Di negara-negara itu, hingga sekarang, penderitaan yang diakibatkan oleh penyakit yang dapat dicegah vaksin adalah hal nyata dan bukan sekadar teori–senyata keluarga-keluarga panik yang dilihat Saha di lorong rumah sakit Dhaka Shishu.
Inilah sebabnya dia menyuruh saya mengunjungi Sanjida Sahajahan, 11 tahun, anak tengah seorang tukang reparasi angkong dan istrinya. Pergilah sekarang, kata Saha, saat kami berhenti di gerbang utama rumah sakit; setelah Anda kembali, kita akan membahas hal yang Anda lihat. Anda akan diantar Jamal dan Tasmim. Van di tempat parkir sudah menanti.
Van rumah sakit itu menembus jalan Dhaka yang penuh sesak dan terus menyempit, sampai akhirnya kami turun untuk berjalan kaki. Jamal Uddin adalah seorang dokter, Tasmim Sultana Lipi adalah pekerja kesehatan masyarakat. Mereka tahu gang becek mana yang harus dimasuki. Di sepanjang bangunan beratap seng di kedua sisi, jendela berjeruji menampakkan sekilas keluarga demi keluarga yang menghuni rumah satu ruang.
Lipi mengangguk ke arah pintu dan masuk.
Sanjida, yang dulu digendong masuk ke Dhaka Shishu pada umur tiga tahun dengan mengidap meningitis pneumococcus, kini bersandar di kursi plastik kecil di sebelah tempat tidur keluarga. Meningitis adalah radang, yang kadang merusak dan tak bisa disembuhkan, pada membran yang menyelimuti otak dan sumsum tulang belakang. Sanjida tidak bisa mengendalikan kepala, seringai, dan suara yang dibuatnya—sebagian besar ocehan merintih, karena dia tak mampu membentuk kata.
Ibunya, Nazma, sedang di luar bersama bayinya ketika kami tiba; di rumah-rumah satu ruangan ini, sembilan keluarga menggunakan dua toilet dan satu keran bersama-sama, dan kini Nazma bergegas masuk. Dia duduk di bangku. Dia meraih tangan Sanjida.
Di Bangla dia menuturkan kisahnya: demam tanpa sebab yang diderita anak tiga tahun mereka yang pintar dan cerewet; tetangga yang menyarankan asetaminofen; demam menurun setelah pil itu; demam naik lagi. Ia kejang-kejang pertama kalinya dan perjalanan was-was ke rumah sakit. Saat dokter memeriksa Sanjida, anak itu sudah tak sadarkan diri. Kata-kata terakhirnya yang dapat dipahami, kata Nazma, adalah “Peluk aku. Tidak enak sekali rasanya.”
Ayah Sanjida, Mohammad, berdiri tanpa suara sementara Nazma berbicara. Putra mereka, 14, masuk dan menggendong si bayi dan berdiri juga; tidak ada tempat lain untuk duduk. Kursi roda yang dibongkar berada di kolong tempat tidur—sumbangan, kata Nazma, ide yang sangat baik, tetapi tempat tinggal mereka terlalu kecil. Mohammad mengambil kartu kuning kusut dari laci: catatan kesehatan nasional Sanjida.
Di situ adalah catatan tentang vaksinasi Sanjida. Seperti kakaknya, Sanjida mendapat semua vaksin yang waktu itu disertakan dalam program imunisasi nasional Banglades, sesuai jadwal dan gratis: batuk rejan, campak, difteri, TBC, tetanus, hepatitis B, polio. Tidak ada cacar; vaksinasi di seluruh dunia telah membasmi penyakit menular penyebab bopeng itu dari muka bumi sebelum 1980, dua abad setelah dokter Inggris bernama Edward Jenner menerbitkan risalah terkenalnya tentang menularkan cacar sapi pada anak kecil dengan sengaja, yaitu virus lemah yang ternyata merangsang kekebalan tubuh terhadap cacar yang jauh lebih parah.
Sejarah kesehatan global yang luar biasa telah diringkas, boleh dibilang, pada kartu kuning kecil Sanjida. Tidak ada yang dapat menghitung dengan akurat jumlah total orang yang diselamatkan oleh vaksinasi yang meluas, tetapi ini tetap salah satu prestasi terbesar dalam bidang kedokteran modern. Campak, misalnya, menewaskan lebih dari dua juta anak per tahun di seluruh dunia pada 1980-an; pada 2015, menurut World Health Organization, vaksinasi telah menurunkan jumlah kematian menjadi 134.200.
Vaksinasi massal telah mengakhiri polio di semua negara kecuali tiga. Dan ketika saya bertanya kepada Nazma bagaimana dia pertama tahu tentang vaksin—mengapa dia menganggap bahwa menyuntik bayi yang sehat itu baik?—dia tampak terkejut. Lalu, dia menjawab panjang-lebar dengan bersemangat, : Tetapi semua orang Banglades tahu ini.