Kegelisahan Warga Kulit Putih Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:30 WIB
Felyssa Ricco berdiri di luar rumah di Hazleton, Pennsylvania, tempat ia tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya, Kelly dan Jesse Portanova. Selain mengibarkan bendera AS serta bendera lainnya seperti bendera Perang Revolusi AS “Don’t Tread on Me,” keluarga Portanova kadang mengibarkan bendera Konfederasi. Menurut mereka itu merupakan cara untuk menegakkan pendirian terhadap orang-orang yang percaya bahwa bendera itu tak boleh ditampilkan, atau orang-orang yang ingin mengabaikan sejarah Amerika. (Gillian Laub )

Orang-orang dari segala macam ras, agama, wilayah, kelas sosial, mengirimkan kisahnya, tetapi kebanyakan datang dari orang kulit putih. “White, not allowed to be proud. (Kulit putih, tidak boleh menjadi bangga.)” ”She’s nothing but poor white trash. (Dia tak lebih dari sampah kulit putih yang malang.)” “Gay, but at least I’m white. (Gay, tapi setidaknya saya kulit putih.)” “Hated for being a white cop. (Dibenci karena jadi polisi kulit putih.)” “Not as white as I appear. (Saya tak sekulit putih yang terlihat.)” “White privilege? More like white guilt. (Keistimewaan kulit putih? Lebih mirip rasa bersalah kulit putih.)” “Most white people are not racists. (Kebanyakan orang kulit putih tidak rasis.)” “White people do not own racism. (Bukan orang kulit putih saja yang memiliki rasisme.)”

Arsip Race Card Project telah menjadi tempat ribuan orang berbicara jujur tentang keistimewaan, rasa bersalah, kemarahan, pengambilalihan posisi, kepatuhan, atau sekedar dunia dalam pandangan orang kulit putih.

“Seluruh pengertian tentang hal kulit putih sebagaimana yang kita tahu bergantung kepada keadaan tidak menjadi minoritas,” ujar Brian Glover, seorang profesor yang berspesialisasi di bidang sastra Inggris abad ke-18 di North Carolina. “Pada abad ke-20, menjadi pria kulit putih merupakan hal terbaik yang dimiliki oleh orang di Amerika. Kau bisa merasakan seolah kau berada di pusat segalanya. Kau tidak perlu menjustifikasi diri sendiri.” 

The Sanctuary di Hazleton merupakan pusat komunitas serba guna yang mengadakan acara untuk umum secara gratis di sebuah bangunan bekas gereja, dulunya merupakan tempat bagi paroki Slovakia berusia seratus tahun. Dengan pengalaman 16 tahun di ring gulat, Jason Dougherty mengenakan bandana bendera AS, sementara juara bertahan setempat, Marcelino Cabrera, memakai celana pendek yang memperlihatkan bendera Republik Dominika. Dougherty membantu melatih Cabrera, yang pindah ke Hazleton saat berusia 15 tahun. (Gillian Laub)

Glover mengirim keenam kata ini “These days, I understand the WASPs. (Akhir-akhir ini, saya paham tentang WASP—white Anglo-Saxon Protestant, kaum dengan kelas sosial paling berpengaruh di Amerika.)” Glover menjelaskan bahwa ia lahir pada tahun 1970-an di sebuah keluarga dengan asal-usul Eropa campuran—Yahudi, Irlandia, Yunani, Jerman, Slovenia, orang-orang yang dulunya tidak dianggap sebagai sungguh-sungguh kulit putih. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang ini menjadi bagian arus utama. “Saya benar-benar merasa bahwa saya orang kulit putih Amerika, yang saya pahami bahwa artinya adalah orang Amerika, begitu saja,” tuturnya.

Orang-orang Amerika baru ini, mulai menggantikan kaum kulit putih Anglo-Saxon beragama Protestan yang telah menjalankan negara itu selama dua abad. Dalam esai pendek spontan yang ia kirimkan ke Race Card Project, Glover menulis, “Kami telah mengambil alih universitas mereka, klub mereka, dan bahkan Gedung Putih.”

“Yah, sekarang kami berada di posisi mereka,” tulisnya lagi. “Orang Kulit Berwarna tengah bergerak menjadi arus utama sekarang; ‘Kulit Putih’ tidak lagi menjadi standar bagi ‘Orang Amerika.’ Dan meskipun jelas bahwa proses ini tak dapat dihindari banyak waktu, jujur saja, saya sedih karenanya. Negara ini berubah dalam cara yang tidak terlalu bagus buat saya, dan saya tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri. Saya bukan berkeluh kesah; adalah adil bahwa orang-orang lain mendapat kesempatan yang sama seperti kami. Tetapi, sekarang saya mendapati diri melihat kembali pada WASP dengan rasa hormat yang baru. Dalam sebagian besar masa saat jatuhnya mereka dari kekuasaan, mereka membawa diri secara terhormat dan diam. Saya yakin tentu tidak enak, tetapi kebanyakan mereka hanya melanjutkan dengan hidup mereka. Kami bisa belajar dari contoh mereka.”

Ia adalah seorang akademisi yang terbiasa mengkritik sebuah isu dari semua sisi, tetapi ini membuatnya lelah. Masalahnya langsung berdampak kepada dirinya.

“Itu artinya banyak orang akan kehilangan secara material dan sudah ada yang kehilangan secara material,” tuturnya kepada saya. “Apa saya bisa merasa lebih berbudi karena hal itu perlu dibangun berdasarkan kesetaraan? Saya tidak tahu ya, apakah bisa benar-benar membuat orang tetap hangat di malam hari kalau tahu bahwa di luar sana ada kesetaraan. Saya rasa mereka merasa akan lebih baik kalau punya keistimewaan.”

Saya tidak yakin kita bisa mengambil prinsip abstrak kesetaraan tanpa menyertakan ketidaksetaraan dalam realitasnya.” Saya tahu ia tidaklah sendirian dalam keresahannya. Glover berpandangan bahwa sungguh sulit bagi seorang individu—atau sebuah negara— untuk berevolusi melewati masa ketidaknyamanannya jika sumber kegelisahannya hanya dibicarakan secara berbisik-bisik. 

Rafael Santos dan Savannah Butala, keduanya murid senior di Hazleton High. Keluarga Butala telah menetap di West Hazleton selama bergenerasi-gene-rasi. Santos datang dari Republik Dominika saat ia berusia 11 tahun. Santos ikut kontes raja dan ratu itu, katanya, “untuk menunjukkan bahwa saya bisa meraih apa pun yang saya mau tak peduli apa warna kulitnya.” (Gillian Laub )

Jadi apa yang terjadi ketika Amerika telah menjadi sebuah negara mayoritas-minoritas, mayoritas penduduknya dari kaum minoritas? Sesungguhnya kerangka dasar negara ini dalam hal seputar kesejahteraan, politik, pendidikan, dan kesempatan telah bercokol begitu kuat sehingga orang kulit putih, khususnya pria kulit putih, akan tetap memegang tongkat kekuasaannya di Wall Street dan Main Street untuk sementara ini.