Setiap bangunan memiliki jiwa, dan Boy juga berharap bahwa Jakarta dan Kota Tuanya juga masih memiliki jiwa. “Membangun kembali itu tidak susah,” ungkapnya. “Tetapi memberi jiwa pada bangunan itulah yang berat.”
“Balkon ini berfungsi sebagai wajah juga,” ujar Boy, sehingga OLVEH tidak memunggungi rumah abu tadi. Demikianlah kiat sang arsitek menghormati kawasan yang sudah ada sebelum membangun gedung.
“Ini adalah cara bangunan ini dalam merespon lingkungan,” Boy berujar sembari menunjuk balkon yang membentang sebagai teras pada lantai ketiga gedung ini.
Kemudian, Boy memperlihatkan serangkaian foto-foto udara awal 1920-an. Bukti foto menunjukkan bahwa OLVEH dibangun di tepian kawasan pecinan kota. Ketika gedung tersebut selesai dibangun pada 1922, kawasan plaza atau Stationsplein (kini kawasan terminal bus Transjakarta dan sekitarnya) belum terbentuk—mungkin sedang direncanakan.
Saya takjub menyaksikan foto-foto udara tadi. Gedung OLVEH yang mungil bercat putih telah menjadi tengara pada 1922, namun bangunan penanda di sekeliling pusat Stationsplein belum dibangun—seperti Stasiun BEOS, Nederlandsche Handel Maatschappij (kini Museum Bank Mandiri), dan Nederlandsch-Indische Handelsbank (kini Bank Mandiri).