Vaksinasi, Salah Satu Cara Selamatkan Nyawa Anak-anak di Negara Miskin

By Rahmad Azhar Hutomo, Jumat, 15 Maret 2019 | 10:00 WIB
Penjaga toko Karachi di Pakistan, Ghulam Ishaq, dulu tidak percaya pada vaksin polio. Kini, dia menyalahkan dirinya untuk penderitaan ganda putrinya Rafia (4 tahun) satu kaki layu akibat polio, satu lagi patah tertabrak mobil yang tidak bisa dihindarinya. (William Daniels)

Dalam iklan layanan masyarakat di televisi—penyanyi dan atlet populer memuji vaksin yang menyelamatkan nyawa. Dorongan untuk vaksinasi dikumandangkan dari ribuan menara masjid, seperti azan; mayoritas warga Banglades beragama Islam, dan ketika mempromosikan vaksinasi polio pada akhir 1980-an, pejabat kesehatan dan ulama bersama-sama membuat program untuk “promosi lewat masjid.”

Sekali waktu, di desa di luar Dhaka, imam setempat menyingsingkan lengan baju untuk menunjukkan kepada saya bekas vaksinasi TBC-nya yang terakhir. Menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah, dia menjelaskan, dan orang tua yang beriman wajib menjaga kesehatan anak-anaknya.

Banglades, Sanjida Sahajahan, 11, dulu sehat semasa balita, lalu otaknya dirusak bakteri pneumococcus. Bantuan internasional menolong Banglades membeli vaksin yang melawan infeksi seperti itu—sudah terlambat untuk Sanjida, tetapi mungkin masih sempat melindungi ribuan anak muda lain. (William Daniels)

Mengirim vaksin di Banglades tidaklah mudah. Medannya dirintangi sungai yang sering meluap dan jalan yang sulit dilalui, sedangkan vaksin harus dijaga pada suhu dingin yang tepat agar tetap manjur. Menjaga “rantai dingin” ini adalah prioritas penting dalam program imunisasi di semua negara yang beriklim panas dan jaringan listriknya tidak andal; kotak pendingin yang rusak atau padam listrik di desa dapat merusak satu kelompok vaksin. Tetapi, Banglades sudah bekerja keras menjaga rantai dingin itu, melengkapi pusat kesehatan setempat dengan panel surya, menggunakan sepeda dan perahu sungai untuk mengantar vaksin ke klinik-klinik terpencil.

Dalam perjalanan pulang ke Dhaka Shishu, terdiam sedih, saya memahami apa yang Samir Saha ingin saya lihat. Pada 2005, saat Sanjida divaksinasi, vaksin baru terhadap infeksi pneumococcus sudah menyebar luas dengan cepat di negara maju. Masalahnya timbul di tempat-tempat seperti Banglades, yang jauh lebih membutuhkan vaksin itu, tetapi tidak mampu membayar harga yang ditetapkan produsen. 

Vaksin, dengan sangat sedikit pengecualian, dibuat oleh perusahaan swasta, dalam bisnis untuk memperoleh laba. Hingga baru-baru ini, produksinya di seluruh dunia didominasi oleh beberapa perusahaan obat raksasa AS dan Eropa.

Seperti yang diingatkan para pejabat perusahaan ketika organisasi advokasi seperti Doctors Without Borders mendesak mereka untuk menurunkan harga (atau membuka pembukuan untuk membuktikan mengapa itu tak bisa dilakukan), mengembangkan vaksin baru itu sangat mahal. Semua itu perlu waktu bertahun-tahun.

Untuk menemukan vaksin pneumococcus yang berfungsi dengan benar pada anak-anak, perlu waktu puluhan tahun. Vaksin dewasa yang baik sudah dipasarkan pada awal 1980-an, tetapi tidak pernah memicu tanggapan kekebalan tubuh yang diharapkan pada anak kecil. Baru pada akhir 1990-an peneliti akhirnya menemukan cara untuk memperbaiki secara biologis, atau “konjugat,” isi vaksin dewasa itu agar dikenali oleh sistem kekebalan tubuh anak.

Pneumococcus memberi tantangan lain yang sulit: Saha dan ilmuwan lain telah mengidentifikasi hampir seratus versi, atau serotipe, sel pneumococcus. Serotipe kadang hanya ada di wilayah tertentu, dan karena alasan yang belum dipahami sepenuhnya, hanya sejumlah kecil yang berbahaya. (Serotipe 1, misalnya, relatif sedikit menyebabkan penyakit di Amerika Serikat, tetapi merupakan sumber utama penyakit dan kematian pneumococcus di Afrika dan Asia Selatan.) Jadi, vaksin yang manjur untuk anak dan membidik serotipe yang tepat sebenarnya merupakan beberapa jenis vaksin, yang diperbaiki dan diuji secara terpisah, lalu dicampur dalam satu botol.

Semua kerumitan ini turut menyebabkan vaksin pneumococcus anak pertama menjadi salah satu vaksin termahal dalam sejarah. Vaksin yang bernama Prevnar ini diluncurkan pada awal 2000. Vaksin ini diformulasi untuk melawan ketujuh serotipe yang menyebabkan sebagian besar penyakit itu—di Amerika Serikat, tepatnya, yang mampu membayar vaksin anak seharga $232 per paket empat-dosis. Salah satu jenis pneumococcus berbahaya yang tidak dilawan oleh vaksin itu adalah serotipe 1. Padahal, justru di wilayah-wilayah termiskin di Afrika dan Asia Selatan-lah infeksi pneumococcus paling mungkin menewaskan anak atau menyebabkannya lumpuh seumur hidup—tidak hanya karena orang tua tidak bisa menemui dokter cukup cepat, tetapi juga karena bakteri itu menyebabkan kerusakan ekstra pada tubuh kecil yang sudah diperlemah oleh kekurangan gizi, penyakit lain, dan terlalu banyak terpapar pada asap api masak.

“Sewaktu saya mulai bekerja di bidang ini, yang membuat saya sulit tidur adalah ketimpangan,” kata Orin Levine, direktur pengiriman vaksin di Bill and Melinda Gates Foundation. Bertahun-tahun silam, koleganya menyaksikan seorang perempuan di rumah sakit Mali ditinggal mati putrinya akibat pneumonia pneumococcus; lalu, putrinya yang lain meninggal akibat hal yang sama. Putri-putrinya sendiri berumur sepantar.

DRK Pada 2016, wabah demam kuning menyebar dari negara tetangga Angola , sementara persediaan vaksin kurang. Pekerja kesehatan berupaya memvaksinasi semua warga kota Matadi yang berjumlah 350.000 jiwa. Di sini mereka berimprovisasi membuat klinik di truk terbengkalai. (William Daniels)