Kemudian Kowaas juga menambahkan, “Bagaimana dengan kita?” Menurutnya, orang-orang Indonesia bukan pemalas, bukan pula bodoh. “Mungkin dalam pembawaan. Kita terlalu dibiasakan lambat2, alon2, jang hati2, jang halus, biar lambat asal selamaaat...”
Nenek itu berseru takjub kepada sang jurnalis, “My goodness, they walk like God!”
Kini, sang angsa betina itu telah menua dan bukan lagi “seorang gadis djelita jang sedang berdjemur diatas pelampung, megah dan angkuh”. Kapal layar ini telah bermuhibah mengelilingi dunia sebanyak dua kali, dan kini berstatus purna tugas. Pada akhir 2016 silam, Menteri Pertahanan meluncurkan kapal pengganti KRI Dewaruci yang bernama KRI Bima Sakti di Galangan Kapal Freire, Spanyol. Kelak, pada pertengahan 2017, kapal layar tipe barque itu telah berada di Indonesia. Kabarnya, Dewaruci akan menikmati hari-hari pensiunnya di dermaga kompleks Komando Armada RI Kawasan Timur di Surabaya.
Kita sungguh bangga dengan jargon bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut ulung yang tak gentar meski badai menghajar. Adrian Horridge, pakar perahu Nusantara dan guru besar emiritus Australian National University, pernah memberikan pemaparan betapa beragamnya perahu yang dimiliki suku-suku pesisir di Indonesia. Dalam bukunya berjudul The Prahu: Traditional Sailingboat of Indonesia, Adrian juga mengendus tergesernya kearifan lokal terkait teknologi perahu yang digantikan oleh teknologi dari luar yang dianggap lebih praktis.
Kita pun sepatutnya mengakui bahwa perkembangan budaya maritim kita belum didukung oleh perkembangan teknologi pembuatan kapal yang mumpuni. Saya sungguh meyakini bahwa semangat bahari telah merasuki sanubari para pelaut kita. Namun, tampaknya kita sebatas mewarisi semangat keberanian melaut dari nenek moyang. Apakah kita yang khilaf, ataukah nenek moyang kita yang terlupa untuk mewariskan teknologi pembuatan kapal kepada kita?
Boleh jadi, benar apa yang pernah Adrian ungkapkan, “Amat jelas terlihat bahwa kebanyakan orang Indonesia telah khilaf tentang keberagaman kebudayaan bahari mereka sendiri.”