Kegelisahan Warga Kulit Putih Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:30 WIB
Felyssa Ricco berdiri di luar rumah di Hazleton, Pennsylvania, tempat ia tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya, Kelly dan Jesse Portanova. Selain mengibarkan bendera AS serta bendera lainnya seperti bendera Perang Revolusi AS “Don’t Tread on Me,” keluarga Portanova kadang mengibarkan bendera Konfederasi. Menurut mereka itu merupakan cara untuk menegakkan pendirian terhadap orang-orang yang percaya bahwa bendera itu tak boleh ditampilkan, atau orang-orang yang ingin mengabaikan sejarah Amerika. (Gillian Laub )

Jason dougherty, seorang warga kulit putih Hazleton yang berusia 38 tahun, bekerja di sebuah restoran Italia. Ia menjadi pegulat pada akhir pekan, dan berpendapat bahwa kota itu tidak pernah menganggap adanya transformasi. “Orang-orang ingin berkata ini bukan tentang ras,” tuturnya, “akan tetapi kadang-kadang memang begitu, dan apa yang terjadi di Hazleton adalah tentang perbedaan, dan ini bukan berarti hal itu buruk. Tempat ini punya energi yang tidak ada sebelumnya.”

Populasi Hazleton kini rata-rata lebih muda. Selain itu, pemberi lapangan kerja utama seperti Amazon dan Cargill, telah membuka pusat distribusi dan pabrik yang memberi lowongan pekerjaan yang turut menarik migrasi besar orang Latin. Longazel berkata bahwa penduduk kulit putih “melewatkan kesempatan untuk melihat, bahwa warga lama dan pendatang baru tiba ke Hazleton untuk hal-hal yang sama: Mereka menginginkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik untuk keluarga mereka. Mereka semua sebenarnya memiliki kesamaan.”

Ada pula kelompok-kelompok yang berusaha membangun jembatan budaya. Tak mengejutkan kalau banyak di antaranya, berfokus pada generasi muda. Rocco Petrone adalah kepala sekolah Hazleton Area High School, dan ia berkata bahwa ia tak gegabah untuk mengucapkan sesuatu yang klise, seperti, “Anak-anak sekarang tidak memandang ras.”

Sebuah survei baru-baru ini menemukan bahwa orang dewasa muda amat percaya bahwa hubungan antarras di Amerika Serikat menjadi lebih buruk pada tahun lalu. Orang-orang muda telah mewarisi dunia yang beragam. Mereka bersekolah bersama, saling mendengarkan musik temannya, dan berkencan lintas warna kulit.

Anak-anak telah menemukan cara untuk melakukan sesuatu yang lebih jarang dilakukan orang dewasa. Mereka saling berbicara. Ya, mereka memang memutar bola mata dan menunjukkan sikap menyebalkan, tetapi mereka melibatkan diri dan mendengarkan. Mereka saling bersorak menyemangati di lapangan, dan mereka menerima saja bahwa seorang gadis pirang bernama Savannah Butala dinobatkan menjadi ratu acara reuni berdampingan dengan seorang siswa bintang bernama Rafael Santos, yang datang dari Republik Dominika pada 2011.

Nick Dean dipecat sebagai kepala sekolah swasta tempat sebagian besar siswanya berkulit hitam, setelah kemunculan video yang memperlihatkannya ikut unjuk rasa memprotes penyingkiran monumen Konfederasi di New Orleans. Ia menghadiri acara itu hanya untuk membela hak mengutarakan pendapat bagi para pengunjuk rasa. Ia percaya, monumen itu merupakan bagian dari sejarah dan harus tetap ada. Dean tengah duduk bersama dua mantan muridnya, Dytrell Mcewen dan Jermaine Daniel Moses. (Gillian Laub )

Hanya sedikit masyarakat yang mengalami perubahan cepat seperti Hazleton. Warga lama marah dengan terjadinya kejahatan, sekolah yang terlalu penuh, dan krisis anggaran kota. Mereka frustrasi karena orang-orang yang bisa dwibahasa dibayar lebih atau jadi lebih mudah dalam mendaki tangga karir. Dougherty paham akan hal itu tetapi berkata bahwa jika kita amati benar-benar, kita akan melihat pula bahwa perubahan di Hazleton telah menghasilkan banyak penemuan dan penyesuaian. Ia melihatnya di lingkungannya sendiri, tempat orang-orang akhirnya mulai saling berbincang, dan rekan kerja bersedia minum bir bersama sepulang kerja. Ia melihatnya di tempat ia tampil; orang-orang di sana lebih bersedia mendukung orang yang tidak sama asal-usulnya.

Pada suatu pagi hari kerja di A&L Lounge, Sacco, yang berusia 64 tahun, mengurus bar. Pelanggannya selalu duduk di sekitar meja bar, dekat dengan televisi. Mereka minum highball ataupun bir yang keluar dari keran tong. Mereka mengenakan sepatu bot kerja. Meja-meja di bagian belakang adalah tempat para pria Latin duduk melingkar setelah menyelesaikan giliran kerja malam di pabrik setempat. Mereka bersepatu tenis penuh gaya. Mereka minum Heineken dan Corona, membayar dengan pecahan $20, dan selalu meninggalkan tip untuk Sacco.

Patung wanita kulit hitam berdiri menggantikan patung Presiden Konfederasi Jefferson Davis yang disingkirkan tahun lalu di New Orleans. Sutradara film Zac Manuel (tengah) menggunakan karya itu dalam video musik untuk lagu “If All I Was Was Black,” yang dibawakan penyanyi soul Mavis Staples. Ia berkata patung itu mewakili wanita kulit hitam yang termarjinalkan dan kisahnya dihapus dari sejarah AS. (Gillian Laub )

Baca Juga : Hindari Demensia di Usia Muda, Lakukan Kebiasaan Berikut Ini

Mereka juga memberi Sacco kiat untuk berbicara bahasa Spanyol. Dulunya Sacco menganggap hal itu mengganggu, tetapi sekarang ia telah lebih luwes. “Seharusnya saya serius belajar bahasa Spanyol di sekolah dulu, tapi yah, siapa yang tahu kalau bakal seperti ini?” ujarnya.

Imigran telah berbondong-bondong datang ke Hazleton selama berpuluh-puluh tahun. Bekerja keras. Membangun keluarga. Berjuang. Namun, kata “imigran” punya kesan berbeda sekarang. Warga Hazleton yang lebih lama yang juga merupakan anak-anak imigran sering kali mengucapkan kata tersebut dengan nada cemooh.

Sacco menyimpan koleksi benda kenangan yang menunjukkan seperti apa kota itu pada masa keemasan. Ia marah akan perubahan di kampung halamannya. Sangat marah.

Namun demikian, apakah ia kesal akan para pria yang datang ke barnya dan membelanjakan uangnya? Bagaimanapun, mereka mewakili perubahan yang amat menyebalkan. “Sulit untuk marah kepada mereka,” tutur Sacco. “Mereka hanya bekerja keras, dan saya menghargai hal itu. Saya rasa kita harus menghargainya.”

Penulis: Michele Norris

Fotografer: Gillian Laub