"Keluarga belum jadi WNI. Istri saya belum tapi dua anak saya ada di sini, termasuk juga cucu saya. Mungkin mereka akan perhatikan keadaan saya. Bagaimana saya setelah jadi WNI, baru mereka ambil keputusan. Tapi mereka semua mendukung saya. Ini prosesnya sudah delapan tahun," kata Wally.
Bahkan salah satu anaknya kini terlibat langsung di Sekolah Papua Harapan yang ia dirikan. Sementara sang istri yang memiliki dasar sebagai guru, masih aktif mengajar di HIS.
Wally yang kini memiliki empat orang cucu, menganggap apa yang telah ia putuskan tidak lain karena panggilan dari Tuhan. Ia yang lahir dari keluarga misionaris meyakini bila Tuhan sudah memberikan petunjuk agar ia terus mengabdi di Papua.
"Kembali lagi dari panggilan Tuhan. Ini tempat yang dia kasih. Kalau kami betul-betul ikut Tuhan, dia akan tunjukan dimana tempatnya dan dia akan membagi sebagian hatinya. Jadi Tuhan bagi hati kepada saya untuk cinta Indonesia, khususnya Papua," ucapnya.
Mimpi Melihat Orang Papua Menjadi Presiden Indonesia
Selama 42 tahun tinggal di Papua, Wally menyadari ada rasa kecurigaan terhadap dirinya sebagai orang asing dari aparat keamanan karena kedekatannya dengan penduduk asli, terutama di wilayah pedalaman.
Bekerja sebagai pilot perintis, membuatnya banyak melihat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat di pedalaman.
"Saya tahu mereka (aparat keamanan) selalu sedikit ragu-ragu dengan kita, karena kami dekat dengan anak di pedalaman. Saya tahu keraguan itu karena ada sebagian rakyat Papua ingin kemerdekaan. Sebetulnya saya tidak dukung itu, itu bukan tujuan saya sama sekali."
Baca Juga: Karawapop, Laguna Hati yang Berapit Gugusan Pulau Papua Barat