Bakal Dapat Pinjaman Rp 1,4 Triliun, Seberapa Parahkah Pencemaran dan Sampah di Sungai Citarum?

By , Rabu, 12 Juni 2019 | 15:54 WIB
Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat, melayani populasi 25 juta manusia, (Lutfi Fauziah)

Nationalgeographic.co.id - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah membawa kabar gembira untuk Sungai Citarum. Ridwan Kamil menyebutkan, World Bank berencana menggelontorkan dana pinjaman Rp 1,4 triliun kepada pemerintah Indonesia. Nantinya, dana ini ditujukan untuk menyelesaikan masalah persampahan di Sungai Citarum di Jawa Barat (Jabar).

Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, melanjutkan kabar itu. Ia rencananya akan melakukan presentasi kepada pihak World Bank untuk mendapatkan pinjaman itu Senin depan. Emil memastikan status anggaran itu bersifat pinjaman yang akan dibayar oleh pemerintah pusat.

“Status anggarannya loan G to G nanti dibayar pemerintah pusat. Sebaran anggarannya macam-macam ada di Perkim, KLHK, Bappenas. Persentasi Senin, kalau lolos dananya turun,” ujar Emil, sapaan akrabnya di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Bandung, Jabar, Rabu (12/6/2019).

Baca Juga: Warga Dunia Waspadalah! Sungai Kita Tercemar oleh Antiobiotik Parah

Alat berat mengangkat gunungan sampah dari anak sungai CItarum di Bojong Citepus, Dayeuhkolot, Kabup (Yunaidi Joepoet)

Emil belum menjabarkan secara spesifik untuk program apa saja dana tersebut digunakan. Namun, ia menyebut anggaran itu akan fokus untuk mengedukasi dan membangun peradaban masyarakat dalam tata kelola sampah domestik.

“Intinya kita ingin masalah sampah Citarum itu bukan beli alat-alat canggih, tapi anggaran itu masuk mengedukasi masyarakat supaya sampahnya habis di rumah dengan teknologi receh tapi banyak. Jadi bukan selalu berujung dengan sarana prasarana canggih,” ucap Emil.

Ia menjelaskan, masalah sampah Citarum tak melulu harus diselesaikan dengan alat canggih. Teknologi, kata Emil, tak bisa jadi andalan dalam mengubah pola masyarakat dalam menyikapi masalah persampahan.

“Sehingga anggaran itu harapannya dua satu sampahnya selesai, dua edukasi dan peradaban masyarakat tentang persampahan meningkat. Cuma kalau kita larinya ke teknologi saja, masyarakat polanya sama kami gak mau begitu,” tuturnya.

Baca Juga: Ketika Sungai Memiliki Lima Warna, Fenomena Alam di Cano Cristales

Ilustrasi: TNI dan ribuan warga turun membersihkan sampah di daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang ()

Ia lantas mencotohkan gaya hidup warga Jepang dan Amerika. Meski sama-sama negara maju, kedua negara itu punya perbedaan gaya hidup dalam masalah sampah.

“Orang Jepang dan orang Amerika sama-sama hidup 24 jam tapi produksi sampah orang Amerika dua kali lipat dari orang Jepang. Berarti ada gaya hidup. Nah, kami ingin mengubah gaya hidup yang selama ini dianggap oke sebenarnya gak oke. Di anggaran itu kami ingin ada teknologi-teknologi kecil, edukasi di rumah-rumah,” tuturnya.

Lantas, seberapa parah pencemaran dan masalah sampah di Sungai Citarum? National Geographic Indonesia pernah menyusuri aliran sungai utama di Jawa Barat pada beberapa tahun silam.

Baca Juga: Buang Sampah ke Sungai Merupakan Warisan Zaman VOC, Benarkah?

Ridwan kamil meninjau langsung kondisi Sungai Citarum (29/9/2018). ((Dokumentasi Humas Pemprov Jabar))

Cerita Sungai Citarum

Makin modern, makin cerdas, manusia justru mencampakkan Citarum di titik nadir. Beban yang tiada terperi itu membuat daya dukung Citarum makin berantakan.

Dalam dua dekade belakangan, aliran terpanjang di Jawa Barat ini ditetapkan sebagai salah satu daerah aliran sungai super-prioritas di Indonesia.  Upaya penyelamatan digelar di kawasan-kawasan konservasi di wilayah hulu.

Hari terang tanah. Serombongan ibu-ibu menghambur masuk ke situs Candi Blandongan. Ibu-ibu berbaju warna-warni itu riang ria.Kendati telah paruh baya, suara mereka‘cetar membahana’. Satu-dua orang mendekati anak tangga candi, lalu berfoto-diridengan gawainya. Lantaran terlalu ceria, mereka sejenak tak sadar usia.

Sengatan matahari menyadarkan mereka mencari-cari tempat bernaung. Tahu gelagat itu, Sunarto yang rehat di teratak, mengajak kaum ibu itu singgah. Dalam sekejap, salah seorang pengelola situs Batujaya itu dikelilingi para ibu.Teratak mendadak sesak.

Baca Juga: Obat-obatan Mencemari Sungai, Membahayakan Ekosistem yang Ada di Sana

Citarum bak sedang sekarat. Hal itu bahkan sejak jauh-jauh hari dipaparkan oleh orang nomor satu di ()

Kepada Sunarto, mereka bertanya ihwal candi yang berdiri di Desa Segaran, Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, itu.Kawasan situs candi Batujaya terbentang lima kilometer persegi, tersebar di sela-sela persawahan.Sebelum ditemukan,masyarakat sekitar menyebut situs-situs itu sebagai unur atau tanah tinggi. “Itu karena tanahnya lebih tinggi dari persawahan,” jelasnya. “Kalau di Cibuaya sana disebut lemah dhuwur.”Dia mengimbuhkan bahwa Candi Blandongan adalah yang terbesar dan terlengkap dikawasan situs Batujaya.

Denah candi ini berbentuk bujur sangkar. Di empat sisi kaki candi terdapat tangga dan pintu masuk menuju selasar. Lantai selasar dilapisi beton stuko. Pinggiran lantai selasar di empat sisi dibatasi pagar langkan yang tidak dapat diketahui lagi tinggi aslinya, karena bagian atasnya sudah roboh.

Para pakar arkeologi memandang Candi Blandongan punya keunikan ketimbang candi-candi lain di Indonesia. Keunikannya, ada perpaduan dengan konstruksi kayu. Pada lantai selasar, antara badan candi dan pagar langkan, terdapat 12 umpak batu yang dipasang secara teratur berderet pada jarak yang sama. Umpak batu ini diperkirakan untuk menopang tiang-tiang cungkup yang menaungi stupa puncak badan candi. Para peneliti juga menemukan fitur bekas pintu masuk di empat sisi dan fitur kusen jendela lubang angin pada pagar langkan di sisi timur laut dan barat daya.

Penelitian mengungkap kompleks percandian Batujaya dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara dalam dua fase. Hasan Djafar dalam bukunya ‘Kompleks Percandian Batujaya’ menyatakan fase pertama sekitar abad ke-6 dan ke-7, dan fase kedua abad ke-8 dan ke-10. “Fase kedua merupakan fase pendudukan Tarumanegara oleh Sriwijaya,” catat Hasan.

Bangunan candi dari fase pertama telah tertutup oleh bangunan yang sekarang ini terlihat. Dari keteduhan teratak, telunjuk Sunarto menuding kaki Candi Blandongan yang terbuka, yang menyingkap sisa-sisa bangunan fase pertama. “Menurut para peneliti, pembangunan candi yang kedua tidak merusak candi yang lama,” tutur Sunarto, “tapi, didirikan dengan menutupi bangunan pertama.”

Dengan demikian,setakat ini, situs Batujaya merupakan kompleks candi Buddha yang tertua di Jawa, yang mulai dibangun pada masa abad ke-6 dan ke-7.!break!

Namun peradaban yang pernah berkembang di tepian Sungai Citarum ini  mungkin jauh lebih tua. Pada 2014, tak jauh dari Candi Blandongan, ditemukan tiga kerangka manusia. Temuan ini mengukuhkan dugaan bahwa Batujaya menjadi pusat pemujaan pada masa transisi dari zaman prasejarah ke sejarah. Sunarto berkisah, para peneliti menduga kompleks candi didirikan di daerah yang memang sejak dahulu menjadi pusat kepercayaan lama.

Sebelumnya, pada 2004-2005, juga ditemukan ‎tujuh kerangka manusia di dekat unur Lempeng. Setelah itu, ada lima rangka manusia di seputar kawasan Batujaya. Sekurangnya ada 15 kerangka yang pernah ditemukan di situs ini. “Jasad-jasad itu ditemukan bersama gerabah dan senjata sebagai bekal kubur,” terang Sunarto dengan kesabaran bak pemandu.

Penemuan kerangka manusia dan bekal kubur menunjukkan kehidupan di sekitar muara Sungai Citarumini terjadi pada masa transisi zaman prasejarah dan sejarah.Di antara bekal kubur ditemukan tembikar India Selatan, dari kota pelabuhan kuna Arikamedu, kira-kiradari abad ke-2 hingga ke-4. Ini menunjukkan adanya kontak antara orang India dengan masyarakat pesisir di pantai utara Jawa Barat pada masa akhir prasejarah.Tak mengherankan, terbersit dugaan adanya pelabuhan kuna di seputar Batujaya.

Peradaban masa silam di daerah aliran sungai Citarum membuktikan manusia Nusantara telah cakap menerapkan teknologi sejak masa awalsejarah. Kompleks candi Batujaya terletak di utara hulu Sungai Citarum di wilayah pesisir utara Karawang, Jawa Barat.

Bangunan candi yang terbuat dari bata merah mengejutkan para ahli percandian. Selama ini, para pakar memandang bata merah digunakan untuk bangunan candi pada masa-masa yang lebih muda. Sementara candi-candi berbahan bebatuan dipandang dari zaman yang lebih tua—seperti di Jawa Tengah.Kompleks Batujaya membuktikan bata merah telah digunakan seawal abad ke-4 hingga ke-6.“Karena, memang tidak ada bebatuan di Batujaya,” terang Sunarto.

Lingkungan Batujaya pada masa lalu merupakan hamparan sedimen dari luapan Sungai Citarum. Daerah aliran sungai yang subur, dengan sumber air yang berlimpah, mendukung kehidupan pada masa bercocok tanam. Hasan memaparkan penggunaan kulit padi sebagai bahan campuran bata merah pada candi di Batujaya dan Cibuaya memberikan petunjuk awal budidaya padi di pantai utara Jawa Barat. (Hingga kini pantai utara tetap dipandang sebagai lumbung padi Jawa Barat).

Teknologi lain adalah lepa putih berbahan gamping atau disebut stuko. Sunarto menunjukkan sisa stuko yang berupa bercak-bercak putih di kaki Candi Blandongan. “Bisa jadi, dulunya candi ini berwarna putih,” imbuhnya.

Untuk melapisi tembok, catat Hasan, para arsitek Batujaya mencampur kapur dan kulit kerang. Ini terkait keberadaan candi yang berada di tepi pantai. (Kini suasana pesisir telah bergeser jauh ke utara, sekitar 2,5 jam perjalanan dari Batujaya). Stuko juga digunakan untuk membuat hiasan, patung dan relief. “Biasanya perlu pembakaran kapur hingga suhu 900-1.000 derajat Celsius,” tulis Hasan.

Hasan menyatakan sumber bahan baku gamping tersedia melimpah di perbukitan karst di selatan Karawang. “Bagian ujung timur perbukitan ini berada di tepi Sungai Citarum, dan ujung baratnya di tepi Sungai Cibeet,” Hasan memaparkan.

Jarak antara bukit kapur dengan situs Batujaya sekitar 50 kilometer. Kondisi ekologis Sungai Citarum dan Cibeet saat itu,menurut uraian Hasan, diduga cukup baik untuk digunakan sebagai sarana pengangkutan. “Secara teknis pengangkutan batu kapur dari selatan Karawang ke Batujaya dengan perahu tidaklah sulit karena mengikuti aliran sungai.”!break!

Hasan Djafar, yang merekontruksi sejarah kebudayaan daerah pantai utara Jawa Barat, menyatakan kompleks percandian Batujaya telah mengalami perubahan dan penambahan. Perbaikan ini lantaran bangunan candi mengalami kerusakanakibat faktor alam.

Faktor lingkungan itu khususnya luapan Sungai Citarum. Secara teknis tampak adanya upaya penanggulangan itu. “Dampak ekologi ini ditanggulangi dengan teknologi yang adaptif, seperti meninggikan halaman candi, dan menutup permukaan halaman candi dengan beton stuko atau hamparan lantai bata,” catat Hasan.Bukti sejenis upaya mitigasi bencana itu terpampang di Candi Blandongan. Lantai selasar di Candi Blandongan misalnya, dilapisi dengan beton stuko.

Candi-candi Batujaya berdasarkan pertanggalan karbon berasal dari abad ke-4. Namun, peradaban di pantai utara Jawa bagian barat diyakini telah sejak lama berkembang. Hasan menguraikan, pada daratan di antara aliran Cisadane dengan daerah aliran Citarum sedikitnya ada 150 situs arkeologi prasejarah, dari Masa Bercocok Tanam hingga Masa Perundagian.

Wilayah pantai utara sebagian besar merupakan daerah alluvial yang subur dengan aliran-aliran sungai. Daerah ini telah dihuni sejak Masa Bercocok Tanam (ca. 3000 SM – ca. 1000 SM). Budidaya tanaman pangan, seperti padi-padian dan umbi-umbian, tulis Hasan, mungkin telah berkembang di wilayah ini sejak masa-masa itu.

Sungai Citarum tak pelak lagi telah menghembuskan kehidupan di sepanjang alirannya. Bila dihitung dari masa pembangunan candi di Batujaya, Sungai Citarum telah mengiringi kehidupan manusia selama 17 abad. Bahkan, sungai ini  menjadi saksi kepurbaan tanah Sunda, yang menciptakan bentang alam tatar Sunda.

Para ahli geologi berpendapat, sekitar 105.000 tahun yang lalu, letusan dahsyat Gunung Sunda purba telah membendung Sungai Citarum purba. Tertutup oleh material vulkanik, aliran Citarum membentuk Danau Bandung purba. Material letusan kemudian mengisi lembah–lembah yang membuat danau itu terbelah: Danau Bandung Purba Barat dan Timur.

Adanya patahan dan kawasan yang ambles semenjak 16.000 tahun lalu telah menyusutkan air dua danau purba tadi. Penyusutan diperkirakan terjadi di kawasan yang kini dikenal sebagai Curug Jompong.

Kata Citarum berasal dari bahasa Sunda:Ci dan Tarum. Ci atau cai, artinya air; sedangkan tarum adalah spesies tanaman penghasil warna ungu untuk bahan pewarna alami kain tradisional.

Setelah era Tarumanegara, dalam tradisi lokal,sungai ini memasuki masa kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda. Kedua kerajaan itu menggunakan Sungai Citarum sebagai batas wilayah kekuasaannya. Kerajaan Sunda di sebelah barat Citarum dan kerajaan Galuh di sebelah timur sungai.

Pada zaman Belanda, seputar abad ke-17, Sungai Citarum masih digunakan sebagai sarana penghubung. Bahkan VOC masih menduduki benteng di Tanjungpura yang terletak di tepi Citarum, di barat laut Karawang.

Melewati masa demi masa, dan tetap abadi mengalir, hingga hari ini Sungai Citarum masih berperan penting bagi kehidupan manusia. Potensi airnya yang mencapai 13 miliar meter kubik per tahun baru dimanfaatkan separuh. Pemanfaatan Sungai Citarum mulai masif semenjak 1957. Saat itu, di Sungai Citarum dibangun Bendungan Jatiluhur. Lalu disusul dua bendungan lagi: Saguling pada 1985 dan Cirata pada 1988.!break!

 Air Sungai Citarum mendukung beragam kebutuhan manusia: mulai irigasi pertanian, industri, hingga yang paling pokok: sumber air minum. Manfaat itu menjalar ke segala penjuru: Kota Bandung, Cianjur, Cimahi, Purwakarta, Bekasi, dan Karawang. Dan, inilah manfaat yang tak bisa dilupakan: menyokong air baku untuk 80 persen warga Ibukota Jakarta. Cakupan Daerah Aliran Sungai Citarum membentang seluas 13.000 kilometer persegi—tujuh kali luas Kota Bandung.

Di balik keagungannya, Sungai Citarum kini tengah terpuruk. Daerah alirannya dikepung pusat-pusat industri, pemukiman, pertanian, dan perkotaan. Peradaban modern telah mencampakkan sungai ini sebagai tempat pembuangan raksasa: sampah, limbah, dan segala macam sisa peradaban. Alih-alih mengagungkan sungai terpanjang di Jawa Barat ini, kehidupan kota membuat Citarum membusuk.

Dari waktu ke waktu, seiring pertumbuhan pusat industri, populasi manusia yang mendiami sempadan sungai terus melejit. Tak kurang 1.500 pabrik berdiam di hulu, yang dengan bebas membuang limbah ke anak-anak sungai ataupun Sungai Citarum. Tragisnya, industri di DAS Citarum menyokong 20 persen produksi industri nasional dan 60 persen produksi tekstil Jawa Barat.  Beban itu kian berat dengan 15 juta manusia yang menjejali DAS Citarum.

Di dataran agak tinggi, produksi pertanian holtikultura telah mengorbankan daya dukung daerah tangkapan air Citarum. Tanah-tanah telanjang menghampar di sempadan sungai, menjalari lembah, punggung dan puncak bukit. Perubahan tataguna lahan yang tidak terencana itu menyisakan secuilkawasan hutan yang terserak di wilayah hulu.

Lahan-lahan yang gundul sudah pasti meloloskan aliran air langsung menuju sungai-sungai dan memboyong jutaan sedimen. Tanah tak lagi sempat menyerap air untuk persedian musim kering. Akibatnya, daya serap tanahlumpuh, kualitas air tercemari limbah. Pendek kata, lanskap hutan dataran rendah di seputar Citarum telah menerima dampak negatif dari kegiatan manusia.

Beban yang tiada terperi itu membuat daya dukung Citarum makin berantakan. Dalam dua dekade belakangan, Citarum ditetapkan sebagai salah satu daerah aliran sungai prioritas di Indonesia. “Menurut versi kita, Citarum merupakan DAS yang diprioritaskan untuk dipulihkan. Artinya, memang berpredikat buruk,” ungkap Junaediyono, dari Balai Pengelolaan DAS Citarum dan Ciliwung.

 Dia mengungkapkan, pada 2013 dilakukan pemantauan terakhir kondisi Citarum. “Dulu setiap lima tahun kita evaluasi, kalau sekarang per dua tahun.”Salah satu aspek yang membuat Citarum terjerembab dalam kondisi buruk adalah tata airnya. “Itu imbangan antara aliran air di musim kemarau dengan musim penghujan,” lanjut Junaediyono. Aliran Citarum ternyata menyusut jauh saat kemarau, dan meluap saat musim hujan. “Kering saat kemarau, dan banjir pas musim hujan.”Keseimbangan alam telah menjauh dari badan air Citarum.

Rumitnya masalah di Daerah Aliran Sungai Citarum menuntut penanganan yang terpadu. Artinya, tak ada institusi tunggal yang bisa menepuk dada mampu membenahi tantangan yang melingkupi aliran Citarum.

Karena itu, pengelolaan sumber daya air terpadu atau Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi tumpuan untuk mengurai benang kusut Citarum. Konsep pengelolaan terpadu itu adalah proses yang mengutamakan koordinasi dan pengelolaan air, tanah, dan sumber daya terkait. Konsep itu diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan menjadi panduan buat membenahi beragamtantangan di daerah aliran sungai Citarum.!break!

Sejak 2006 silam, pemerintah telah mengembangkan Citarum Roadmap:sebuah rancangan strategis berisi program–program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air dan memulihkan kondisidi Sungai Citarum.

Dalam Citarum Roadmap terdapat Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP). Ini sebuah program besar pengelolaan sumber daya air terpadu denganbantuan pinjaman, hibah, dan teknis dari Asian Development Bank.

Pelaksanaan program melalui koordinasi dan konsultasi para pemangku kepentingan, serta mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas, rancangan, hingga pelaksanaan. Visinya:Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif, serta membawa manfaat berkesinambungan bagi seluruh masyarakat di Citarum.

Ada enam lembaga yang terlibat dalam tahap pertama program ICWRMIP: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Di dalam ICWRMIP tahap pertama terdapat program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation [CWMBC]) dengan dukungan dana hibah Global Environment Facility yang dikelola Asian Development Bank.

Yang mendapatkan mandat pelaksanaan program CWMBC adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. “Jadi program CWMBC merupakan bagian dari ICWRMIP yang lebih besar, yang merupakan lanjutan dari program Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum,” tutur Project Manager CWMBC Cherryta Yunia.

Cherryta memaparkan turut sertanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena kegiatan sebelumnya tidak memasukkan konservasi keanekaragaman hayati. “Untuk itulah, lalu dimasukkan penyelamatan biodiversitas di hulu, terutama kawasan yang dikelola KLHK.”

Program CWMBC punya tujuanuntuk mendukung manfaat lingkungan secara global bagi konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi di DAS Citarum. Selain melindungi relik ekosistem hutan hujan pegunungan Pulau Jawa, kawasan konservasi di wilayah hulumenjadi bagian integral dari sistem pengelolaan terpadu DAS Citarum.

 “Kawasan konservasi yang terkoneksi dengan DAS Citarum memang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Taman Nasional Gede Pangrango. Menurut saya logis, karena Gede Pangrango dan kawasan konservasi BBKSDA merupakan daerah tangkapan air Citarum,” imbuh Cherryta.

Dan, semenjak 2013, empat komponen program CWMBC bergerak serentak di tujuh kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat.Komponen 1 menyisir setiap kawasan untuk mengkaji kekayaan hayati, memetakan habitat, dan mengembangkan sistem informasi geografis. Hasil akhirnya: untuk mendukung perencanaan pengelolaan kawasan konservasi.!break!

Kemudian Komponen 2 bergerak untuk mengembangkan pilot program restorasi hutan di kawasan konservasi. Dari program komponen 2 akan diketahui kebutuhan pemulihan ekosistem sesuai tingkat gangguan yang menimpa kawasan konservasi.

Sementara itu, Komponen 3 akan mengkaji berbagai jasa lingkungan yang terpendam di kawasan konservasi: air, udara, wisata, karbon hingga nilai penting dataran tinggi sebagai lokasi sarana komunikasi. Namun, dari seluruh potensi itu, Komponen 2 bakal fokus pada jasa lingkungan air. Komponen ini akan mengembangkan pendanaan berkelanjutan bagi konservasi keanekaragaman hayati melalui imbal jasa lingkungan.

Dan terakhir, Komponen 4 sebagai upaya mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi.Komponen ini mengajak masyarakat dan pemerintah daerah dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati. Di sekitar kawasan, Komponen 4 mengembangkan kelompok-kelompok Model Desa Konservasi sebagai ujung tombak gerakan pelestarian flora-fauna.

Cherryta menegaskan empat komponen itu terintegrasi, saling mendukung. Misalnya saja, Komponen 1 akan mendukung Komponen 2 dalam menentukan spesies tumbuhan asli untuk pemulihan ekosistem. Atau Komponen 4 yang akan menyokong Komponen 2 dalam menautkan kelompok Model Desa Konservasi sebagai penyedia jasa lingkungan dengan lembaga pemanfaatnya.

Kubah arus air bergolak lembut dari dasar mata air Pangsiraman. Air yang sebening kristal dan keteduhan menerbitkan suasana sakral. Sepokok pohon kihujan yang roboh sejak 1974 memisahkan sumber air bening ini menjadi dua bagian, kiri dan kanan. “Yang kanan untuk perempuan, yang kiri untuk laki-laki. Mata air ini juga disebut cikahuripan mastaka Citarum,” papar juru kunci Mang Atep.

Lelaki berpenampilan kalem ini menjelaskan, cikahuripan berarti air kehidupan, dan mastaka berarti hulu. Kurang lebih berarti: air kehidupan dari hulu Citarum.“Tapi kata ‘hulu’ dalam bahasa Sunda agak kasar, yang halus, ya, mastaka,” ungkapnya. Makna mastaka sejajar dengan kata mustaka dalam bahasa Jawa. Mustaka berarti kepala, yang dalam masyarakat Jawa, kata ini berada pada tataran tertinggi berbahasa.

Inilah mata air yang sakral dan menjadi saksi doa-doa pengharapan yang dipanjatkan para peziarahnya. Tak mengejutkan, suasana adikodrati melingkupi Pangsiraman. Sumber air ini hanya salah satu dari tujuh sumber air awal mula Sungai Citarum, yang ditampung di Situ Cisanti. Berada di kaki Gunung Wayang, danau buatan seluas 10 hektare itu menjadi simbol hulu Citarum. Dari sinilah, awal-mula Sungai Citarum mengalir sejauh 297 kilometer, merambati 13 kabupaten, lantas tumpah di Muara Gembong.

Sayangnya, kontras telah membayang di Cisanti: air Pangsiraman yang bening tak lagi berjejak setelah bercampur dengan air keruh Cisanti. Padahal, tutur Mang Atep, “Doa para leluhur saya, sepanjang alirannya, air Citarum bisa diminum langsung seperti di mata air ini.”

Doa leluhur itu bagaikan membaca tengara zaman: seiring waktu Sungai Citarum tak lagi membawa berkah, tak lagi semurni Pangsiraman. Perbawa Citarum runtuh.

Dan di tujuh kawasan konservasi di hulu DAS Citarum, doa itu seakan bersambut upaya. Ada doa, ada upaya: Pengelolaan DAS Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati atau Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC).