Kegelisahan Warga Kulit Putih Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:30 WIB
Felyssa Ricco berdiri di luar rumah di Hazleton, Pennsylvania, tempat ia tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya, Kelly dan Jesse Portanova. Selain mengibarkan bendera AS serta bendera lainnya seperti bendera Perang Revolusi AS “Don’t Tread on Me,” keluarga Portanova kadang mengibarkan bendera Konfederasi. Menurut mereka itu merupakan cara untuk menegakkan pendirian terhadap orang-orang yang percaya bahwa bendera itu tak boleh ditampilkan, atau orang-orang yang ingin mengabaikan sejarah Amerika. (Gillian Laub )

Nationalgeographic.co.id - Pada 2044, warga kulit putih non-Hispanik akan menyumbang kurang dari 50 persen populasi Amerika Serikat. Perubahan demografi yang menyebar ke seluruh penjuru Amerika ini menyulut kegelisahan di antara sebagian warga kulit putih, yang melihat budaya dan posisi mereka terancam.

Bahkan, setelah tambang-tambang batubara ditutup, populasi mulai berkurang dan rumah sakit berada di ambang kebangkrutan, warga Hazleton, Pennsylvania, tetap berbondong-bondong ke tengah kota untuk menyaksikan acara Funfest tahunan.

Selama bertahun-tahun, Sally Yale turut serta dalam parade musim gugur. Usia Yale 53, tetapi wajah tirusnya bercahaya seperti anak-anak saat ia berbicara tentang Funfest tersebut. Tepuk tangan Warga Hazleton yang pulang untuk perayaan itu. “Dan makanannya,” ujar Yale, mengungkapkan kesenangan yang amat sangat. Makanan itu cannoli dan pierogi, sosis dan kue corong—penganan yang mewakili gelombang imigran Eropa yang telah menetap di deretan bukit-bukit Hazleton.

Baca Juga : Mardi Gras, Parade Pertunjukan Gratis Terbesar di Amerika Serikat

Kemudian, semua itu berubah. Funfest, dalam pandangan Sally Yale, menjadi terlalu mengerikan. Kalau boleh jujur… terlalu cokelat. “Pokoknya kau tahulah kalau kau pergi ke acara umum, kau tahu akan kalah jumlah,” tutur Yale. “Kau tahu akan jadi minoritas, lalu apa kau tetap mau berangkat?”

Bagi Yale, jawabannya adalah tidak.

Kalah jumlah adalah kata yang sering muncul ketika saya berbincang-bincang dengan warga kulit putih di kota Pennsylvania timur ini. Kalah jumlah di ruang tunggu dokter. Kalah jumlah di Kmart, tempat kasirnya mengobrol dengan riang dalam bahasa Spanyol.

Hazleton merupakan satu lagi bekas kota tambang batu bara yang mengalami kemunduran sampai ada gelombang kedatangan orang Latin. Pada tahun 2000, penduduk Hazleton yang sejumlah 23.399 jiwa terdiri dari 95 persen kulit putih non-Hispanik dan kurang dari 5 persen Latin.

Pada tahun 2016, orang Latin menjadi mayoritas, sebesar 52 persen dari populasi, sementara komposisi orang kulit putih menurun banyak hingga 44 persen.

“Kami bergurau tentang hal itu dan berkata kalau kami sekarang jadi minoritas,” ujar Bob Sacco, seorang bartender di A&L Lounge. “Mereka mengambil alih kota ini. Kami bergurau tentangnya sepanjang waktu, tapi sebenarnya ini lebih dari sekedar gurauan.”

Pergeseran yang mencengangkan itu merupakan perwujudan ekstrim dari perubahan demografi negara ini. Biro Sensus AS telah memperkirakan bahwa warga kulit putih non-Hispanik akan membentuk kurang dari 50 persen populasi pada tahun 2044, suatu perubahan yang hampir pasti akan membentuk ulang hubungan antarras di Amerika serta status warga kulit putih AS.

Pengalaman Hazleton memberikan sekelumit gambaran akan masa depan selagi warga kulit putih Amerika menghadapi akhir dari status mayoritas mereka. Ini perbincangan yang telah meledak di segenap penjuru negeri saat sejumlah warga kulit putih Amerika, lewat forum-forum di internet serta protes terhadap digulingkannya monumen-monumen Konfederasi (persatuan negara-negara bagian yang memisahkan diri karena perbedaan pandangan soal perbudakan), bereaksi dengan gelisah dan marah karena merasakan cara hidup mereka terancam. Ini adalah kisah-kisah yang menjadi tajuk utama.

Namun, perubahan status juga terjadi secara lebih halus di dalam kelas, lantai pabrik, dan pusat perbelanjaan, tempat masa depan telah datang lebih awal dari jadwalnya. Sejak tahun 2000, populasi minoritas telah berkembang menjadi lebih banyak dari populasi kulit putih yang bukan Hispanik di wilayah seperti di Massachusetts, Maryland, North Carolina, serta di California, New Jersey, dan Texas.

Bob Sacco mengelola bar selama beberapa hari dalam seminggu di Alter Street, Hazleton, tempat banyak etalasenya kini menunjukkan tempat usaha milik orang Latin. Orang-orang lamanya mengeluh bahwa pemberi kerja yang baru di area itu, tidak memberikan bayaran atau keuntungan seperti yang dulunya pekerja dapatkan di pabrik yang telah tutup berpuluh tahun sebelumnya. Sacco berkata bahwa ia rindu “hari-hari baik di masa lalu.” (Gillian Laub )

Selama berpuluh-puluh tahun, meneliti ras di Amerika berarti berfokus pada peningkatan status serta perjuangan warga kulit berwarna. Dalam kerangka ini, menjadi kulit putih berarti menjadi warga yang standar. Setiap ras atau kelompok etnis lainnya merupakan warga “yang lain,” dan soal ras merupakan masalah dan wilayah orang kulit berwarna. Dalam periode yang diapit oleh pemilihan presiden Barack Obama dan Donald Trump, pertanyaan akan apa artinya menjadi kulit putih di Amerika telah makin mengemuka.

Dalam beberapa bidang, ada semakin banyak bukti bahwa soal ras tidak lagi menjadi sekadar tontonan bagi orang Amerika kulit putih: Ada peningkatan kuliah studi kulit putih di kampus-kampus. Perseteruan tentang imigrasi dan tindakan afirmatif (kebijakan untuk peningkatan keterlibatan minoritas dan perempuan).

Naiknya tingkat kematian orang Amerika kulit putih usia paruh baya dengan tingkat pendidikan tak lebih dari setaraf Sekolah Menengah Atas akibat narkoba, alkohol, dan bunuh diri. Kelompok pemilih yang semakin terkotak-kotak secara rasial. Agresi dan daya tarik nasionalisme kulit putih, dengan kata-kata lagu terbarunya yang menusuk: “You will not replace us (Kalian tidak akan menggantikan kami).”

Protes di Charlottesville, Virginia, bulan Agustus yang lalu kelihatannya akan diingat sebagai momen saat kelompok-kelompok pembenci, yang mengenakan kaus berkerah dan celana warna khaki, keluar dari bayang-bayang. Sebagian besar orang Amerika dengan waras mengecam pesan dan metode dari neo-Nazi, anggota Ku Klux Klan, dan nasionalis kulit putih yang berkumpul di unjuk rasa “Unite the Right” yang mengutuk disingkirkannya sebuah monumen yang menghormati seorang jenderal Konfederasi.

Akan tetapi, masalah ras amatlah pelik, dan para cendekia serta peneliti yang dengan cermat memetakan hubungan antarras di negara ini mengemukakan bahwa demonstrasi Charlottesville – meskipun diolok-olok secara luas – juga mempertegas sebuah masalah yang mewarnai segalanya dari politik sampai prospek lapangan kerja dan bahkan dunia olahraga profesional: ketakutan bahwa kita akan digantikan yang lain dalam era perubahan yang cepat.

Hanya lebih dari 10 tahun yang lalu, Hazleton menjadi sorotan nasional ketika wali kotanya, kini anggota kongres AS Lou Barletta, mendesak dewan kota untuk meloloskan sebuah peraturan yang baru ada untuk pertama kalinya bernama Illegal Immigration Relief Act atau Peraturan Bantuan Imigrasi Ilegal.

Peraturan ini mengatur penalti besar bagi mereka yang mempekerjakan atau menyewa imigran tanpa dokumen. Hukum ini diajukan di tengah-tengah meningkatnya ketegangan budaya di masyarakatnya, yang tengah mengalami serbuan orang Latin, banyak dari antaranya pindahan dari New York dan New Jersey. Menurut Barletta, peraturan IIRA tadi— yang mencakup pernyataan bahwa “imigrasi ilegal membawa tingkat kriminalitas yang lebih tinggi”—dimaksudkan untuk menjaga cara hidup di “Small Town, USA.” Peraturan ini tidak pernah diberlakukan.

Pengadilan federal memutuskan bahwa peraturan tersebut tidak sesuai dengan hukum imigrasi AS. Namun begitu, episodenya masih berlanjut, demikian tutur Jamie Longazel, seorang profesor di John Jay College of Criminal Justice di New York City yang besar di Hazleton dan telah melakukan penelitian mendalam tentang perubahan demografis di kota asalnya. Longazel berkata bahwa debat yang dipublikasikan luas tentang peraturan tersebut meningkatkan ketegangan dan memperbesar apa yang disebut ilmuwan sosial sebagai “wacana ancaman orang-orang Latin.”

“Kita tahu di dalam sosiologi bahwa ketika identitas masyarakat ditantang atau dipertanyakan sedemikian rupa, masyarakat itu akan berusaha membela dan mempertahankan identitas tersebut,” tutur Longazel. “ Dengan berubahnya demografi dan terus turunnya ekonomi di Hazleton, masyarakat mulai melihat dirinya sendiri sebagai kulit putih. Kota itu membela kembali identitasnya sebagai kulit putih.” Longazel berpikir bahwa psikologi yang sama bisa jadi muncul dalam tingkat nasional.

Penelitiannya menemukan tema yang berulang. Warga kulit putih Hazleton secara konsisten mengenang sebuah kota yang “akrab, tenang, patuh, jujur, tak berbahaya, dan pekerja keras” dan menyebut pendatang baru sebagai “berisik, tak patuh, suka manipulasi, tak kenal hukum, dan malas.” Dan mengapa sangat sedikit orang di penelitiannya menyebutkan pendatang baru yang membayar pajak, pergi ke gereja dua kali seminggu, serta membuka usaha?

Pada akhirnya, mencoba menekankan status Hazleton sebagai wilayah yang seluruhnya kulit putih Amerika sama saja seperti mengepalkan tinju ke awan hujan. Orang Latin kini menjadi motor penggerak ekonomi Hazleton, dan kota ini terlihat, terdengar, tercium, dan terasa berubah.

Berkali-kali kita mendengar penghuni lama berkata mereka merasa seperti orang asing di kampung halamannya sendiri. Yale, si pemilik kedai kopi tadi, menyaksikan sebagian besar teman sekolahnya di Bishop Hafey High School meninggalkan Hazleton, terutama untuk mencari kemungkinan kerja yang lebih baik.

Ia memilih untuk tetap tinggal dan membuka kedai kopi dan makanannya, bernama the Abbey, dengan mesin espresso warna merah berkilauan serta makanan gaya rumahan. Meskipun kafenya hanya sedikit di atas bukit dari pusat kota, ia jarang pergi ke arah distrik pusat tempat usaha.

Yale menarik diri dari Funfest bertahun-tahun yang lalu. “Terlalu seram,” tuturnya. “Kalau kau memang ke sana, kau tidak tahu siapa yang membawa pistol.”

Setelah puluhan tahun ekonomi terus menurun, pusat kota Hazleton punya wajah, rasa, dan suara berbeda, berkat sejumlah tempat usaha baru milik orang Latin yang dibuka sejak 2001, termasuk beberapa tempat cukur rambut yang sibuk. Justin Horvath, 26 tahun (kiri), dan José Pérez, 37 tahun, masuk ke Donato’s Finest di hari libur mereka. Horvath lahir di Hazleton dan berkata bahwa ia memilih Donald Trump. Pérez lahir di Puertoriko dan memilih untuk tidak memilih. Kedua pria ini merupakan tetangga, teman baik, dan rekan kerja di pusat distribusi American Eagle Outfitter di dekat situ. (Gillian Laub )

Ironi ini begitu jelas buat Yale. Kakeknya tiba dari Italia pada awal 1900-an dan menjadi seorang agen asuransi serta mengubah namanya menjadi lebih Amerika dari Yuele menjadi Yale. Wanita ini tahu bahwa stereotip yang sama juga menimpa imigran Italia dan Irlandia saat mereka pertama tiba di Hazleton.

Yale orang yang murah tawa serta meningkahi sapaan dan selamat tinggalnya dengan pelukan erat. Namun, jelaslah bahwa ia juga wanita baja. Ini cocok untuk seorang wanita lajang yang menjalankan sebuah usaha. Begitu restorannya tutup, ia bisa mengungkapkan pendapatnya sendiri dengan terbuka.

“Kami punya salah satu dari kami di Gedung Putih,”ujar Yale tentang Trump. “Kami akan membuat Amerika hebat lagi.”

Ketika ditanya siapa yang ia maksud dengan “kami,” Yale diam sejenak. “’Kami’ yang dimaksud adalah orang Kaukasian yang membangun negara ini,” tuturnya. “Generasi kami. Kami akan… Kami akan membuat para kakek kami bangga. Kami harus melakukannya.”

Selama delapan tahun saya telah mendengarkan orang-orang Amerika berbagi pendapat spontan mereka, saya memulai Race Card Project, sebuah inisiatif untuk membangun perbincangan jujur dengan meminta orang-orang menyarikan pemikiran mereka tentang ras hanya dalam enam kata. Puluhan ribu orang turut serta dalam hal ini, banyak yang mengirimkan foto, dan esai untuk berbagi latar belakang.

Saya membuat Race Card Project ini ketika kata “pascarasial” sedang naik daun, tetapi saya tahu betul kalau Amerika tidak seperti kata tersebut. Para pemilih AS baru saja mengirim sebuah keluarga kulit hitam ke Gedung Putih untuk pertama kalinya, dan kami pikir pembicaraannya sudah selesai? Kebanyakan orang Amerika tidak pernah punya bos kulit hitam, dan sekarang mereka punya presiden kulit hitam.

Ketika kisah-kisah enam kata mulai berdatangan, saya berasumsi bahwa banyak kisah itu akan datang dari mereka yang termasuk kaum minoritas. Ternyata saya salah.

Orang-orang dari segala macam ras, agama, wilayah, kelas sosial, mengirimkan kisahnya, tetapi kebanyakan datang dari orang kulit putih. “White, not allowed to be proud. (Kulit putih, tidak boleh menjadi bangga.)” ”She’s nothing but poor white trash. (Dia tak lebih dari sampah kulit putih yang malang.)” “Gay, but at least I’m white. (Gay, tapi setidaknya saya kulit putih.)” “Hated for being a white cop. (Dibenci karena jadi polisi kulit putih.)” “Not as white as I appear. (Saya tak sekulit putih yang terlihat.)” “White privilege? More like white guilt. (Keistimewaan kulit putih? Lebih mirip rasa bersalah kulit putih.)” “Most white people are not racists. (Kebanyakan orang kulit putih tidak rasis.)” “White people do not own racism. (Bukan orang kulit putih saja yang memiliki rasisme.)”

Arsip Race Card Project telah menjadi tempat ribuan orang berbicara jujur tentang keistimewaan, rasa bersalah, kemarahan, pengambilalihan posisi, kepatuhan, atau sekedar dunia dalam pandangan orang kulit putih.

“Seluruh pengertian tentang hal kulit putih sebagaimana yang kita tahu bergantung kepada keadaan tidak menjadi minoritas,” ujar Brian Glover, seorang profesor yang berspesialisasi di bidang sastra Inggris abad ke-18 di North Carolina. “Pada abad ke-20, menjadi pria kulit putih merupakan hal terbaik yang dimiliki oleh orang di Amerika. Kau bisa merasakan seolah kau berada di pusat segalanya. Kau tidak perlu menjustifikasi diri sendiri.” 

The Sanctuary di Hazleton merupakan pusat komunitas serba guna yang mengadakan acara untuk umum secara gratis di sebuah bangunan bekas gereja, dulunya merupakan tempat bagi paroki Slovakia berusia seratus tahun. Dengan pengalaman 16 tahun di ring gulat, Jason Dougherty mengenakan bandana bendera AS, sementara juara bertahan setempat, Marcelino Cabrera, memakai celana pendek yang memperlihatkan bendera Republik Dominika. Dougherty membantu melatih Cabrera, yang pindah ke Hazleton saat berusia 15 tahun. (Gillian Laub)

Glover mengirim keenam kata ini “These days, I understand the WASPs. (Akhir-akhir ini, saya paham tentang WASP—white Anglo-Saxon Protestant, kaum dengan kelas sosial paling berpengaruh di Amerika.)” Glover menjelaskan bahwa ia lahir pada tahun 1970-an di sebuah keluarga dengan asal-usul Eropa campuran—Yahudi, Irlandia, Yunani, Jerman, Slovenia, orang-orang yang dulunya tidak dianggap sebagai sungguh-sungguh kulit putih. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang ini menjadi bagian arus utama. “Saya benar-benar merasa bahwa saya orang kulit putih Amerika, yang saya pahami bahwa artinya adalah orang Amerika, begitu saja,” tuturnya.

Orang-orang Amerika baru ini, mulai menggantikan kaum kulit putih Anglo-Saxon beragama Protestan yang telah menjalankan negara itu selama dua abad. Dalam esai pendek spontan yang ia kirimkan ke Race Card Project, Glover menulis, “Kami telah mengambil alih universitas mereka, klub mereka, dan bahkan Gedung Putih.”

“Yah, sekarang kami berada di posisi mereka,” tulisnya lagi. “Orang Kulit Berwarna tengah bergerak menjadi arus utama sekarang; ‘Kulit Putih’ tidak lagi menjadi standar bagi ‘Orang Amerika.’ Dan meskipun jelas bahwa proses ini tak dapat dihindari banyak waktu, jujur saja, saya sedih karenanya. Negara ini berubah dalam cara yang tidak terlalu bagus buat saya, dan saya tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri. Saya bukan berkeluh kesah; adalah adil bahwa orang-orang lain mendapat kesempatan yang sama seperti kami. Tetapi, sekarang saya mendapati diri melihat kembali pada WASP dengan rasa hormat yang baru. Dalam sebagian besar masa saat jatuhnya mereka dari kekuasaan, mereka membawa diri secara terhormat dan diam. Saya yakin tentu tidak enak, tetapi kebanyakan mereka hanya melanjutkan dengan hidup mereka. Kami bisa belajar dari contoh mereka.”

Ia adalah seorang akademisi yang terbiasa mengkritik sebuah isu dari semua sisi, tetapi ini membuatnya lelah. Masalahnya langsung berdampak kepada dirinya.

“Itu artinya banyak orang akan kehilangan secara material dan sudah ada yang kehilangan secara material,” tuturnya kepada saya. “Apa saya bisa merasa lebih berbudi karena hal itu perlu dibangun berdasarkan kesetaraan? Saya tidak tahu ya, apakah bisa benar-benar membuat orang tetap hangat di malam hari kalau tahu bahwa di luar sana ada kesetaraan. Saya rasa mereka merasa akan lebih baik kalau punya keistimewaan.”

Saya tidak yakin kita bisa mengambil prinsip abstrak kesetaraan tanpa menyertakan ketidaksetaraan dalam realitasnya.” Saya tahu ia tidaklah sendirian dalam keresahannya. Glover berpandangan bahwa sungguh sulit bagi seorang individu—atau sebuah negara— untuk berevolusi melewati masa ketidaknyamanannya jika sumber kegelisahannya hanya dibicarakan secara berbisik-bisik. 

Rafael Santos dan Savannah Butala, keduanya murid senior di Hazleton High. Keluarga Butala telah menetap di West Hazleton selama bergenerasi-gene-rasi. Santos datang dari Republik Dominika saat ia berusia 11 tahun. Santos ikut kontes raja dan ratu itu, katanya, “untuk menunjukkan bahwa saya bisa meraih apa pun yang saya mau tak peduli apa warna kulitnya.” (Gillian Laub )

Jadi apa yang terjadi ketika Amerika telah menjadi sebuah negara mayoritas-minoritas, mayoritas penduduknya dari kaum minoritas? Sesungguhnya kerangka dasar negara ini dalam hal seputar kesejahteraan, politik, pendidikan, dan kesempatan telah bercokol begitu kuat sehingga orang kulit putih, khususnya pria kulit putih, akan tetap memegang tongkat kekuasaannya di Wall Street dan Main Street untuk sementara ini.

Perubahan kelihatannya akan terjadi lebih halus. Kita akan melihatnya di toko kebutuhan sehari-hari, di dalam ruang kelas, tempat populasi berusia di bawah 18 tahun akan mencapai keadaan mayoritas-minoritas hanya dalam dua tahun lagi. Di budaya pop dan iklan-iklan, tempat usaha bisnis telah mengetahui bahwa warna yang paling penting adalah hijau.

Pergeseran demografi yang menjelang bisa jadi pula akhirnya menuntun Amerika untuk menyadari bahwa mereka harus menghadapi kebenaran pahit: Para Bapak Bangsa membangun dominasi kulit putih ke dalam struktur dasar dan hukum bangsa itu, dan sebuah negara yang menyatakan kecintaannya akan kebebasan masih berjuang dengan perihal dosa asal perbudakan.

Di New Orleans, Wali Kota Mitch Landrieu berhasil menyingkirkan monumen-monumen Konfederasi di segenap penjuru kota, meskipun ada protes keras.

“Patung-patung ini bukanlah sekadar batu dan logam,” ujar Landrieu. “Mereka bukanlah sekadar pengingat tak berdosa akan sebuah sejarah yang jinak tak mematikan. Monumen-monumen ini ditujukan untuk merayakan Konfederasi yang fiksi dan dianggap bersih—tak mengindahkan kematian, tak mengindahkan perbudakan dan teror yang sebenarnya diwakilinya.”

Bagi sebagian orang, Landrieu muncul sebagai seorang pahlawan. Bagi orang-orang lainnya ia menjadi kaum paria dan objek bagi makian dan ancaman mati. Frank Stewart, seorang pengusaha yang memasang iklan di koran untuk mengutuk penyingkiran monumen, berkata bahwa monumen-monumen itu seharusnya diubah dan bukan disingkirkan. “Sebuah monumen dan memorial akan seorang pemimpin besar, seorang jenderal, bukanlah simbol perbudakan dan diskriminasi atau pun segregasi kelompok tertentu,” tutur Stewart.

“Monumen-monumen ini mewakili kehidupan orang-orang yang berperan penting dalam sejarah, dan monumen bukan untuk dihancurkan. Buku-buku sejarah bukan untuk dibakar. Kau belajar darinya.”

Stewart menuduh Landrieu menulis ulang dan menghapus sejarah. Bagi negara yang telah, dalam pandangannya, melampaui soal perbudakan dan segregasi yang mendiskriminasi orang kulit hitam—monumen-monumen itu mengingatkan New Orleans seberapa jauh kota dan negara ini telah bergerak maju. 

Frank Stewart, bersama istrinya, Paulette, mengadakan pertempuran sengit melawan keputusan Wali Kota New Orleans Mitch Landrieu yang menyingkirkan monumen Konfederasi. Stewart memasang iklan di koran New Orleans, menuduh Landrieu menghancurkan karya seni dan membelah kota secara rasial. “Saya tak menerima, hal yang diwakili patung-patung itu,” tulis sang pengusaha, “tetapi saya juga tidak bisa menerima usaha Anda menghapus sejarah.” (Gillian Laub)

Landrieu berkata, “Kami punya argumen yang lebih baik.” Ia memimpin sebuah kota yang 59 persen penduduknya kulit hitam, dan berkata, “Amat jelas bagi saya bahwa mayoritas orang di kota ini ingin menurunkan monumen itu, tetapi mereka tidak tahu bagaimana melakukannya, dan mereka tidak punya kekuatan politik untuk itu. Tetapi, saya punya.”

Landrieu kehilangan 37 persen pendukung kulit putihnya saat ia menyingkirkan monumen-monumen tersebut, dan jajak pendapat mengindikasikan bahwa hampir sembilan dari sepuluh orang kulit putih Lousiana menentang penyingkiran tersebut.

Setiap hari Selasa, Landrieu makan siang di sebuah restoran setempat bersama orang tuanya. Dalam sebuah kesempatan di sana baru-baru ini ia berjalan mendekati sepasang orang tua yang ia kenal. Sang istri memasang wajah tak suka. “Anda merusak hidup saya,” ujarnya, dua kali, lalu menambahkan, “Anda menghancurkan hidup saya.” “Apa yang saya lakukan?” tanya Landrieu. “Anda menurunkan monumen itu,” kata wanita itu lagi. Landrieu menjawab, “Apa Anda sekarat? Apa Anda jadi kena kanker?’’

Landrieu menyatakan bahwa ia juga mengambil sesuatu yang tak kasat mata, tetapi juga sama beratnya: harga diri. “Ada identitas etnis Kristen kulit putih. Selama ini orang-orang merasa terikat kepadanya dan ini terkait sedemikian rupa dengan Konfederasi,” tutur Landrieu. “Mereka merasa sepertinya seseorang telah mengambil sesuatu dari mereka.”

Jason dougherty, seorang warga kulit putih Hazleton yang berusia 38 tahun, bekerja di sebuah restoran Italia. Ia menjadi pegulat pada akhir pekan, dan berpendapat bahwa kota itu tidak pernah menganggap adanya transformasi. “Orang-orang ingin berkata ini bukan tentang ras,” tuturnya, “akan tetapi kadang-kadang memang begitu, dan apa yang terjadi di Hazleton adalah tentang perbedaan, dan ini bukan berarti hal itu buruk. Tempat ini punya energi yang tidak ada sebelumnya.”

Populasi Hazleton kini rata-rata lebih muda. Selain itu, pemberi lapangan kerja utama seperti Amazon dan Cargill, telah membuka pusat distribusi dan pabrik yang memberi lowongan pekerjaan yang turut menarik migrasi besar orang Latin. Longazel berkata bahwa penduduk kulit putih “melewatkan kesempatan untuk melihat, bahwa warga lama dan pendatang baru tiba ke Hazleton untuk hal-hal yang sama: Mereka menginginkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik untuk keluarga mereka. Mereka semua sebenarnya memiliki kesamaan.”

Ada pula kelompok-kelompok yang berusaha membangun jembatan budaya. Tak mengejutkan kalau banyak di antaranya, berfokus pada generasi muda. Rocco Petrone adalah kepala sekolah Hazleton Area High School, dan ia berkata bahwa ia tak gegabah untuk mengucapkan sesuatu yang klise, seperti, “Anak-anak sekarang tidak memandang ras.”

Sebuah survei baru-baru ini menemukan bahwa orang dewasa muda amat percaya bahwa hubungan antarras di Amerika Serikat menjadi lebih buruk pada tahun lalu. Orang-orang muda telah mewarisi dunia yang beragam. Mereka bersekolah bersama, saling mendengarkan musik temannya, dan berkencan lintas warna kulit.

Anak-anak telah menemukan cara untuk melakukan sesuatu yang lebih jarang dilakukan orang dewasa. Mereka saling berbicara. Ya, mereka memang memutar bola mata dan menunjukkan sikap menyebalkan, tetapi mereka melibatkan diri dan mendengarkan. Mereka saling bersorak menyemangati di lapangan, dan mereka menerima saja bahwa seorang gadis pirang bernama Savannah Butala dinobatkan menjadi ratu acara reuni berdampingan dengan seorang siswa bintang bernama Rafael Santos, yang datang dari Republik Dominika pada 2011.

Nick Dean dipecat sebagai kepala sekolah swasta tempat sebagian besar siswanya berkulit hitam, setelah kemunculan video yang memperlihatkannya ikut unjuk rasa memprotes penyingkiran monumen Konfederasi di New Orleans. Ia menghadiri acara itu hanya untuk membela hak mengutarakan pendapat bagi para pengunjuk rasa. Ia percaya, monumen itu merupakan bagian dari sejarah dan harus tetap ada. Dean tengah duduk bersama dua mantan muridnya, Dytrell Mcewen dan Jermaine Daniel Moses. (Gillian Laub )

Hanya sedikit masyarakat yang mengalami perubahan cepat seperti Hazleton. Warga lama marah dengan terjadinya kejahatan, sekolah yang terlalu penuh, dan krisis anggaran kota. Mereka frustrasi karena orang-orang yang bisa dwibahasa dibayar lebih atau jadi lebih mudah dalam mendaki tangga karir. Dougherty paham akan hal itu tetapi berkata bahwa jika kita amati benar-benar, kita akan melihat pula bahwa perubahan di Hazleton telah menghasilkan banyak penemuan dan penyesuaian. Ia melihatnya di lingkungannya sendiri, tempat orang-orang akhirnya mulai saling berbincang, dan rekan kerja bersedia minum bir bersama sepulang kerja. Ia melihatnya di tempat ia tampil; orang-orang di sana lebih bersedia mendukung orang yang tidak sama asal-usulnya.

Pada suatu pagi hari kerja di A&L Lounge, Sacco, yang berusia 64 tahun, mengurus bar. Pelanggannya selalu duduk di sekitar meja bar, dekat dengan televisi. Mereka minum highball ataupun bir yang keluar dari keran tong. Mereka mengenakan sepatu bot kerja. Meja-meja di bagian belakang adalah tempat para pria Latin duduk melingkar setelah menyelesaikan giliran kerja malam di pabrik setempat. Mereka bersepatu tenis penuh gaya. Mereka minum Heineken dan Corona, membayar dengan pecahan $20, dan selalu meninggalkan tip untuk Sacco.

Patung wanita kulit hitam berdiri menggantikan patung Presiden Konfederasi Jefferson Davis yang disingkirkan tahun lalu di New Orleans. Sutradara film Zac Manuel (tengah) menggunakan karya itu dalam video musik untuk lagu “If All I Was Was Black,” yang dibawakan penyanyi soul Mavis Staples. Ia berkata patung itu mewakili wanita kulit hitam yang termarjinalkan dan kisahnya dihapus dari sejarah AS. (Gillian Laub )

Baca Juga : Hindari Demensia di Usia Muda, Lakukan Kebiasaan Berikut Ini

Mereka juga memberi Sacco kiat untuk berbicara bahasa Spanyol. Dulunya Sacco menganggap hal itu mengganggu, tetapi sekarang ia telah lebih luwes. “Seharusnya saya serius belajar bahasa Spanyol di sekolah dulu, tapi yah, siapa yang tahu kalau bakal seperti ini?” ujarnya.

Imigran telah berbondong-bondong datang ke Hazleton selama berpuluh-puluh tahun. Bekerja keras. Membangun keluarga. Berjuang. Namun, kata “imigran” punya kesan berbeda sekarang. Warga Hazleton yang lebih lama yang juga merupakan anak-anak imigran sering kali mengucapkan kata tersebut dengan nada cemooh.

Sacco menyimpan koleksi benda kenangan yang menunjukkan seperti apa kota itu pada masa keemasan. Ia marah akan perubahan di kampung halamannya. Sangat marah.

Namun demikian, apakah ia kesal akan para pria yang datang ke barnya dan membelanjakan uangnya? Bagaimanapun, mereka mewakili perubahan yang amat menyebalkan. “Sulit untuk marah kepada mereka,” tutur Sacco. “Mereka hanya bekerja keras, dan saya menghargai hal itu. Saya rasa kita harus menghargainya.”

Penulis: Michele Norris

Fotografer: Gillian Laub