Dewaruci dan Khilafnya Negeri Bahari

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 27 April 2019 | 17:19 WIB
KRI Dewaruci tengah bersiap memasuki pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, usai melakukan giat Kartika J (Julius Rendy Nugroho/Angkasa)

Bersiul menjadi perkara tabu sepanjang pelayaran. Bagi pelaut yang meyakininya, bersiul akan memanggil topan dan gelombang.

Seorang sersan mayor dua, yang berusaha menggulung layar, melayang terbawa layar hingga ke arah lambung kiri. Lelaki itu “melintasi tepat di depanku, lalu aku menjambar perutnja, terbawa kedekat tjerobong asap dari dapur jang mendjulang agak tinggi, dan keduanja aku peluk erat2,” catat Kowaas.

Peristiwa badai selama tiga menit, yang nyaris menggulingkan Dewaruci, berhasil diabadikan Sersan Mayor Dua Umboh dengan kamera fotonya, dan menjadi salah satu ilustrasi buku tadi. Setelah itu kapal melaju menuju pesisir Djibouti, Afrika timur.

Bersiul menjadi perkara tabu sepanjang pelayaran. Bagi pelaut yang meyakininya, bersiul akan memanggil topan dan gelombang. Badai memang singgah silih berganti. Kala badai menghantam kapal, barang-barang yangtidak diikat dengan sempurna akan jatuh berantakan. “Beberapa orang jang sedang enak2 mendengkur dibuai alun di langit ketudjuh,” lanjut Kowaas, “tiba2 terbangun dari mimpi dilantai jang lembab bertjampur muntah...”

 

Lonceng legendaris yang terdapat di atas geladak KRI Dewaruci. Walaupun lonceng kapal tersebut telah retak, awak Dewaruci mengharamkan untuk menggantinya dengan lonceng baru. (Julius Rendy Nugroho/Angkasa)

Lonceng legendaris yang terdapat di atas geladak KRI Dewaruci. Walaupun lonceng kapal tersebut telah retak, awak Dewaruci mengharamkan untuk menggantinya dengan lonceng baru.  (Julius Rendy Nugroho/Angkasa)

Mereka memiliki band bernama “Tamtama Merana” yang kerap pentas latihan di geladak. Lirik sajak atau lagu yang dinyanyikan pun temanya tak jauh dari kemeranaan.

Sejatinya, Rosenow merupakan perwira Jerman yang telah berkewarganegaraan Indonesia. Setelah berdinas di ALRI, dia menjadi Syahbandar Pelabuhan Tanjungpriok. Atas wasiatnya, abu jenazah Rosenow ditebar di Teluk Jakarta pada 1966.