Vaksinasi, Salah Satu Cara Selamatkan Nyawa Anak-anak di Negara Miskin

By Rahmad Azhar Hutomo, Jumat, 15 Maret 2019 | 10:00 WIB
Penjaga toko Karachi di Pakistan, Ghulam Ishaq, dulu tidak percaya pada vaksin polio. Kini, dia menyalahkan dirinya untuk penderitaan ganda putrinya Rafia (4 tahun) satu kaki layu akibat polio, satu lagi patah tertabrak mobil yang tidak bisa dihindarinya. (William Daniels)

Andai ibu itu berjalan-jalan di bangsal Dhaka Shishu bersama Saha, dia tentu melihat anak-anak lesu yang berbaring dengan topeng oksigen, keluarga berkumpul di samping tempat tidur atau berkerumun dengan muram di lorong, menunggu antibiotik beraksi. Dan itu baru keluarga yang masih sempat ke rumah sakit. “Untuk tempat terpencil,” kata Saha, “ini”—serangan pencegahan dari vaksin yang berfungsi—“satu-satunya alat kita.” Di desa dan kampung kumuh termiskin, masih ada ribuan anak penderita penyakit pneumococcus yang meninggal di rumah.

Sanjida Sahajahan tiba ke Dhaka Shishu, tetapi dokter tidak bisa membantu banyak. Saha merasa frustrasi menangani kasus Sanjida. Labnya mengidentifikasi pneumococcus yang menginfeksi otak anak itu: serotipe 1, salah satu varietas yang tidak dibidik dalam Prevnar versi pertama. Jadi, andaipun Banglades sudah mampu membeli vaksin itu pada 2005, vaksin itu tidak bisa melindungi Sanjida.

“Dan bukan hanya anaknya yang tidak berfungsi,” kata Saha. “Ibunya juga tidak berfungsi. Dia tidak bisa ke mana-mana. Setiap anggota keluarga itu setengah meninggal.”

Dia diam. “Kami memberinya kursi roda,” katanya. “Apakah dipakai?”

Pakistan. Hanya tiga negara yang masih melaporkan kasus polio: Afganistan, Nigeria dan Pakistan. Penolakan vaksinasi dengan kekerasan telah menewaskan puluhan vaksinator dalam beberapa tahun terakhir. Di Karachi, vaksinator mengunjungi rumah dengan dikawal polisi. (William Daniels)

Kursi itu dibongkar, kata saya, di kolong tempat tidur. Saha meringis. Tetapi, si bayi yang berumur dua bulan, Jannat—orang tuanya menunjukkan kartu kesehatannya juga, kata saya, dan kolom barunya yang sudah dicentang: vaksin konjugat pneumococcus. Kalau vaksin itu manjur, Jannat akan terlindung dari patogen yang melumpuhkan kakaknya, dan ketika Saha memikirkan semua ini, duka dan harapan yang menyatu di dalam rumah yang sangat kecil itu, dia menghela napas.

“Kita tetap harus melihat berapa banyak anak yang meninggal, dan berapa yang lumpuh seperti ini, selama 10 tahun kita menunggu vaksin itu,” katanya. “Tetapi, syukurlah kita punya vaksin itu sekarang.”

Kompleks gsk yang luas di kota Wavre di Belgia adalah fasilitas produksi vaksin terbesar di dunia. Pada hari saya bertemu dengan Luc Debruyne, presiden vaksin global di perusahaan itu, saya sudah harus berganti pakaian dua kali. Setiap kegiatan biologis dan pencampuran vaksin dilakukan secara kedap udara di bangunan terpisah, dan memasuki struktur khusus ini mengharuskan orang mengganti seluruh pakaian dengan seragam ruang-bersih, sepatu putih yang dibersihkan, serta kacamata dan topi pelindung yang menutupi kacamata dan rambut.

Operasi vaksin perusahaan itu, merupakan investasi sebesar lima miliar dolar lebih selama sepuluh tahun terakhir, kata Debruyne. “Ini memang bisnis yang menguntungkan,” tambahnya. “Bisnis ini harus menguntungkan agar bisa bertahan, agar mampu menawarkan volume besar dan harga terjangkau bagi dunia berkembang.”

Vaksin pneumococcus anak yang dikirim GSK ke Dhaka merupakan produksi global: Pencampuran dimulai di pabrik perusahaan di Singapura, vaksin dikirim ke Belgia lalu ke Prancis untuk diproses, dan botol vaksin akhirnya kembali ke Belgia untuk dikirimkan. Namun, saat saya melihat melalui kacamata pengaman ke mesin dan tangki besar keperakan di Wavre, produk yang sedang disiapkan adalah produk GSK lain—vaksin terhadap patogen yang bernama rotavirus, penyebab utama diare anak, yang diderita jutaan setiap tahun.

Di negara-negara termiskin di Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan, penyakit ini menewaskan ratusan ribu orang. Banyak anak Dhaka Shishu harus berjuang untuk sembuh dari penyakit itu.

Banglades sudah mendapat persetujuan Gavi untuk mulai mendapat vaksin rotavirus GSK, mungkin tahun depan. Setelah negosiasi diskon dan dukungan finansial tambahan, pemerintahnya akan membayar sekitar 50 sen untuk setiap paket dua-dosis vaksin yang kini harganya $220 untuk dokter di AS. Untuk sistem kesehatan negara miskin, harga itu sangat murah, tetapi ada konsekuensi besar. Bantuan Gavi ini bersifat sementara—cara bagi negara miskin untuk membantu lebih banyak anak tumbuh sehat, dan karenanya turut meningkatkan perekonomian negara hingga akhirnya mampu membeli sendiri vaksin yang penting.

Italia. Beatrice Vio mulai bermain anggar pada umur lima tahun. Pada umur 11, dia terjangkit meningitis meningococcus, yang menyebar melalui darah dan menyebabkan tangan-kakinya diamputasi. Kini 20 tahun, dia pemegang medali emas dalam anggar kursi roda tim Paralimpiade Italia dan gigih memperjuangkan vaksinasi dini. (William Daniels)

Setelah suatu negara penerima melampaui tingkat pendapatan per kapita terendah di dunia, subsidi Gavi semestinya dicabut secara bertahap. “Ini disebut ‘transisi,’” kata Kate Elder, penasihat kebijakan vaksin di Doctors Without Borders. “Tetapi saya pernah mendengar para menteri kesehatan menganggap ini sebagai ‘didepak’.” Meskipun para pemimpin GSK dan produsen vaksin besar lain di AS dan Eropa berjanji tetap memberi diskon untuk negara miskin, pencabutan subsidi tetap berarti kenaikan biaya yang relatif besar. Di Banglades, misalnya, ini dapat menaikkan harga vaksin pneumococcus GSK dari 60 sen menjadi $9,15 per anak.

Itu masih terasa murah bagi dokter di Amerika Serikat yang membayar lebih dari 50 kali lipat. Tetapi, Doctors Without Borders dan para pengkritik lain berargumen bahwa harga yang ditetapkan perusahaan obat besar dari Amerika dan Eropa untuk vaksin anak itu terlalu tinggi, bahkan setelah didiskon. Sepertiga negara di dunia belum memasukkan PCV ke program imunisasi; alasan utamanya adalah biaya jangka panjang. Dari perusahaan obat, Elder berkata, “kami sering mendengar ini: ‘Mengapa kalian tidak mensyukuri saja anak-anak yang sekarang mendapat vaksin?’ Dan kami berkata, ‘Ya, tapi kami ingin lebih.’”

Baca Juga : Mudah Merasa Lelah? Mungkin Saja Anda Mengidap Masalah Kesehatan Ini

Jalan keluarnya mungkin terletak di pesaing yang bermunculan di luar AS dan Eropa—dari perusahaan farmasi di India, Brasilia, Vietnam, Kuba, Korea Selatan, dan bahkan Banglades, tempat sebuah perusahaan Dhaka kini menjual hampir dua belas jenis vaksin, menggunakan bahan yang diimpor dari negara-negara lain. Pabrik India raksasa bernama Serum Institute memproduksi dari nol lebih dari satu miliar dosis per tahun vaksin yang relatif murah, mengirimnya ke seluruh India dan ke luar negeri. Pakar penyakit di Gates Foundation dan PATH, organisasi kesehatan nirlaba global yang juga berpusat di Seattle, membantu Serum mengembangkan vaksin pneumococcus anak sendiri. Uji coba sedang dilakukan di India dan Afrika, dan vaksin itu mungkin bisa dipasarkan sebelum 2020.

Samir Saha kini berumur 62 tahun, tanpa berencana pensiun dalam waktu dekat. Masih terlalu dini untuk menilai dengan pasti kesuksesan PCV di Banglades, tetapi terakhir kali kami berjalan bersama di Dhaka Shishu, dia bersemangat. Hanya ada tiga pasien pneumococcus di bangsal umum hari itu, tak ada yang tampaknya terancam bahaya besar, dan salah satu peneliti Saha sedang di depan komputer, membuat grafik batang yang menunjukkan penurunan drastis jumlah kasus untuk musim gugur 2016—satu batang pendek, tampak kerdil dibandingkan batang-batang yang jauh lebih tinggi dari enam musim gugur sebelumnya.

Saha menarik kursi dan mengamati grafik itu lekat-lekat. Coba kita lihat tahun depan, katanya. Kemudian, dia tersenyum.

“Bagus untuk pasien,” katanya. “Pneumonia berkurang di rumah sakit. Kematian berkurang.” Dia melambaikan tangan ke semua peneliti yang membungkuk di atas mikroskop. “Menganggur!” Saha bercanda, dan senyumnya melebar. “Mereka semua akan menganggur!”.

Penulis: Cynthia Gorney

Fotografer: William Daniels