Kegelisahan Warga Kulit Putih Amerika

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 9 Februari 2019 | 08:30 WIB
Felyssa Ricco berdiri di luar rumah di Hazleton, Pennsylvania, tempat ia tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya, Kelly dan Jesse Portanova. Selain mengibarkan bendera AS serta bendera lainnya seperti bendera Perang Revolusi AS “Don’t Tread on Me,” keluarga Portanova kadang mengibarkan bendera Konfederasi. Menurut mereka itu merupakan cara untuk menegakkan pendirian terhadap orang-orang yang percaya bahwa bendera itu tak boleh ditampilkan, atau orang-orang yang ingin mengabaikan sejarah Amerika. (Gillian Laub )

Namun, perubahan status juga terjadi secara lebih halus di dalam kelas, lantai pabrik, dan pusat perbelanjaan, tempat masa depan telah datang lebih awal dari jadwalnya. Sejak tahun 2000, populasi minoritas telah berkembang menjadi lebih banyak dari populasi kulit putih yang bukan Hispanik di wilayah seperti di Massachusetts, Maryland, North Carolina, serta di California, New Jersey, dan Texas.

Bob Sacco mengelola bar selama beberapa hari dalam seminggu di Alter Street, Hazleton, tempat banyak etalasenya kini menunjukkan tempat usaha milik orang Latin. Orang-orang lamanya mengeluh bahwa pemberi kerja yang baru di area itu, tidak memberikan bayaran atau keuntungan seperti yang dulunya pekerja dapatkan di pabrik yang telah tutup berpuluh tahun sebelumnya. Sacco berkata bahwa ia rindu “hari-hari baik di masa lalu.” (Gillian Laub )

Selama berpuluh-puluh tahun, meneliti ras di Amerika berarti berfokus pada peningkatan status serta perjuangan warga kulit berwarna. Dalam kerangka ini, menjadi kulit putih berarti menjadi warga yang standar. Setiap ras atau kelompok etnis lainnya merupakan warga “yang lain,” dan soal ras merupakan masalah dan wilayah orang kulit berwarna. Dalam periode yang diapit oleh pemilihan presiden Barack Obama dan Donald Trump, pertanyaan akan apa artinya menjadi kulit putih di Amerika telah makin mengemuka.

Dalam beberapa bidang, ada semakin banyak bukti bahwa soal ras tidak lagi menjadi sekadar tontonan bagi orang Amerika kulit putih: Ada peningkatan kuliah studi kulit putih di kampus-kampus. Perseteruan tentang imigrasi dan tindakan afirmatif (kebijakan untuk peningkatan keterlibatan minoritas dan perempuan).

Naiknya tingkat kematian orang Amerika kulit putih usia paruh baya dengan tingkat pendidikan tak lebih dari setaraf Sekolah Menengah Atas akibat narkoba, alkohol, dan bunuh diri. Kelompok pemilih yang semakin terkotak-kotak secara rasial. Agresi dan daya tarik nasionalisme kulit putih, dengan kata-kata lagu terbarunya yang menusuk: “You will not replace us (Kalian tidak akan menggantikan kami).”

Protes di Charlottesville, Virginia, bulan Agustus yang lalu kelihatannya akan diingat sebagai momen saat kelompok-kelompok pembenci, yang mengenakan kaus berkerah dan celana warna khaki, keluar dari bayang-bayang. Sebagian besar orang Amerika dengan waras mengecam pesan dan metode dari neo-Nazi, anggota Ku Klux Klan, dan nasionalis kulit putih yang berkumpul di unjuk rasa “Unite the Right” yang mengutuk disingkirkannya sebuah monumen yang menghormati seorang jenderal Konfederasi.

Akan tetapi, masalah ras amatlah pelik, dan para cendekia serta peneliti yang dengan cermat memetakan hubungan antarras di negara ini mengemukakan bahwa demonstrasi Charlottesville – meskipun diolok-olok secara luas – juga mempertegas sebuah masalah yang mewarnai segalanya dari politik sampai prospek lapangan kerja dan bahkan dunia olahraga profesional: ketakutan bahwa kita akan digantikan yang lain dalam era perubahan yang cepat.

Hanya lebih dari 10 tahun yang lalu, Hazleton menjadi sorotan nasional ketika wali kotanya, kini anggota kongres AS Lou Barletta, mendesak dewan kota untuk meloloskan sebuah peraturan yang baru ada untuk pertama kalinya bernama Illegal Immigration Relief Act atau Peraturan Bantuan Imigrasi Ilegal.

Peraturan ini mengatur penalti besar bagi mereka yang mempekerjakan atau menyewa imigran tanpa dokumen. Hukum ini diajukan di tengah-tengah meningkatnya ketegangan budaya di masyarakatnya, yang tengah mengalami serbuan orang Latin, banyak dari antaranya pindahan dari New York dan New Jersey. Menurut Barletta, peraturan IIRA tadi— yang mencakup pernyataan bahwa “imigrasi ilegal membawa tingkat kriminalitas yang lebih tinggi”—dimaksudkan untuk menjaga cara hidup di “Small Town, USA.” Peraturan ini tidak pernah diberlakukan.

Pengadilan federal memutuskan bahwa peraturan tersebut tidak sesuai dengan hukum imigrasi AS. Namun begitu, episodenya masih berlanjut, demikian tutur Jamie Longazel, seorang profesor di John Jay College of Criminal Justice di New York City yang besar di Hazleton dan telah melakukan penelitian mendalam tentang perubahan demografis di kota asalnya. Longazel berkata bahwa debat yang dipublikasikan luas tentang peraturan tersebut meningkatkan ketegangan dan memperbesar apa yang disebut ilmuwan sosial sebagai “wacana ancaman orang-orang Latin.”

“Kita tahu di dalam sosiologi bahwa ketika identitas masyarakat ditantang atau dipertanyakan sedemikian rupa, masyarakat itu akan berusaha membela dan mempertahankan identitas tersebut,” tutur Longazel. “ Dengan berubahnya demografi dan terus turunnya ekonomi di Hazleton, masyarakat mulai melihat dirinya sendiri sebagai kulit putih. Kota itu membela kembali identitasnya sebagai kulit putih.” Longazel berpikir bahwa psikologi yang sama bisa jadi muncul dalam tingkat nasional.

Penelitiannya menemukan tema yang berulang. Warga kulit putih Hazleton secara konsisten mengenang sebuah kota yang “akrab, tenang, patuh, jujur, tak berbahaya, dan pekerja keras” dan menyebut pendatang baru sebagai “berisik, tak patuh, suka manipulasi, tak kenal hukum, dan malas.” Dan mengapa sangat sedikit orang di penelitiannya menyebutkan pendatang baru yang membayar pajak, pergi ke gereja dua kali seminggu, serta membuka usaha?