Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 26 Juni 2019 | 19:12 WIB
Patung singa di depan beranda rumah penginapan GANEFO di Jalan Kapasan 169-171, Surabaya. Awalnya rumah ini milik keluarga The Toan Ing, yang kemudian berpindah tangan ke Tan Siong Chiu. Inilah salah satu tengara pecinan di Surabaya yang kerap terlewat. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Siapakah pemilik sejati rumah yang menjelma hotel ini? Di berandanya, tergantung papan bercat hitam dengan aksara kapital putih: “Rumah Penginapan GANEFO Perlulusan Tgl. 20 Agustus 1957 No.1400/DPD A.N. Tan Siong Chiu.”

Saya bertanya tentang asal-usul si pemilik kepada salah seorang resepsionis seniornya. Menurutnya, pemilik awal rumah ini bukan “Tan”, melainkan “The”. Selebihnya ia enggan menjelaskan kepada saya.

Wastafel “Royal Boulton London” yang berlogo singa di salah satu kamar utama. Sampai hari ini pabrik porselen ini masih berproduksi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saya pun berpikir, nama “Ganefo” tampak janggal apabila mulai digunakan pada 1957 lantaran pesta olahraga akbar The Games of the New Emerging Forces—yang disingkat Ganefo—baru digelar pada 1963. Mungkin saja Tan Siong Chiu memulai bisnis rumah penginapan ini dengan nama lain beberapa tahun sebelum pesta itu digelar.

Belakangan, saya membaca dokumen yang diterbitkan Wali Kota Madya Surabaya. Ternyata rumah penginapan ini sudah beroperasi sebelum 1957. Pemerintah Daerah Kota Besar Surabaya telah meluluskan perizinan Tan dalam pendirian rumah penginapan ini pada 31 Mei 1951. Sejak kapankah sejatinya rumah ini berpindah dari keluarga The ke keluarga Tan?

Luasnya lahannya lebih dari lima ribu meter persegi. Jumlah kamarnya sampai hari ini 50 unit. Arsitektur bangunan utamanya menandai gaya yang berkembang sekitar paruh kedua abad ke-19. Apabila kita membuka peta-peta abad ke-19, lokasi penginapan ini berada di kawasan pecinan baru yang sejatinya masih berada di dalam tembok kota.

Fungsi tembok kota sebagai bagian pertahanan militer tampaknya mulai berkurang pada periode 1870-an hingga 1900. Sejak saat itu ‘lahan menganggur’ antara tembok kota dan permukiman lamanya digunakan untuk kawasan hunian baru. Saya menduga rumah keluarga The dibangun sekitar periode tadi.

Justus van Maurik Jr. (1846-1904) Pemilik pabrik cerutu dengan nama yang sama, sarjana sastra, tpejalan dan penulis novel bergaya humor asal Amsterdam. Lukisan potret ini diterbitkan pada saat kematiannya. Karya J.C. Braakensiek pada November 1904. (Koleksi Atlas Dreesmann)

Perjalananan Justus van Maurik

Saya membuka catatan perjalanan Justus van Maurik, pejalan dan penulis novel bergaya humor asal Amsterdam. Ia menuliskan pengalamannya bertamu di kediaman mewah pasangan The Toan Ing dan Kwee Giem Nio pada awal 1890-an. Saat itu sang opsir masih berpangkat letnan tituler. Catatan perjalanannya selama di Hindia Belanda dibukukan dalam tajuk Indrukken van een ‘Tòtòk’, yang terbit di kota kelahirannya pada 1897.

“Rumah The Toan Ing,” demikian tulis Maurik, “tidak sepenuhnya khas Cina, melainkan rumah yang indah, luas, didekorasi dengan penuh selera.”

Tampaknya, saat itu Maurik sulit agak kebingungan untuk menyebut gaya rumah Toan Ing—kini kita mendefinisikannya berkarakter Hindia. Arsitekturnya memadukan elemen Eropa dan tropis. Ia hanya menegaskan bahwa kediaman Toan Ing, “Sedikit lebih Eropa.”