Dewaruci dan Khilafnya Negeri Bahari

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 27 April 2019 | 17:19 WIB
KRI Dewaruci tengah bersiap memasuki pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, usai melakukan giat Kartika J (Julius Rendy Nugroho/Angkasa)

Pelaut galau

Pelaut juga manusia. Kadangkala, para pelaut Dewarutji yang tampak gagah itu memiliki perasaan yang sungguh melankolis—atau justru galau yang jenaka. Mereka memiliki band bernama “Tamtama Merana” yang kerap pentas latihan di geladak.  Lirik sajak atau lagu yang dinyanyikan pun temanya tak jauh dari kemeranaan. Seperti lagu kegemaran mereka selepas singgah di Yugoslavia, Buona Notte. Saya terhasut untuk mencarinya di kanal Youtube. Lagunya begitu lembut, halus, dan menimbulkan rasa rawan—rindu bercampur sedih. Perkara lagu ini Kowaas berkilah, “Bukan karena kami senang kepada lagu2 sedih dan sebangsanja tapi selalu ber-teriak2 dengan lagu2 mars djuga terasa tidak ‘berseni’.”   

Baca juga: Penjelajah Temukan Jalur Misterius di Dasar Great Blue Hole Belize

Kegalauan itu hinggap juga di hati mereka, termasuk Kowaas. Belum ada separuh perjalanan, dia mulai risau. “Sanggupkah aku bertahan lebih lama lagi? Kalau kami gagal, bagaimana keluarga jang ditinggal?”

Hampir tiga bulan para awak meninggalkan keluarganya, mereka belum mendapatkan kabar dari keluarga mereka. Padahal di setiap pelabuhan yang disinggahi, para awak Dewaruci senantiasa melayangkan surat ke rumah mereka. “Lalu mulai kuhitung2 hari2 jang telah kami lewati sedjak meninggalkan keluarga [...] Mengapa mereka malas menulis kemari? Bukankah alamat jang djelas sudah kutinggalkan sebelum kami berangkat? [...] Kelambatan poskah?” tulis Kowaas ketika berada di kota pesisir Trogir, Yugoslavia. “Oh betapa hati ini rindu berada ditengah2 keluarga. Betapa hati ini merindukan belaian kasih penuh kemesrahan.”

 

Patung Dewaruci yang berada di bagian cocor depan. Bagi awaknya, patung ini sangatlah sakral dan sangat dihormati.. Patung ini merupakan patung pengganti karena patung aslinya hilang ketika diempas badai Laut Mediterania pada Operasi Sang Saka Djaja 1964. (Julius Rendy Nugroho/Angkasa)

 

Kowas memberikan perbandingan sekaligus sindiran tentang kinerja galangan kapal Tanah Air kita.

Ketika di galangan kapal J.L Mosor di Trogir, Kowas memberikan perbandingan sekaligus sindiran tentang kinerja galangan kapal Tanah Air kita. Sejatinya, luas kompleks galangan di Trogir hanya sepertiga galangan Penataran Angkatan Laut (PAL) di Surabaya. Buruhnya pun hanya 15.000, sementara buruh PAL berpuluh-puluh ribu, ungkap Kowas. Hebatnya lagi, galangan di Trogir  mampu menyelesaikan beberapa kapal sekaligus.

Dan kami masih terkenang akan kesanggupan PAL jang mempunjai fasilitas sekian besar dengan buruh ber-puluh2 ribu,” tulisnya, “tapi dengan hasil jang relatip nil.”