Empat Abad Batavia, Awal Rupa Bandar Terpenting di Asia Tenggara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 4 Juni 2019 | 07:00 WIB
Pagi menjelang di Kastel Batavia, dilihat dari sisi barat daya. Pemandangan kastel sekitar 1627, tampak Bastion Parel dan Bastion Saffier belum rampung dibangun. Dinding-dindingnya dibangun dari batu koral asal pulau-pulau Teluk Batavia. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

 

Sejarah baru tercipta di Muara Ciliwung. Kamis, 30 Mei 1619, serdadu-serdadu VOC asal Belanda dan tentara bayarannya asal Belgia, Denmark, dan Jepang bergempita merayakan keberhasilan penaklukkan Jaccatra di benteng mereka. Sementara itu Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen justru masih berada nun jauh di Kepulauan Rempah, Maluku.

Jaccatra adalah sebutan dalam dokumen VOC untuk Kota Jayakarta. Para serdadu telah mengganti nama kota pelabuhan itu menjadi Batavia, penghormatan kepada suku bangsa Batavier sebagai leluhur orang-orang Belanda. Benteng kecil Jaccatra pun berganti nama menjadi Kasteel Batavia.

Setelah penaklukan itu Sultan Banten memerintahkan seluruh rakyat dan tentaranya agar mengungsi dan mengosongkan kota. Sebuah kota baru di sisi selatannya dibangun di atas puing-puing kekalalahan Jayakarta. Kita tidak tahu pasti lokasi persis keraton dan alun-alunnya, namun diduga berada di sisi barat Ciliwung.

Kendati Jayakarta ditaklukkan pada 1619, sejatinya nama resmi “Jaccatra” masih digunakan hingga dua tahun kemudian. Barulah pada Sabtu, 28 Agustus 1621, Coen menulis dalam Plakaatboek bahwa kompeni diperintahkan “supaya kota ini harus disebut dan diberi nama sejak saat ini dan seterusnya [sebagai] Kota Batavia dan bentengnya Kasteel Batavia yang terletak di dalam Kerajaan Jaccatra.”

Baca juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura

Peta Batavia 1627, yang direproduksi dari peta karya Frans Florisz. Berckenrode. Kini, disimpan di Tropenmuseum, Belanda. (Tropenmuseum)

Peta Kota Batavia karya Frans Florisz. Berckenrode, 1627. Peta ini menjadi koleksi JP Coen. Setelah Coen wafat, istrinya membawanya ke Hoorn, Belanda. Pada 1918, peta ini ditemukan kembali lalu dibuat reproduksinya. (Westfries Museum/Atlas Mutual Heritage)

Kastel Batavia bukanlah bangunan Eropa pertama di Nusantara kita. Sekitar seabad sebelum benteng itu berdiri, sebuah kota koloni pertama di negeri ini telah dibangun Portugal di Ternate. Fort São João Baptista, demikian nama benteng yang diprakarsai oleh Antonio de Brito pada 1522. Pembangunan bertahap telah mewujudkan barak, kapel, sekolah, permukiman, dan menara-menara ala kastel di Eropa, dan dikelilingi parit.

Sejak awal Agustus 1619, sejatinya Coen sudah resah tentang keadaan Kasteel Batavia yang layaknya tempat tinggal darurat dan hidup ala kadarnya. Intinya, benteng itu terlalu kecil sehingga perlu diperbaiki atau membangun benteng baru.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan membangun kota taklukan yang tanpa penduduk ini? Batavia mendapati kesulitan sumber daya manusia. Coen memiliki siasat jitu—dan tak beradab—untuk perkara ini. Semua orang Cina yang berada di kapal jung mereka akan dikirim ke Batavia untuk meneruskan pekerjaan pembangunan kota. Tidak hanya orang Cina, orang Jawa, tawanan perang, dan orang Banda pun dipindahkan ke Batavia.

Demi pembangunan benteng baru, Kompeni menugaskan Kapten Willem Ysbrandtszoon Bontekoe (1587 – 1657) untuk mendatangkan material dari Kepulauan Seribu. Kini, patung torsonya dipajang di pelabuhan kota kelahirannya, Hoorn. Ia menulis catatan perjalanannya dari Hoorn ke Hindia Timur, yang terbit pada 1646. “Mereka memberi saya empat puluh laskar untuk mengungkit dan mengikat batu-batu dengan tambangsupaya dapat menghelanya ke dalam perahu,” ungkapnya. “Batu-batu tersebut sangat putih, jauh lebih putih daripada batu kapur di negeri Belanda. Benteng di bangun terutama dari batu seperti itu, dari dalam air terus hingga puncak. Senang melihatnya. ”

Baca juga: Hikayat Rumah Perdesaan Milik Petinggi VOC di Palmerah