Empat Abad Batavia, Awal Rupa Bandar Terpenting di Asia Tenggara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 4 Juni 2019 | 07:00 WIB
Pagi menjelang di Kastel Batavia, dilihat dari sisi barat daya. Pemandangan kastel sekitar 1627, tampak Bastion Parel dan Bastion Saffier belum rampung dibangun. Dinding-dindingnya dibangun dari batu koral asal pulau-pulau Teluk Batavia. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

Seorang serdadu VOC berjalan menuju ke arah Bastion Diamant, kubu barat daya Kastel Batavia, 1627. Tampak deretan pohon pinang, yang kerap dijumpai dalam catatan orang-orang Eropa saat menggambarkan vegetiasi di Kota Batavia. Sebelah kanan adalah Sungai Ciliwung yang belum diluruskan. (Rob Tuytel/Westfries Museum)

Pemandangan yang dilihat dari tepian barat Ciliwung, seberang Bastion Diamant (tidak tampak). Kapal-kapal bersandar, yang berlatar permukiman awal orang-orang Cina di Batavia. Sungai Ciliwung belum diluruskan. (Rob Tuytel/Westfries Museum)
 

“Sistem kanal itu gagal,” ujar Restu Gunawan, sejarawan yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Kesenian di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Setelah Gunung Salak meletus pada 1699,” menurut Restu, “Batavia seperti gua yang runtuh.” Kanal-kanal yang dibangun VOC tersumbat endapan lumpur. Penyakit menyeruak dari kanal, dan kota mengalami kehancuran. “Tidak ada bukti sejarah, setelah kanal itu dibangun, orang di sekitarnya terbebas dari banjir.”

Dalam penelitiannya soal sejarah lingkungan Jakarta, Restu mengungkapkan kegagalan sistem kanal yang juga dibangun era kolonial disebabkan pemerintah Hindia Belanda tidak memperhitungkan geografi Batavia. Kawasan ini merupakan dataran rendah yang terbentuk karena erosi sungai dari gunung berapi di sisi selatan kota. “Sedimentasi Negeri Belanda tak seperti Jakarta,” ungkapnya. “Sedimentasi membuat kanal tidak optimal.

National Geographic Indonesia edisi April 2019 bekerja sama dengan Westfries Museum, yang bertempat di Horn, untuk menyajikan rupa kota Batavia pada dekade pertamanya. Kami menyampaikan terima kasih kepada Cees Bakker selaku kurator Westfries Museum dan Rob Tuytel sebagai seniman di balik riset dan karya impresinya tentang Kota Batavia.

Peta Batavia yang menjadi acuan Rob adalah peta karya Frans Florisz. Berckenrode, seorang pengukur Batavia. Ia menorehkan pada kanvas, setahun sebelum penyerbuan Mataram. Tampaknya, sebagian dari wajah Batavia yang dilukis Frans pada peta itu merupakan rencana yang belum sepenuhnya dikerjakan. Peta itu menjadi koleksi Jan Pieterzoon Coen, yang setelah sang gubernur jenderal VOC itu wafat pada 1629, dibawa pulang oleh istrinya ke Hoorn, Belanda. Pada 1918, peta itu ditemukan kembali lalu dibuat reproduksinya yang kini disimpan di Tropenmuseum.

Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC

Kastel Batavia dari sisi barat laut. Tampak perahu-perahu bersandar di Muara Ciliwung. Catatan semasa mengabarkan bahwa sampai penyerangan Mataram yang pertama pada 1628, Bastion Parel belum kunjung selesai pembangunannya. Prajurit Mataram pun berhasil memasuki Kastel Batavia, namun bisa ditumpas VOC. (Rob Tuytel/Westfries Museum)
 

Sampul pada edisi April 2019 melukiskan Kastel Batavia pertama yang masih berdiri kokoh pada 1627, meski Kastel BataviaKedua sudah hampir selesai. Lokasinya di Muara Ciliwung. Tampak perkembangan permukiman kota itu dalam dekade pertamanya.

Penyebutan sepetak kawasan di Muara Ciliwung ini memiliki sejarah panjang tentang dinamika penyebutan sebuah kota. Pada masa Kerajaan Pajajaran, kota pelabuhan ini dijuluki Sunda Kelapa. Setelah ditaklukkan Kesultanan Banten, ia berganti nama menjadi Jayakarta. Berikutnya, Batavia menggantikan Jayakarta setelah penaklukkan Belanda. Terakhir, sejak pendudukan Jepang pada 1942, kota ini bernama Jakarta—sampai sekarang.

Rupa Kota Batavia merupakan jawaban atas tantangan yang dihadapinya pada 400 tahun silam: berbenteng, bertembok kota, dan permukiman bersabuk kanal. Kini, rupa kota itu mungkin telah menjelma sebagai kota modern, namun kadang kita bisa merasakan adanya gairah warganya terkait toponimi lamanya. Dari jejak budaya sebuah kawasan atau seruas jalan, kita pun mengetahui jantung atau pembagian ruang kota.

Saat singgah ke sebuah kota, di mana pun itu, kita bisa menyusurinya dengan berjalan kaki atau berbincang dengan warganya. Kadang, kita akan menemukan persepsi warga yang lebih segar terkait kota yang mereka huni.