Nationalgeographic.co.id - Inilah cara untuk menyelamatkan nyawa ratusan ribu anak. Beri anak-anak di negara miskin vaksinasi yang sudah dianggap biasa oleh negara kaya.
Temui anak itu, kata Samir Saha. Kakak dan adiknya juga mungkin ada di sana, yang kehidupannya juga berubah selamanya. “Ini sebabnya vaksin sangat penting,” kata Saha. “Kami ingin menurunkan jumlah ini ke angka minimum, kalau bisa nol. Supaya tak ada anak lain yang seperti ini.”
Di Dhaka, ibu kota Banglades, Saha sedang berada di kursi belakang mobilnya, merengut. Seorang sopir berseragam mengemudikan Toyota itu menembus kemacetan gaduh yang penuh angkutan umum, motor, angkong, truk, dan bus reyot yang penumpangnya bergelantungan di pintu. “Anda akan melihat skenarionya,” katanya. “Anda akan mengerti.”
Baca Juga : Antisipasi Rabies, KPKP DKI Jakarta Laksanakan Sosialisasi dan Vaksin Serentak
Saha adalah seorang ahli mikrobiologi, yang terkenal di seluruh dunia untuk penelitiannya tentang bakteri pneumococcus. Laboratorium yang didirikannya terletak di sudut Dhaka Shishu, rumah sakit anak terbesar di Banglades.
Di lorong yang sama, baris-baris tempat tidur memenuhi bangsal terbuka; pada jam besuk, setiap tempat tidur diisi si anak yang sakit, sekaligus banyak kerabat yang menjenguk. Di laboratorium, lelaki dan perempuan berjaket putih setiap hari mempelajari sel-sel pneumococcus dengan saksama.
Bakteri pneumococcus ada di mana-mana di dunia modern. Mudah tersebar melalui bersin atau sentuhan biasa, bakteri ini dapat hidup tanpa efek buruk di saluran hidung manusia dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Tetapi, ketika pertahanan tubuh sedang lemah, pneumococcus dapat berpindah, berkembang biak, dan memicu penyakit menular yang mengancam nyawa. Yang paling rentan adalah anak kecil di tempat yang sulit mendapat antibiotik dan perawatan kesehatan yang baik.
Pada awal abad ke-21, ketika vaksin anak pertama yang efektif di dunia mulai tersedia di Amerika Serikat dan Kanada, penyakit akibat pneumococcus menewaskan lebih dari 800.000 anak di seluruh dunia setiap tahun—berarti lebih dari tiga per empat juta bayi dan balita meninggal akibat organisme biasa yang menyebabkan pneumonia (infeksi paru-paru) atau meningitis (infeksi membran otak) atau serangan fatal pada aliran darah. Sebagian besar kematian itu terjadi di negara-negara miskin seperti Banglades.
Pada 2015, vaksin konjugat pneumococcus (PCV), demikian nama formulasi untuk anak, sampai di tangan orang Banglades, dan tim penelitian Saha melacak kemajuannya dengan cermat.
Jika PCV terbukti efektif di seluruh dunia seperti yang diharapkan pakar vaksin, vaksin ini berpotensi akan sangat menurunkan tingkat kematian—berarti ribuan anak kecil tetap hidup, tidak lagi meninggal sebelum mencapai usia sekolah—dan sangat mengurangi penyakit yang tidak mematikan. Mengurangi napas pneumonia yang cepat; mengurangi demam, dada cekung, batuk parau, bibir biru, perawatan oleh orang tua yang terpaksa meninggalkan pekerjaan berupah yang semestinya menafkahi anaknya yang lain.
Hal mendesak, ambisius, dan kompleks yang melibatkan banyak pemerintah dan sumbangan miliaran dolar, adalah kerja sama internasional untuk mengirim vaksin baru ke anak-anak di negara berkembang.