Mereka mengungkapkan bahwa jatidiri Kampung Tambora berasal dari akhir abad ke-17—atau sekitar seratus tahun sebelum Masjid Tambora berdiri. Kisah mereka lebih rumit lantaran terkait dengan peran para pangeran asal Sumbawa dan Gowa dalam membantu pemberontakan Trunajaya pada 1677-1679.
Nuruddin, seorang pangeran muda Kesultanan Bima, turut dalam ekspedisi ke Jawa pada awal paruh kedua abad ke-17. Kesultanan Bima berhubungan erat dengan Kesultanan Gowa di Makassar. Bersama laskar Gowa, Nuruddin membantu laskar Trunajaya yang memerangi Amangkurat I dan Amangkurat II di Mataram yang berada di pihak VOC. Meski mengalami kekalahan, laskar Nuruddin dan laskar Gowa bergabung dengan laskar Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, demikian ungkap Ismail dan Alan.
Keduanya juga mengungkapkan, lantaran seorang putera Sultan Banten berkhianat, Nuruddin bersama 19 anggota laskar ditangkap oleh Belanda ketika sedang menuntut ilmu di Cirebon. Kemudian mereka menjadi tawanan di Batavia.
“Tempat tawanan pejuang muda bersama laskar itu,” ungkap mereka, “sampai sekarang dikenal dengan Tambora, berada di Jakarta Kota Wilayah Barat.” Kemudian mereka melanjutkan, “Di sana terdapat bangunan masjid kuno yang bernama Masjid Tambora.”
Baca Juga : Singkap Misteri Lamassu di Sudut Perkantoran Hindia Belanda
Selepas ekspedisi militer ke Jawa, Nuruddin bertakhta sebagai Sultan Bima III pada usia 31 tahun. Dia memerintah pada 1682-1687, dan wafat dalam usia 36 tahun.
Namun penuturan Ismail dan Malingi tentang asal-usul Kampung Tambora tadi sejatinya masih terdengar janggal. Bukankah Nuruddin merupakan seorang pangeran asal Bima, yang kelak memiliki wilayah terpisah dengan Kerajaan Tambora? Mengapa orang-orang justru mengenang tempat Nuruddin sebagai tawanan itu sebagai "Kampung Tambora"?
Kedahsyatan amukan Gunung Tambora pada 10 April 1815 telah membinasakan peradaban manusia di pinggang gunung itu, termasuk Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora. Sejarah dua kerajaan itu kerap dikaitkan dengan pelarian para bangsawan Gowa ke Semenanjung Sanggar karena kekalutan politik pascaperjanjian Bongaya pada abad ke-17.