dan sisa makanan.
“Di Jogja sama saja, orang buang popok ke sungai. Ada ribuan, kami belum tahu motifnya,” ujar Prigi.
Dari data penelitian AC Nielsen yang dibaca oleh Prigi, terungkap bahwa penggunaan popok sekali pakai terus mengalami peningkatan. Hal ini kemudian membuat Prigi khawatir, terutama popok adalah produk rumah tangga kedua yang dicari setelah susu formula.
Dikutip dari Mongabay, Di Indonesia sendiri, terdapat enam miliar popok bayi yang diproduksi setiap tahun. Jawa Timur, dalam sehari, 16 juta popok diproduksi di enam pabrik.
“Kok enak, perusahaan bikin sebanyak-banyaknya, tak ikut tanggung jawab dengan sampah. Lingkungan jadi korban,” katanya.
Baca Juga : Eksperimen Letusan Gunung Berapi Gagal, 59 Siswa di India Terluka
Salah satu motif yang ditemukan oleh Prigi, orang tua masa kini menggunakan popok karena alasan kemudahan, murah, dan tidak sulit dicari. Bahkan, satu popok sekali pakai seharga Rp2.500 dapat ditemukan di warung. Inilah yang membuat produksi popok menjadi semakin banyak.
Sebanyak 60 persen masyarakat daerah urban mempercayai bahwa dengan membuang popok bekas pakai ke sungai, anak bayi tidak "suleten". Dan jika popok bekas dibakar, maka kulit sang anak akan gatal. Motif ini terjadi pula di Blitar, Malang, Kediri, Jombang, Sidoharjo dan Surabaya.
Sebagai informasi, suleten atau yang lebih dikenal dengan Impetigo merupakan infeksi kulit ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada bayi.
Berdasarkan sumber Badan Pusat Statistik 2013, di sekitar Sungai Brantas terdapat 750.000 balita. Bila setiap hari memakai empat popok, maka dalam sehari akan ada 3 juta popok bekas pakai.
Temuan yang didapatnya menunjukan bahwa 60 persen masyarakat sekitar sungai membuang popok di sungai. Dari keseluruhan sampah yang dibuang ke sungai ini, 37 persennya adalah popok bekas. Setidaknya, ada 1,5 juta lebih popok yang dibuang di Sungai Brantas setiap hari.
The Guardian mencatat, di Inggris, sebanyak tiga miliar popok dibuang. Serupa dengan Inggris, di Amerika, 20 miliar popok dibuang setiap tahunnya.
Melalui laporan Australian Science, penduduk Australia menggunakan 5,6 juta popok sekali pakai setiap harinya. Sumber yang sama mengatakan, dua miliar popok sekali pakai dibuang ke tempat pembuangan sampah di Australia setiap tahunnya.
Baca Juga : Seekor Kucing Temukan Sekantong Narkoba Jenis Heroin dan Kokain
Bila ekosistem sebuah sungai sehat, maka perbandingan ikan dengan jenis kelamin jantan dan betina akan berbanding 50:50. Namun, di bagian hulu Sungai Brantas, ikan yang ditemukan mengalami interseks atau di dalam tubuhnya terdapat dua kelamin. Ini diduga kuat akibat dari limbah popok tersebut.
Bahkan di tahun 2018, ketika Ecoton membelah lambung ikan, 80 persen ikan terdapat fragmen plastik dan fiber plastik yang diduga kuat berasal dari bahan popok.
Perlu diketahui, popok akan mengurai bila terkena air dan panas matahari karena popok tersebut berbahan 55 persen plastik, 60 persen gel penyerap air, dan menjadi mikroplastik yang akan mengkontaminasi air. Tidak hanya itu, mikro plastik akan dengan mudah termakan oleh hewan di sana.
Prigi menganggap bahwa selama ini pemerintah gagal dalam mengendalikan banjir popok di beberapa sungai yang ada di Jawa.
Popok yang diproduksi menjadi ancaman ekosistem dan tidak baik untuk kesehatan karena bahan baku penyusun popok 100 persen berbahaya dan beracun (B3), super absorben polymer/SAP (polimer penyerap super) menyusun 42 persen pospak bahan kimia berbentuk serbuk gel penyerap cairan.
Keluarga dengan bayi berusia kurang dari tiga tahun sangat bergantung pada popok sekali pakai (pospak). Penggunaan pospak seolah tidak tergantikan lagi.
Brigade Evakuasi Popok (BEP) melakukan survei kepada 700 orang yang tinggal di wilayah urban atau perumahan dan pinggiran kota (sub urban). Hasilnya, 92,8 persen di perumahan merasa lebih nyaman dan mudah jika menggunakan pospak.
Namun, 85 persen dari mereka membuang popok tanpa memperhatikan aspek keamanan lingkungan karena seringkali popok dibuang tanpa dibersihkan dulu, dengan kotoran yang menempel.
Yang menjadi masalah adalah bahwa 70 persen pengguna pospak tak mengetahui bahaya kesehatan dan dampaknya pada lingkungan.
Dalam survei BEP, dampak kesehatan pada penggunaan pospak telah terdeteksi di mana dari empat kasus yang ditemukan anak harus disunat dini karena gangguan pemakaian popok yang lama tidak diganti.
Baca Juga : Mengubah Sampah Popok Menjadi Perabot Rumah Tangga, Bagaimana Caranya?
Bukan hanya itu saja, pada alat kelamin balita ditemukan adanya kotoran yang menyumbat saluran kencing sehingga ahli kesehatan menyarankan agar balita disunat lebih dini.
Hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih merumuskan desain dan standar pospak ramah lingkungan.
Dalam investigasi yang dilakukan oleh BEP, 99 persen bahan baku popok berbahaya dan beracun. KLHK pun memasukkan sampah popok dalam kategori sampah berbahaya dan beracun. Adapun kandungan dan ancaman kesehatan yakni super absorben polymer (SAP), sodium poliacrylate microplastic, microbeads yang berdampak pada keracunan, radang dan cidera paru-paru.
Ada pula kandungan selulosa (bubur kayu) tributilin berupa limbah B3, dampaknya mengganggu hormon dan iritasi kulit. Selain itu, ada styrene dermatitis, yang dapat menyebabkan depresi sistem syaraf pusat.
Tidak hanya itu, kadungan lain pada B3, karsinogen Xylen dapat menyebabkan iritasi, radang kulit, dan gangguan fungsi paru-paru. Ada pula dioxin, dan mengangu reproduksi, gangguan fungsi hati dan fungsi imun, serta pelapis antikerut pthalate 12, dapat menyebabkan karsinogen, resistensi insulin dan gangguan reproduksi.
Prigi menilai, KLHK dan kepala daerah kurang sigap dalam menangani tumpukan sampah pospak.
“Pemerintah bereaksi saat ada 'kebakaran', tak ada upaya preventif dan edukasi kepada pemakai pospak dan tekanan ke produsen," ujarnya.
Prigi dan BEP mengajak masyarakat untuk terlibat dalam mengurangi pemakaian pospak dan beralih menggunakan popok kain agar lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Baca Juga : Burung Gajah, Burung Terbesar di Dunia dan Misteri Kematian Mereka
Azis, Koordinator BEP mengatakan, Pemprov Jateng dan Yogyakarta harus membersihkan sampah popok di sungai. Dari hasil temuan BEP, jembatan yang ada di Jateng dan Jogja, menjadi lokasi favorit masyarakat membuang sampah popok. Masyarakat enggan membuang popok di tempat sampah karena bau yang akan ditimbulkan dari sampah ini.
Aziz menilai bahwa pemerintah daerah lalai dalam pengendalian pencemaran dan pengelolaan sungai. Penilaian Aziz berdasar pada temuan (pada tujuh jembatan sungai yang menjadi sampling BEP) bahwa semua jembatan atau saluran air terdapat sampah popok.
Lebih lanjut Aziz mencontohkan, di Jembatan Besole Klaten, ada ribuan sampah popok masuk dalam satu kantong plastik dan karung. Dalam satu kresek berisi lebih 10 popok dan dalam karung bisa lebih dari 30 popok.
Sebagian besar sampah popok masih terdapat kotoran yang menempel.
Di sekitar sungai pun tidak ada tanda larangan untuk membuang sampah.
Sampah popok menjadi ancaman baru bagi ekosistem perairan dan masalah yang serius di tingkat global. Menurut data Bank Dunia 2017, disebutkan bahwa sampah popok merupakan penyumbang sampah terbesar kedua di lautan.
Sampah organik menyumbang 44 persen, sampah popok 21 persen, kantong plastik sekali pakai 16 persen, bungkus plastik 5 persen, dan botol minuman kemasan 1 persen.
“Indonesia tercatat memiliki sungai yang berkontribusi terhadap pencemaran laut dari Brantas, Progo, dan Serayu. Bahkan Brantas menyumbangkan lebih dari 28 juta ton sampah per tahun ke lautan,” ungkap Aziz.
Baca Juga : Laporan PBB: Satu Anak di Dunia Meninggal Setiap Lima Detik
Aziz menyarankan agar berbagai pihak bekerjasama dengan produsen popok untuk menyediakan dropping point popok di tempat pembuangan sampah terpadu atau di jembatan dan saluran air yang menjadi tempat pembuangan popok.
Diperlukan juga edukasi masyarakat seperti ibu rumah tangga yang bekerjasama dengan bidan, rumah bersalin dan posyandu, agar tak membuang sampah popok ke sungai. Ia juga menghimbau agar masyarakat mengurangi pemakaian popok sekali pakai.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi sampah popok di sungai, yaitu dengan tidak membuang sampah ke sungai. Selain itu, produsen wajib mendesain dan mensosialisasikan kepada konsumen mengenai bahaya limbah popok.
#BumiAtauPlastik #SayaPilihBumi
Source | : | mongabay.co.id |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR