Meniti Jejak Kabur Orang-orang Tambora di Batavia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 29 Maret 2019 | 10:00 WIB
Hujan deras mendera sebuah permukiman di pinggang Tambora, sesaat sebelum gunung itu bererupsi dahsyat. (Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

 

Rumah Atas, salah satu tengara kembalinya peradaban Tambora, berada di tengah perkebunan kopi. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
 
Kisah lain tentang asal-usul Kampung Tambora dari perspektif Kesultanan Bima diungkapkan oleh M. Hilir Ismail dan Alan Malingi dalam Profil Raja & Sultan Bima. Ismail merupakan sejarawan dan budayawan  Bima, sementara Malingi merupakan pemerhati sejarah dan budaya asal kota yang sama.

Mereka mengungkapkan bahwa jatidiri Kampung Tambora berasal dari akhir abad ke-17—atau sekitar seratus tahun sebelum Masjid Tambora berdiri. Kisah mereka lebih rumit lantaran terkait dengan peran para pangeran asal Sumbawa dan Gowa dalam membantu pemberontakan Trunajaya pada 1677-1679.

Nuruddin, seorang pangeran muda Kesultanan Bima, turut dalam ekspedisi ke Jawa pada awal paruh kedua abad ke-17. Kesultanan Bima berhubungan erat dengan Kesultanan Gowa di Makassar. Bersama laskar Gowa, Nuruddin membantu laskar Trunajaya yang memerangi Amangkurat I dan Amangkurat II di Mataram yang berada di pihak VOC. Meski mengalami kekalahan, laskar Nuruddin dan laskar Gowa bergabung dengan laskar Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, demikian ungkap Ismail dan Alan.

Keduanya juga mengungkapkan, lantaran seorang putera Sultan Banten berkhianat, Nuruddin bersama 19 anggota laskar ditangkap oleh Belanda ketika sedang menuntut ilmu di Cirebon. Kemudian mereka menjadi tawanan di Batavia.

“Tempat tawanan pejuang muda bersama laskar itu,” ungkap mereka, “sampai sekarang dikenal dengan Tambora, berada di Jakarta Kota Wilayah Barat.” Kemudian mereka melanjutkan, “Di sana terdapat bangunan masjid kuno yang bernama Masjid Tambora.”

Seorang pendaki menapaki jalur menuju puncak Gunung Tambora dengan ketinggian 2.850 meter. (Warsono/National Geographic Indonesia)