Mereka melakukan pengamatan langsung di lapangan, survei, dan wawancara dengan kelompok yang sejumlah anggotanya tewas saat bertempur demi kepentingan kelompok, seperti kelompok sipil bersenjata di Libya dan tentara yang bertugas di Afghanistan dan Irak.
Studi mengungkapkan, persamaan pandangan bahwa setiap anggota kelompok adalah saudara sehidup semati yang harus berbagi kebersamaan dalam setiap peristiwa memunculkan keinginan melindungi satu sama lain yang dapat mendorong pengorbanan diri.
Baca Juga: Suar Nano, Ledakan Kecil Matahari yang Setara dengan 10.000 Bom Atom
Untuk itu, Whitehouse berkata bahwa memahami munculnya rasa persaudaraan di dalam kelompok ekstrem terlihat lebih masuk akal daripada menyalahkan pemahaman ekstrem sebuah agama dalam usaha untuk menciptakan respons antiterorisme yang lebih efektif. Kekerasan dan pemaksaan juga tidak akan menyelesaikan masalah terorisme, tetapi justru bisa menjadi bumerang.
Menurut Whitehouse, cara efektif yang bisa dilakukan adalah mengetahui apa atau siapa yang mereka perjuangkan, serta mengapa mereka melakukannya.
Setelah itu, deradikalisasi akan berhasil apabila mampu menghilangkan perasaan bersaudara di dalam kelompok militan, dan hal itu akan sangat membantu dalam proses pendampingan.
Peran orangtua dan keluarga, serta lingkungan lain seperti sekolah, pekerjaan, dan pemimpin agama, akan membantu mereka bangkit dengan motivasi hidup baru.
"Hanya dengan memahami munculnya komitmen dalam kelompok, kita bisa mendapatkan kepercayaan dan kerja sama, sekaligus membatasi kemungkinan untuk munculnya konflik antar kelompok," kata Whitehouse, dikutip dari Sciencedaily, Senin (5/3/2018).
Studi ini juga menyarankan untuk meningkatkan dinamika psikologis kelompok demi tujuan-tujuan yang damai di daerah yang hancur pasca aksi kekerasan, termasuk sejumlah wilayah di Libya. (Michael Hangga Wismabrata/Kompas.com)