Empat Abad Batavia, Awal Rupa Bandar Terpenting di Asia Tenggara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 4 Juni 2019 | 07:00 WIB
Pagi menjelang di Kastel Batavia, dilihat dari sisi barat daya. Pemandangan kastel sekitar 1627, tampak Bastion Parel dan Bastion Saffier belum rampung dibangun. Dinding-dindingnya dibangun dari batu koral asal pulau-pulau Teluk Batavia. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

Baca juga: Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai "Kota Tahi"

Kapal-kapal membuang sauhnya di Teluk Batavia, berlatar Kastel Batavia. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

Belakangan ini kita bisa mengamati menjamurnya komunitas di beberapa kota yang menggelar diskusi-diskusi tentang riwayat kota dan persoalan tentang pelestariannya. Sebuah kota muncul dan berkembang bukan untuk dikagumi belaka. Ketersediaan akses, infrastruktur, fasilitas publik, dan aglomerasi ekonomi merupakan latar yang memengaruhi perkembangan suatu kota—baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Kini, seberapa jauh peran kota dalam melayani kebutuhan warganya menjadi salah satu indikator kota yang layak huni.

Sebagai warga, kita kerap melewatkan pemahaman soal keruangan. Padahal, penataan kawasan mungfkin akan menghidupkan kembali jiwa kota. Forum diskusi yang digelar warga demi menelusuri jejak kota mereka dan memahami ruang yang berubah merupakan bagian dari pencarian kesejatian jiwa kota.

Sebagai toponimi, Batavia memang sudah punah. Namun, sebagai awal peradaban kota modern di Muara Ciliwung, Batavia masih berlanjut. Namanya telah menginspirasi narasi komunitas-komunitas sejarah dan budaya kota ini. Sejatinya warga Jakarta pun masih menghadapi persoalan yang sama dengan warga Batavia silam. Perkara utamanya, menurut saya bukan pada nama, melainkan semangat mewujudkan kota cerdas yang nyaman dihuni. Kini, tantangan warganya adalah menemukan kembali jiwa kota.

Beberapa waktu silam, kami berbincang bersama kawan-kawan dari APIK—Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan, yang didukung USAID. Takdir Jakarta sebagai salah satu kota yang rawan petaka. Setiap tahun, kota ini menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi. Kenaikan muka air laut, banjir, sampai menyusutnya air tanah yang dibarengi amblesnya sebagain daratannya. Penyebabnya berbagai faktor: alam dan perilaku warganya.

Baca juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC

Pemandangan aerial dari sisi timur laut Kota Batavia. Antara Kastel Batavia dan permukiman di sisi selatannya tampak dipisahkan oleh kanal. Tembok kota sisi timur tampak sudah selesai, dengan kanal dari sodetan Ciliwung. (Rob Tuytel/Westfries Museum)
 

Belakangan, kota ini semakin rawan karena ancaman dampak perubahan iklim global terhadap meningkatnya risiko kesehatan warganya. Dampaknya bisa beragam menurut usia, jenis kelamin, geografi, dan status sosial ekonomi warganya.

Kini, warganya perlu waspada tentang dampak temperatur, curah hujan, dan kelembapan yang meninggi. Tingginya indikator ini akan mendorong munculnya ragam penyakit tropis. Jakarta memerlukan panduan untuk selamat. Kita berharap kota ini tumbuh semakin cerdas dan ramah bagi penghuninya.

Kita pun menengok catatan kota ini pada awal November 1628. Dalam suasana kacau pascapenyerangan pertama pasukan Mataram ke Batavia, Coen menulis penuh harap, “Semoga Yang Mahakuasa melindungi Batavia terhadap segala malapetaka!”

Sampul National Geographic Indonesia edisi April yang menampilkan "Rupa Dekade Pertama Batavia". Edisi Khusus tentang Gagasan Kota-kota Masa Depan ini juga menandai 14 tahun kiprah majalah ini menginspirasi Indonesia. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)