Dalam salah satu kajian, Edward Vessel, ahli ilmu saraf di Max Planck Institute for Empirical Aesthetics di Frankfurt, memindai otak orang sementara mereka menilai reaksi mereka sendiri terhadap lebih dari seratus citra karya seni pada skala satu sampai empat, dengan empat berarti paling menyentuh hati. Tak mengherankan, sistem visual para peserta teraktifkan setiap kali mereka melihat lukisan. Namun, hanya karya seni yang paling menyentuh—yang dirasakan sangat indah atau menarik atau memukau—mengaktifkan “jaringan modus standar” otak, yang memungkinkan kita berfokus ke dalam dan mengakses pikiran dan perasaan paling pribadi.
Keseimbangan antara melihat keluar dan perenungan ke dalam seperti itu tidak biasa, kata Vessel. “Ini keadaan otak yang unik.”
Pengalaman ini menciptakan hubungan istimewa antara seni dan orang yang melihatnya, yang menghidupkan karya itu. Ahli ilmu saraf dan penerima Hadiah Nobel Eric Kandel, kolektor seni serius yang memiliki dua etsa Vollard Suite Picasso, berkata bahwa gambar menantang, menyedot orang dalam proses kreatif bersama seniman. Otak manusia mampu melihat isyarat tak lengkap dan merekonstruksi gambar yang cukup koheren. “Kita memiliki kemampuan luar biasa untuk mengisi detail yang hilang,” katanya.
Jauh sebelum ilmu otak dapat membuktikan dugaan itu, Picasso tampaknya sudah memahami dinamika ini. “Gambar,” dia berkata, “hidup semata-mata melalui orang yang melihatnya.”
Perjalanan menuju kejayaan tidak pernah ditempuh sendirian. Picasso menemukan guru-guru kreatif pertamanya di kafe Quatre Gats di Barcelona, tempat dia bergaul dengan para seniman Spanyol yang lebih berpengalaman, setiap orang turut menjadi “stimulus yang mendorong tahap-tahap awal kenaikan pesat Picasso,” tulis biografer dan teman lama Picasso, John Richardson. Di Paris, yang mulai dihuninya pada umur 22, Picasso menenggelamkan diri lagi di kumpulan benak yang bergelora—penulis Guillaume Apollinaire dan Gertrude Stein serta seniman Henri Matisse, André Derain, dan Georges Braque, orang yang akan menjadi mitra Picasso dalam kubisme. Bande à Picasso, demikian julukan bagi kelompok pertamanya itu, menyulut kreativitas dan semangat bersaing sang seniman.
Namun, perilaku dan sifat Picasso yang luar biasa itu menonjol. Dia didorong obsesi dan dedikasi besar pada seninya, hasrat menguasai tak pernah reda. “Hasrat itu hampir seperti terpatri pada sarafnya, sesuatu yang memaksanya untuk selalu aktif,” kata Diana Widmaier Picasso, sejarawan seni dan cucu dari Picasso dan Marie-Thérèse Walter, salah seorang sumber inspirasi Picasso yang paling bersinar, yang terlibat dalam hubungan cinta rahasia dengannya.
Sang seniman menemukan potensi dalam segala sesuatu, mengetsa burung hantu atau kambing pada batu dari laut. Dia membentuk muka patung babon dengan dua mobil-mobilan anaknya, dan membuat patung “Bull’s Head” dari sadel dan setang berkarat dari sepeda yang dipungut dari tumpukan sampah. Picasso berkarya tanpa henti—lukisan, patung, keramik, bahkan perhiasan. “Dia mampu memperbarui diri,” kata Diana. “Dia begitu produktif, sehingga orang sulit memusuhinya.” Menurut Picasso, dia tak tahu dari mana asal letupan kreatifnya, tetapi semua mengamuk di kepalanya, keping-keping yang menjadi utuh melalui tangan dan kuasnya.
Bakat, pengasuhan, kesempatan, kepribadian: Picasso punya semuanya. Dia juga beruntung. Sang seniman tumbuh dewasa saat fotografi menumbangkan fokus lukisan pada realisme tradisional. Dunia seni siap diusik dan dilanggar aturannya, kata András Szántó, ahli sosiologi seni di Kota New York, sedangkan media siap meliputnya dengan teknologi baru. Picasso, yang sangat menyadari ketokohan dirinya, piawai dalam pencitraan. “Dia sangat menyadari bakatnya,” kata kakak Diana dan cucu Picasso, Olivier Widmaier Picasso. “Dia memahami bahwa dia akan menjadi orang penting di masa datang.”
Sejak awal, sang seniman melepaskan nama ayahnya, Ruiz, dan mengambil nama ibunya yang lebih berkesan, Picasso. Dia mulai memberi tanggal pada lukisannya agar kelak dapat disusun secara kronologis. Dia mengundang fotografer untuk memotretnya dalam pose percaya diri di depan kanvasnya, berdansa bertelanjang dada bersama kekasihnya, dan bermain bersama anak-anaknya di pantai. Pada 1939 Picasso sudah melejit ke sampul majalah Time, yang menjulukinya “Pemain Akrobat Seni”. “Dia mampu menyesuaikan biografinya dengan titik perubahan besar dalam budaya kita,” kata Szántó. “Dia kebetulan memainkannya dengan mahir.”
Kegeniusan menyisakan peninggalan berupa puja-puji meluas, yang biasanya dikaitkan dengan derita pribadi sang seniman. Sifat-sifat yang memopulerkan karya cipta Picasso—bahwa dia tergila-gila berkarya dan senang melanggar aturan—menimbulkan pujian dan bahkan pemujaan seperti kultus. Sebelum “Salvator Mundi” Leonardo da Vinci terjual seharga lebih dari 6 triliun rupiah tahun lalu, “Les Femmes d’Alger” Picasso senilai 2,4 triliun rupiah adalah lukisan termahal yang pernah dilelang. Pameran Picasso masih dipadati pengunjung: Saat ini perhatian tertuju ke pameran laris di London yang berjudul “Picasso 1932: Love, Fame, Tragedy.”
Namun, sifat-sifat itu merongrong hubungan asmara Picasso, kadang sampai merusaknya. Karena takut pada penyakit dan kematian, dia bergonta-ganti wanita, banyak di antaranya lebih muda puluhan tahun, mungkin untuk melawan penuaan. Dia mendambakan perempuan, dan mereka terpikat oleh karismanya. Picasso memiliki “pancaran sinar, api batin,” tulis Fernande Olivier, wanita yang hidup bersama dengannya dari 1904 sampai 1912 di Paris.
Namun, terkadang dia cemburu dan misoginistis, menunjukkan perilaku yang kini menyulut perdebatan masyarakat tentang apakah tingkah laku seorang seniman selayaknya memengaruhi pandangan tentang karya seninya. “Sepanjang hidupnya, sering kali perempuan terkorbankan demi mengilhami karya seninya,” biografer Richardson pernah berkata. Françoise Gilot, yang juga pelukis dan ibu dari Claude dan adiknya, Paloma, berkenalan dengan Picasso di kafe di Paris pada 1943 ketika dia berumur 21 dan Picasso 61. Dalam memoarnya, dia bercerita tentang Picasso menyundut pipinya dengan rokok dan mengancam akan melemparkannya ke Sungai Seine. Kekasih Picasso yang paling langgeng adalah seninya. Tragedi susul-menyusul setelah kematian sang seniman, berupa tindakan bunuh diri janda Picasso—Jacqueline—kekasihnya Marie-Thérèse, dan cucu lelakinya Pablito.
Anak-cucu Picasso yang masih hidup memiliki perasaan campur-aduk tentang dirinya.
Marina Picasso, anak dari putra Picasso yang bernama Paulo, mengutarakan penilaian yang paling keras. “Karyanya yang cemerlang menuntut kurban manusia,” tulisnya dalam memoar pada 2001. “Dia menyengsarakan semua orang di dekatnya dan melahap mereka.”
Tetapi yang lain, termasuk adik seayah Marina, yaitu Bernard, yang berumur 14 ketika Picasso wafat, dan sepupu mereka, Olivier dan Diana, memproses kehidupan kakek mereka secara berbeda. Sambil mengakui trauma itu, mereka bersyukur atas kekayaan yang diwariskannya, yang juga memberi kemerdekaan finansial. Olivier ikut memproduksi dua film dokumenter dan menulis dua buku tentang kakeknya. Diana sedang merampungkan katalog komprehensif patung Picasso. Dan selain mengelola Museo Picasso Málaga, Bernard dan istrinya, Almine Rech-Picasso, mendirikan yayasan seni yang berfokus pada karya kakeknya. Kata Bernard kepada saya, “saya sangat berterima kasih atas pemberian Picasso kepada saya.”
Akhirnya, perjalanan Picasso dari anak ajaib ke peninggalannya adalah kisah penaklukan besar.
“Dia menjelajah ke setiap sudut,” kata Claude, sambil duduk dikelilingi lukisan ayah-ibunya di rumahnya, sementara matahari siang hari bersinar masuk. Namun, ketika saya bertanya bagaimana dia menjelaskan kegeniusan ayahnya, dia menanggapi dengan jawaban yang paling sederhana: “Bagaimana saya menjelaskannya? Saya tidak menjelaskan,” katanya. “Saya memahaminya saja. Hal itu gamblang bagi saya, seperti anak kecil.”
Penulis Claudia Kalb
Fotografer Paolo Woods dan Gabriele Galimberti