Nationalgeographic.co.id – Lahan basah, yang menjadi salah satu ekosistem paling berharga dan menyimpan keanekaragaman hayati dunia, menghilang dengan cepat di tengah urbanisasi dan pergeseran lahan pertanian.
“Kita sedang berada dalam krisis,” kata Martha Rojas Urrego, Kepala Ramsar Convention on Wetlands. Ia mengingatkan dampak merusak dari hilangnya area lahan basah, termasuk perubahan iklim.
Laporan 88 halaman dari Convention on Wetland menemukan bahwa sekitar 35% lahan basah – meliputi danau, sungai, rawa-rawa, lahan gambut, laguna, hutan bakau, dan batu karang – telah hilang dari 1970 hingga 2015.
Baca Juga : Siklon Tropis Mangkhut dan Dampaknya Bagi Perairan Indonesia
Saat ini, luas total lahan basah tidak lebih dari 12 juta kilometer persegi. Tingkat kerugian telah mengalami percepatan sejak 2000.
“Kita kehilangan lahan basah tiga kali lebih cepat dibanding hutan. Ini sudah bendera merah,” imbuh Rojas.
Menurutnya, dunia saat ini semakin terfokus pada pemanasan global dan dampaknya terhadap hutan dan laut sehingga nasib lahan basah ‘kurang diperhatikan’. Padahal, lahan basah juga sangat penting bagi semua kehidupan di Bumi.
Langsung atau tidak langsung, lahan basah menyediakan hampir seluruh konsumsi air tawar dunia. Lebih dari 40% dari semua spesies (beragam tumbuhan dan hewan), hidup dan berkembang biak di ekosistem tersebut. Ini membuat mereka rentan punah.
Lahan basah juga menyediakan kehidupan bagi lebih dari satu miliar manusia, terutama dalam perannya mencegah banjir dan melindungi garis pantai. Mereka pun menjadi sumber penting bagi bahan mentah dan sumber daya genetika untuk obat-obatan.
Baca Juga : Habitatnya Dirusak Buldoser, Bagaimana Nasib Koala di Australia?
Ramsar Convention menegaskan bahwa lahan basah esensial untuk ‘mengekang’ perubahan iklim. Sebab, lahan gambut menyimpan karbon dua kali lipat lebih banyak dari hutan dunia.
Rawa-rawa asin, padang lamun, dan bakau juga menyimpan karbon dalam jumlah besar. Jadi, ketika lahan basah menghilang, karbon yang telah tersimpan di tanah akan dilepas kembali ke atmosfer.
Source | : | AFP |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR