Kegelisahan Warga Kulit Putih Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:30 WIB
Felyssa Ricco berdiri di luar rumah di Hazleton, Pennsylvania, tempat ia tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya, Kelly dan Jesse Portanova. Selain mengibarkan bendera AS serta bendera lainnya seperti bendera Perang Revolusi AS “Don’t Tread on Me,” keluarga Portanova kadang mengibarkan bendera Konfederasi. Menurut mereka itu merupakan cara untuk menegakkan pendirian terhadap orang-orang yang percaya bahwa bendera itu tak boleh ditampilkan, atau orang-orang yang ingin mengabaikan sejarah Amerika. (Gillian Laub )

Nationalgeographic.co.id - Pada 2044, warga kulit putih non-Hispanik akan menyumbang kurang dari 50 persen populasi Amerika Serikat. Perubahan demografi yang menyebar ke seluruh penjuru Amerika ini menyulut kegelisahan di antara sebagian warga kulit putih, yang melihat budaya dan posisi mereka terancam.

Bahkan, setelah tambang-tambang batubara ditutup, populasi mulai berkurang dan rumah sakit berada di ambang kebangkrutan, warga Hazleton, Pennsylvania, tetap berbondong-bondong ke tengah kota untuk menyaksikan acara Funfest tahunan.

Selama bertahun-tahun, Sally Yale turut serta dalam parade musim gugur. Usia Yale 53, tetapi wajah tirusnya bercahaya seperti anak-anak saat ia berbicara tentang Funfest tersebut. Tepuk tangan Warga Hazleton yang pulang untuk perayaan itu. “Dan makanannya,” ujar Yale, mengungkapkan kesenangan yang amat sangat. Makanan itu cannoli dan pierogi, sosis dan kue corong—penganan yang mewakili gelombang imigran Eropa yang telah menetap di deretan bukit-bukit Hazleton.

Baca Juga : Mardi Gras, Parade Pertunjukan Gratis Terbesar di Amerika Serikat

Kemudian, semua itu berubah. Funfest, dalam pandangan Sally Yale, menjadi terlalu mengerikan. Kalau boleh jujur… terlalu cokelat. “Pokoknya kau tahulah kalau kau pergi ke acara umum, kau tahu akan kalah jumlah,” tutur Yale. “Kau tahu akan jadi minoritas, lalu apa kau tetap mau berangkat?”

Bagi Yale, jawabannya adalah tidak.

Kalah jumlah adalah kata yang sering muncul ketika saya berbincang-bincang dengan warga kulit putih di kota Pennsylvania timur ini. Kalah jumlah di ruang tunggu dokter. Kalah jumlah di Kmart, tempat kasirnya mengobrol dengan riang dalam bahasa Spanyol.

Hazleton merupakan satu lagi bekas kota tambang batu bara yang mengalami kemunduran sampai ada gelombang kedatangan orang Latin. Pada tahun 2000, penduduk Hazleton yang sejumlah 23.399 jiwa terdiri dari 95 persen kulit putih non-Hispanik dan kurang dari 5 persen Latin.

Pada tahun 2016, orang Latin menjadi mayoritas, sebesar 52 persen dari populasi, sementara komposisi orang kulit putih menurun banyak hingga 44 persen.

“Kami bergurau tentang hal itu dan berkata kalau kami sekarang jadi minoritas,” ujar Bob Sacco, seorang bartender di A&L Lounge. “Mereka mengambil alih kota ini. Kami bergurau tentangnya sepanjang waktu, tapi sebenarnya ini lebih dari sekedar gurauan.”

Pergeseran yang mencengangkan itu merupakan perwujudan ekstrim dari perubahan demografi negara ini. Biro Sensus AS telah memperkirakan bahwa warga kulit putih non-Hispanik akan membentuk kurang dari 50 persen populasi pada tahun 2044, suatu perubahan yang hampir pasti akan membentuk ulang hubungan antarras di Amerika serta status warga kulit putih AS.

Pengalaman Hazleton memberikan sekelumit gambaran akan masa depan selagi warga kulit putih Amerika menghadapi akhir dari status mayoritas mereka. Ini perbincangan yang telah meledak di segenap penjuru negeri saat sejumlah warga kulit putih Amerika, lewat forum-forum di internet serta protes terhadap digulingkannya monumen-monumen Konfederasi (persatuan negara-negara bagian yang memisahkan diri karena perbedaan pandangan soal perbudakan), bereaksi dengan gelisah dan marah karena merasakan cara hidup mereka terancam. Ini adalah kisah-kisah yang menjadi tajuk utama.