Nationalgeographic.co.id - Pada masa lalu, suku-suku di wilayah Nusantara punya tradisi dalam menyelesaikan perkara atau masalah yang dihadapi oleh orang.
Tentu, para leluhur kita mengutamakan penyelesaian lewat jalur mediasi atau kekeluargaan, ketimbang pertumpahan darah.
Tapi, ada saja cerita menarik perkara menyelesaikan sengketa di dalam kehidupan suku di wilayah Nusantara.
Mari kita tengok cerita pemuda Bugis yang apabila suatu masalah tidak bisa diselesaikan dengan berbagai cara, maka mereka memutuskan untuk melakukan ritual Sigajang Laleng Lipa.
Baca Juga: Kisah Masyarakat Adat Terbaik, Suku di Pedalaman Amazon Ini Berhasil Usir Perusahaan Tambang Minyak.
Lewat ritual yang ada di Sulawesi selatan, pemuda yang bermasalah akan saling tikam menggunakan badik.
Kedua pemuda yang bermasalah tersebut juga akan 'dikurung' dalam satu sarung yang sama.
Badik sendiri adalah senjata tradisional yang merupakan warisan budaya Bugis.
Namun, menurut beberapa sumber ritual ini konon banyak terjadi di masa lalu.
Khususnya saat sebuah keluarga merasa harga dirinya terinjak, namun, kedua keluarga merasa benar, maka diselesaikan dengan ritual ini.
Baca Juga: Di Pulau Papua, Suku Huli yang Gemar Berperang Merias Tubuh untuk Berikan Pesan Mengerikan Ini
Awal kemunculannya, adalah pengaruh masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, di mana mereka merasa malu ketika harga diri mereka terinjak-injak.
Bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kehormatan mereka, akhirnya ritual ini tercipta.
Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis.
Baca Juga: Siapakah Camazotz, Dewa Mirip Batman yang Disembah oleh Suku Maya?
Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisan budaya.
Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari menggunakan obor.
Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan Gajang Laleng Dipa.
Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, di mana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.
Baca Juga: Suku Maya Kerap Gunakan Kepala Manusia Sebagai Tempat Membakar Dupa
Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri merek ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antar manusia.
Meski terkesan brutal dan mengerikan, ritual ini merupakan tradisi dan ciri khas masyarakat Bugis.
Ketika perselisihan tak dapat dihindari karena sebuah perselisihan dan menjunjung harga diri yang harus ditegakkan.
Di saat itulah nyawa tak ada artinya, dan konflik berdarah harus dilakukan dalam ritual bernama Gajang Laleng Dipa.
Hal ini tak lain dan tak bukan adalah untuk menjunjung kemulian dan harga diri manusia.
(Afif KM)