Genius hampir selalu dipupuk oleh orang tua dan guru yang mendukung dan memelihara benih-benih kebesaran. Ibu Picasso, María Picasso López, berdoa meminta anak lelaki dan memuja anak sulungnya. “Ibunya tergila-gila padanya,” kata Claude Picasso, yang merupakan administrator hukum warisan seni ayahnya. Sejak awal, Pablo muda berkomunikasi melalui seni, sudah menggambar sebelum bisa berbicara. Kata pertamanya “piz,” kependekan dari lápiz, atau pensil. Seperti Mozart sang komponis, Picasso memiliki ayah yang menggeluti bidang itu, José Ruiz Blasco, adalah seorang pelukis sekaligus guru pertama anaknya. “Dia murid terbaik yang pernah dimiliki ayahnya,” kata Claude. Picasso masih kecil ketika keseniannya mulai melampaui ayahnya, yang mungkin “tak hanya keheranan tetapi ketakutan oleh bakat anaknya,” kata Bernard.
Campuran rasa kagum dan takut itu cukup lazim dalam kasus-kasus anak ajaib. Kata Latin prodigium mengandung konotasi sesuatu yang tidak terduga, tetapi juga “tidak diharapkan dan mungkin berbahaya,” kata David Henry Feldman, peneliti yang sudah lama berkecimpung di bidang itu. Sebelum usia remaja, anak ajaib sudah menghasilkan prestasi setingkat orang dewasa mahir, misalnya memainkan sonata piano Ludwig van Beethoven atau mengerjakan soal matematika rumit sementara sebagian temannya masih belajar lompat tali. “Itu mengguncang pandangan kita,” kata Feldman.
Baca Juga: Laurel Roth Hope dan Renda, Seni Penghargaan bagi yang Punah
Dari mana asal keahlian dini itu? Anak ajaib itu langka, sehingga menyulitkan pengumpulan ukuran sampel yang besar, tetapi Ellen Winner, direktur Arts and Mind Lab di Boston College, menemukan beberapa ciri utama pada anak-anak yang ditelitinya. Seniman cilik yang matang dini memiliki ingatan visual yang tajam, sangat memperhatikan detail, serta mampu menggambar realistis dan menciptakan ilusi kedalaman bertahun-tahun sebelum anak seusianya. Winner meyakini bahwa anak-anak ini memiliki bakat bawaan yang didorong oleh “hasrat menguasai”—semangat yang begitu kuat sehingga mereka merasa harus menggambar atau melukis kapan pun sempat.
Semua ciri ini terdapat pada Picasso, yang menyombongkan jiwa seninya yang istimewa itu sejak kecil. Setelah melihat pameran seni anak pada 1946, dia terkenal pernah berkata bahwa dia tak mungkin bisa ikut serta dalam pameran seperti itu karena “pada umur 12, saya sudah bisa menggambar seperti Raphael.” Anggota keluarganya ingat bahwa Picasso menggambar hingga berjam-jam semasa kecil, kadang menerima pesanan—gambar kesukaan sepupunya Maria adalah keledai—sampai dia terlalu lelah untuk melanjutkan. Karya-karyanya paling awal yang masih ada sekarang diperkirakan dibuat pada 1890, ketika dia berumur sembilan tahun, dan termasuk lukisan minyak “Le Picador,” yang menampilkan matador berkuda.
Dalam beberapa tahun, Picasso sudah melukis potret keluarga dan teman dengan terampil. Pada usia 16, berkat karyanya, dia diterima di Real Academia de Bellas Artes de San Fernando yang bergengsi di Madrid. Di Prado Museum dia mempelajari para empu Spanyol yang dikaguminya, termasuk Diego Velázquez dan El Greco. Seni, kata Claude, adalah “satu-satunya hal yang diminatinya. Satu-satunya hal yang membentuk jati dirinya. Dia seniman sejati.”
Sebagian besar anak ajaib tidak menjadi genius setelah dewasa, sesempurna apa pun mereka menguasai suatu keterampilan. Kegeniusan memerlukan kepribadian pendobrak, disertai keberanian dan visi untuk merombak suatu bidang. Picasso masih kecil ketika Paul Cézanne, Georges Seurat, dan para seniman Pasca-impresionisme memerdekakan diri dari kemilau sapuan kuas Impresionisme, menambahkan bentuk tegas dan intensitas emosional pada kanvas mereka.
Ketika gilirannya tiba, Picasso menerjang dengan kegarangan banteng yang bertarung. Dengan lukisannya pada 1907, “Les Demoiselles d’Avignon,” sang seniman menjungkirbalikkan komposisi, perspektif, dan estetika tradisional. Kanvas yang menampilkan lima perempuan telanjang di rumah bordil—wajah terdistorsi, tubuh bersegi-segi—bahkan mengejutkan sahabat-sahabat Picasso. Namun, lukisan itu menjadi landasan gerakan seni radikal, yaitu kubisme, dan melejit ke puncak daftar lukisan terpenting abad ke-20. Pada saat itu, “dia meruntuhkan segala pengetahuan orang tentang seni,” kata Claude.
Seni Picasso tidak pernah diniatkan untuk menyenangkan hati orang. Dia menghindari komisi, hanya melukis apa yang diinginkannya dan berharap orang lain tertarik, kata putranya. Jadi, mengapa kita begitu terpikat pada karya-karyanya? Di sini, sains memberi bahan pemikiran yang menarik pula. Dalam bidang baru neuroestetika, peneliti menggunakan citra otak untuk lebih memahami reaksi orang terhadap seni—segala sesuatu dari teratai Claude Monet sampai persegi Mark Rothko.