Bagaimana mungkin perahu layar seukuran sekoci, demikian cemooh mereka, mampu mengelilingi dunia dan menyintas amukan gelombang samudra.
Bersiul menjadi perkara tabu sepanjang pelayaran. Bagi pelaut yang meyakininya, bersiul akan memanggil topan dan gelombang.
Seorang sersan mayor dua, yang berusaha menggulung layar, melayang terbawa layar hingga ke arah lambung kiri. Lelaki itu “melintasi tepat di depanku, lalu aku menjambar perutnja, terbawa kedekat tjerobong asap dari dapur jang mendjulang agak tinggi, dan keduanja aku peluk erat2,” catat Kowaas.
Peristiwa badai selama tiga menit, yang nyaris menggulingkan Dewaruci, berhasil diabadikan Sersan Mayor Dua Umboh dengan kamera fotonya, dan menjadi salah satu ilustrasi buku tadi. Setelah itu kapal melaju menuju pesisir Djibouti, Afrika timur.
Bersiul menjadi perkara tabu sepanjang pelayaran. Bagi pelaut yang meyakininya, bersiul akan memanggil topan dan gelombang. Badai memang singgah silih berganti. Kala badai menghantam kapal, barang-barang yangtidak diikat dengan sempurna akan jatuh berantakan. “Beberapa orang jang sedang enak2 mendengkur dibuai alun di langit ketudjuh,” lanjut Kowaas, “tiba2 terbangun dari mimpi dilantai jang lembab bertjampur muntah...”
Mereka memiliki band bernama “Tamtama Merana” yang kerap pentas latihan di geladak. Lirik sajak atau lagu yang dinyanyikan pun temanya tak jauh dari kemeranaan.
Sejatinya, Rosenow merupakan perwira Jerman yang telah berkewarganegaraan Indonesia. Setelah berdinas di ALRI, dia menjadi Syahbandar Pelabuhan Tanjungpriok. Atas wasiatnya, abu jenazah Rosenow ditebar di Teluk Jakarta pada 1966.
Pelaut galau
Pelaut juga manusia. Kadangkala, para pelaut Dewarutji yang tampak gagah itu memiliki perasaan yang sungguh melankolis—atau justru galau yang jenaka. Mereka memiliki band bernama “Tamtama Merana” yang kerap pentas latihan di geladak. Lirik sajak atau lagu yang dinyanyikan pun temanya tak jauh dari kemeranaan. Seperti lagu kegemaran mereka selepas singgah di Yugoslavia, Buona Notte. Saya terhasut untuk mencarinya di kanal Youtube. Lagunya begitu lembut, halus, dan menimbulkan rasa rawan—rindu bercampur sedih. Perkara lagu ini Kowaas berkilah, “Bukan karena kami senang kepada lagu2 sedih dan sebangsanja tapi selalu ber-teriak2 dengan lagu2 mars djuga terasa tidak ‘berseni’.”
Baca juga: Penjelajah Temukan Jalur Misterius di Dasar Great Blue Hole Belize
Kegalauan itu hinggap juga di hati mereka, termasuk Kowaas. Belum ada separuh perjalanan, dia mulai risau. “Sanggupkah aku bertahan lebih lama lagi? Kalau kami gagal, bagaimana keluarga jang ditinggal?”
Hampir tiga bulan para awak meninggalkan keluarganya, mereka belum mendapatkan kabar dari keluarga mereka. Padahal di setiap pelabuhan yang disinggahi, para awak Dewaruci senantiasa melayangkan surat ke rumah mereka. “Lalu mulai kuhitung2 hari2 jang telah kami lewati sedjak meninggalkan keluarga [...] Mengapa mereka malas menulis kemari? Bukankah alamat jang djelas sudah kutinggalkan sebelum kami berangkat? [...] Kelambatan poskah?” tulis Kowaas ketika berada di kota pesisir Trogir, Yugoslavia. “Oh betapa hati ini rindu berada ditengah2 keluarga. Betapa hati ini merindukan belaian kasih penuh kemesrahan.”
Kowas memberikan perbandingan sekaligus sindiran tentang kinerja galangan kapal Tanah Air kita.
Ketika di galangan kapal J.L Mosor di Trogir, Kowas memberikan perbandingan sekaligus sindiran tentang kinerja galangan kapal Tanah Air kita. Sejatinya, luas kompleks galangan di Trogir hanya sepertiga galangan Penataran Angkatan Laut (PAL) di Surabaya. Buruhnya pun hanya 15.000, sementara buruh PAL berpuluh-puluh ribu, ungkap Kowas. Hebatnya lagi, galangan di Trogir mampu menyelesaikan beberapa kapal sekaligus.
“Dan kami masih terkenang akan kesanggupan PAL jang mempunjai fasilitas sekian besar dengan buruh ber-puluh2 ribu,” tulisnya, “tapi dengan hasil jang relatip nil.”
Kemudian Kowaas juga menambahkan, “Bagaimana dengan kita?” Menurutnya, orang-orang Indonesia bukan pemalas, bukan pula bodoh. “Mungkin dalam pembawaan. Kita terlalu dibiasakan lambat2, alon2, jang hati2, jang halus, biar lambat asal selamaaat...”
Nenek itu berseru takjub kepada sang jurnalis, “My goodness, they walk like God!”
Kini, sang angsa betina itu telah menua dan bukan lagi “seorang gadis djelita jang sedang berdjemur diatas pelampung, megah dan angkuh”. Kapal layar ini telah bermuhibah mengelilingi dunia sebanyak dua kali, dan kini berstatus purna tugas. Pada akhir 2016 silam, Menteri Pertahanan meluncurkan kapal pengganti KRI Dewaruci yang bernama KRI Bima Sakti di Galangan Kapal Freire, Spanyol. Kelak, pada pertengahan 2017, kapal layar tipe barque itu telah berada di Indonesia. Kabarnya, Dewaruci akan menikmati hari-hari pensiunnya di dermaga kompleks Komando Armada RI Kawasan Timur di Surabaya.
Kita sungguh bangga dengan jargon bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut ulung yang tak gentar meski badai menghajar. Adrian Horridge, pakar perahu Nusantara dan guru besar emiritus Australian National University, pernah memberikan pemaparan betapa beragamnya perahu yang dimiliki suku-suku pesisir di Indonesia. Dalam bukunya berjudul The Prahu: Traditional Sailingboat of Indonesia, Adrian juga mengendus tergesernya kearifan lokal terkait teknologi perahu yang digantikan oleh teknologi dari luar yang dianggap lebih praktis.
Kita pun sepatutnya mengakui bahwa perkembangan budaya maritim kita belum didukung oleh perkembangan teknologi pembuatan kapal yang mumpuni. Saya sungguh meyakini bahwa semangat bahari telah merasuki sanubari para pelaut kita. Namun, tampaknya kita sebatas mewarisi semangat keberanian melaut dari nenek moyang. Apakah kita yang khilaf, ataukah nenek moyang kita yang terlupa untuk mewariskan teknologi pembuatan kapal kepada kita?
Boleh jadi, benar apa yang pernah Adrian ungkapkan, “Amat jelas terlihat bahwa kebanyakan orang Indonesia telah khilaf tentang keberagaman kebudayaan bahari mereka sendiri.”