Kegelisahan Warga Kulit Putih Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:30 WIB
Felyssa Ricco berdiri di luar rumah di Hazleton, Pennsylvania, tempat ia tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya, Kelly dan Jesse Portanova. Selain mengibarkan bendera AS serta bendera lainnya seperti bendera Perang Revolusi AS “Don’t Tread on Me,” keluarga Portanova kadang mengibarkan bendera Konfederasi. Menurut mereka itu merupakan cara untuk menegakkan pendirian terhadap orang-orang yang percaya bahwa bendera itu tak boleh ditampilkan, atau orang-orang yang ingin mengabaikan sejarah Amerika. (Gillian Laub )

Perubahan kelihatannya akan terjadi lebih halus. Kita akan melihatnya di toko kebutuhan sehari-hari, di dalam ruang kelas, tempat populasi berusia di bawah 18 tahun akan mencapai keadaan mayoritas-minoritas hanya dalam dua tahun lagi. Di budaya pop dan iklan-iklan, tempat usaha bisnis telah mengetahui bahwa warna yang paling penting adalah hijau.

Pergeseran demografi yang menjelang bisa jadi pula akhirnya menuntun Amerika untuk menyadari bahwa mereka harus menghadapi kebenaran pahit: Para Bapak Bangsa membangun dominasi kulit putih ke dalam struktur dasar dan hukum bangsa itu, dan sebuah negara yang menyatakan kecintaannya akan kebebasan masih berjuang dengan perihal dosa asal perbudakan.

Di New Orleans, Wali Kota Mitch Landrieu berhasil menyingkirkan monumen-monumen Konfederasi di segenap penjuru kota, meskipun ada protes keras.

“Patung-patung ini bukanlah sekadar batu dan logam,” ujar Landrieu. “Mereka bukanlah sekadar pengingat tak berdosa akan sebuah sejarah yang jinak tak mematikan. Monumen-monumen ini ditujukan untuk merayakan Konfederasi yang fiksi dan dianggap bersih—tak mengindahkan kematian, tak mengindahkan perbudakan dan teror yang sebenarnya diwakilinya.”

Bagi sebagian orang, Landrieu muncul sebagai seorang pahlawan. Bagi orang-orang lainnya ia menjadi kaum paria dan objek bagi makian dan ancaman mati. Frank Stewart, seorang pengusaha yang memasang iklan di koran untuk mengutuk penyingkiran monumen, berkata bahwa monumen-monumen itu seharusnya diubah dan bukan disingkirkan. “Sebuah monumen dan memorial akan seorang pemimpin besar, seorang jenderal, bukanlah simbol perbudakan dan diskriminasi atau pun segregasi kelompok tertentu,” tutur Stewart.

“Monumen-monumen ini mewakili kehidupan orang-orang yang berperan penting dalam sejarah, dan monumen bukan untuk dihancurkan. Buku-buku sejarah bukan untuk dibakar. Kau belajar darinya.”

Stewart menuduh Landrieu menulis ulang dan menghapus sejarah. Bagi negara yang telah, dalam pandangannya, melampaui soal perbudakan dan segregasi yang mendiskriminasi orang kulit hitam—monumen-monumen itu mengingatkan New Orleans seberapa jauh kota dan negara ini telah bergerak maju. 

Frank Stewart, bersama istrinya, Paulette, mengadakan pertempuran sengit melawan keputusan Wali Kota New Orleans Mitch Landrieu yang menyingkirkan monumen Konfederasi. Stewart memasang iklan di koran New Orleans, menuduh Landrieu menghancurkan karya seni dan membelah kota secara rasial. “Saya tak menerima, hal yang diwakili patung-patung itu,” tulis sang pengusaha, “tetapi saya juga tidak bisa menerima usaha Anda menghapus sejarah.” (Gillian Laub)

Landrieu berkata, “Kami punya argumen yang lebih baik.” Ia memimpin sebuah kota yang 59 persen penduduknya kulit hitam, dan berkata, “Amat jelas bagi saya bahwa mayoritas orang di kota ini ingin menurunkan monumen itu, tetapi mereka tidak tahu bagaimana melakukannya, dan mereka tidak punya kekuatan politik untuk itu. Tetapi, saya punya.”

Landrieu kehilangan 37 persen pendukung kulit putihnya saat ia menyingkirkan monumen-monumen tersebut, dan jajak pendapat mengindikasikan bahwa hampir sembilan dari sepuluh orang kulit putih Lousiana menentang penyingkiran tersebut.

Setiap hari Selasa, Landrieu makan siang di sebuah restoran setempat bersama orang tuanya. Dalam sebuah kesempatan di sana baru-baru ini ia berjalan mendekati sepasang orang tua yang ia kenal. Sang istri memasang wajah tak suka. “Anda merusak hidup saya,” ujarnya, dua kali, lalu menambahkan, “Anda menghancurkan hidup saya.” “Apa yang saya lakukan?” tanya Landrieu. “Anda menurunkan monumen itu,” kata wanita itu lagi. Landrieu menjawab, “Apa Anda sekarat? Apa Anda jadi kena kanker?’’

Landrieu menyatakan bahwa ia juga mengambil sesuatu yang tak kasat mata, tetapi juga sama beratnya: harga diri. “Ada identitas etnis Kristen kulit putih. Selama ini orang-orang merasa terikat kepadanya dan ini terkait sedemikian rupa dengan Konfederasi,” tutur Landrieu. “Mereka merasa sepertinya seseorang telah mengambil sesuatu dari mereka.”