Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 26 Juni 2019 | 19:12 WIB
Patung singa di depan beranda rumah penginapan GANEFO di Jalan Kapasan 169-171, Surabaya. Awalnya rumah ini milik keluarga The Toan Ing, yang kemudian berpindah tangan ke Tan Siong Chiu. Inilah salah satu tengara pecinan di Surabaya yang kerap terlewat. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— Sebuah mobil bak terbuka yang sarat muatan berhenti. Dua laki-laki menurunkan lusinan karung dari mobil. Kemudian mereka menumpuknya di sebuah beranda rumah penginapan bergaya hindia yang dijaga dua patung singa.

Rumah penginapan "GANEFO" masih tampak memesona, meski tersembuyi dan merawan di belakang deretan rukan di Kapasan, Surabaya. Berandanya cukup luas dengan ubin bercorak dekoratif menghampar. Pilar-pilar besi tempa menandai anak tangganya. Langit-langitnya yang terbuat dari logam, dibingkai kornis sehingga tampak kenes.

Kendati berada di pecinan, rumah ini begitu kentara aksen Eropanya. Tiga pintu utama selalu terbuka bagi tamu-tamu yang hendak bermalam. Pintu utamanya bertakhtakan kaca bergrafir corak flora bikinan "Charles Nash Architecte".

Hiasan porselen timbul bergaya Renaisans di atas pintu tengahnya menunjukkan si pemilik yang religius: dua bayi yang mengapit bingkai bundar bertuliskan “Ora Et Labora”. Sebuah tongkat Caduceus milik Dewa Hermes menancap di bingkai bundar itu.

Beranda yang selalu memberikan rasa teduh dan hangat bagi para pejalan. Rumah utama penginapan GANEFO berarsitektur Hindia, yang beratap tinggi dan memiliki beranda luas. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pintu utama yang bertakhtakan kaca grafir bercorak flora buatan Charles Nash Architecte. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Pelanggan penginapan ini kebanyakan adalah pedagang-pedagang dari luar Jawa, umumnya kawasan timur Indonesia. Para pedagang itu biasanya membeli komoditi busana dalam partai besar di Pasar Atom untuk dijual kembali di kota mereka. Sejak awal 1970-an Pasar Atom begitu melegenda. Dari geliat bisnis pasar itulah hotel ini bisa lestari hingga kini.

Kalau umumnya pelanggan penginapan ini adalah pedagang, mungkin saja memiliki kaitan dengan tongkat Cadeceus tadi. Pasalnya tongkat milik Hermes itu melambangkan bisnis atau perdagangan. Pun, Hermes dipuja karena, salah satunya, melindungi para pejalan.

Saya hanya semalam di Surabaya. Salah satu dari empat kamar utama di bangunan rumah bergaya hindia itu menjadi tempat saya bermalam. Pintu kayu jati nan tebal, jendela berkisi dan berjeruji, serta langit-langit tinggi berbingkai kornis floral. Kamar seluas hampir separuh lapangan badminton ini tetap sejuk meski tak berpendingin udara.

Baca juga: Segepok Uang Melayang-Layang di Kembang Jepun Sejak 1941, Siapa Punya?

Pemilik rumah penginapan GANEFO adalah Tan Siong Chiu. Bisnis penginapan Tan bermula pada 1951, kemudian izinnya diperbarui lagi pada 1957. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Wastafelnya terbuat dari porselen bercap “Royal Boulton London” dengan simbol singa. Nama itu mengingatkan saya pada pabrik porselen yang memulai bisnisnya di tepian Sungai Thames, London. Pabrik itu mulai berproduksi sejak 1815, yang kerap menjadi kelakar orang bahwa pendirian pabrik ini menandai kekalahan Napoleon di Waterloo. Tampaknya pemilik penginapan ini memiliki selera yang lumayan.

Siapakah pemilik sejati rumah yang menjelma hotel ini? Di berandanya, tergantung papan bercat hitam dengan aksara kapital putih: “Rumah Penginapan GANEFO Perlulusan Tgl. 20 Agustus 1957 No.1400/DPD A.N. Tan Siong Chiu.”

Saya bertanya tentang asal-usul si pemilik kepada salah seorang resepsionis seniornya. Menurutnya, pemilik awal rumah ini bukan “Tan”, melainkan “The”. Selebihnya ia enggan menjelaskan kepada saya.

Wastafel “Royal Boulton London” yang berlogo singa di salah satu kamar utama. Sampai hari ini pabrik porselen ini masih berproduksi. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Saya pun berpikir, nama “Ganefo” tampak janggal apabila mulai digunakan pada 1957 lantaran pesta olahraga akbar The Games of the New Emerging Forces—yang disingkat Ganefo—baru digelar pada 1963. Mungkin saja Tan Siong Chiu memulai bisnis rumah penginapan ini dengan nama lain beberapa tahun sebelum pesta itu digelar.

Belakangan, saya membaca dokumen yang diterbitkan Wali Kota Madya Surabaya. Ternyata rumah penginapan ini sudah beroperasi sebelum 1957. Pemerintah Daerah Kota Besar Surabaya telah meluluskan perizinan Tan dalam pendirian rumah penginapan ini pada 31 Mei 1951. Sejak kapankah sejatinya rumah ini berpindah dari keluarga The ke keluarga Tan?

Luasnya lahannya lebih dari lima ribu meter persegi. Jumlah kamarnya sampai hari ini 50 unit. Arsitektur bangunan utamanya menandai gaya yang berkembang sekitar paruh kedua abad ke-19. Apabila kita membuka peta-peta abad ke-19, lokasi penginapan ini berada di kawasan pecinan baru yang sejatinya masih berada di dalam tembok kota.

Fungsi tembok kota sebagai bagian pertahanan militer tampaknya mulai berkurang pada periode 1870-an hingga 1900. Sejak saat itu ‘lahan menganggur’ antara tembok kota dan permukiman lamanya digunakan untuk kawasan hunian baru. Saya menduga rumah keluarga The dibangun sekitar periode tadi.

Justus van Maurik Jr. (1846-1904) Pemilik pabrik cerutu dengan nama yang sama, sarjana sastra, tpejalan dan penulis novel bergaya humor asal Amsterdam. Lukisan potret ini diterbitkan pada saat kematiannya. Karya J.C. Braakensiek pada November 1904. (Koleksi Atlas Dreesmann)

Perjalananan Justus van Maurik

Saya membuka catatan perjalanan Justus van Maurik, pejalan dan penulis novel bergaya humor asal Amsterdam. Ia menuliskan pengalamannya bertamu di kediaman mewah pasangan The Toan Ing dan Kwee Giem Nio pada awal 1890-an. Saat itu sang opsir masih berpangkat letnan tituler. Catatan perjalanannya selama di Hindia Belanda dibukukan dalam tajuk Indrukken van een ‘Tòtòk’, yang terbit di kota kelahirannya pada 1897.

“Rumah The Toan Ing,” demikian tulis Maurik, “tidak sepenuhnya khas Cina, melainkan rumah yang indah, luas, didekorasi dengan penuh selera.”

Tampaknya, saat itu Maurik sulit agak kebingungan untuk menyebut gaya rumah Toan Ing—kini kita mendefinisikannya berkarakter Hindia. Arsitekturnya memadukan elemen Eropa dan tropis. Ia hanya menegaskan bahwa kediaman Toan Ing, “Sedikit lebih Eropa.”

Menurut laporan pandangan mata Maurik, rumah opsir Cina itu memiliki galeri atau beranda yang membentang cukup lebar. Di depan berandanya terdapat taman nan khas dengan pepohonan seperti pohon palem, pohon asam, dan tanaman bunga-bunga nan indah.

Taman itu juga berhias tanaman kerdil, demikian menurut Maurik—mungkin yang dimaksud adalah bonsai. Sederet hiasannya adalah miniatur pagoda, kuil, jembatan dengan air terjun, patung-patung batu aneka satwa, naga, dewa, hingga monster. “Letnan Cina itu pencinta barang langka dan peninggalan Hindu kuno,” ungkapnya, “dan telah mendirikan sebuah museum kecil untuk kediamannya di udara terbuka.”

Baca juga: Siapakah Miss Daventry, Perempuan dalam Pertempuran Surabaya 1945?

Lantai beranda bercorak dekoratif yang masih tampak memukai kendati berasal dari akhir abad ke-19. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Namun, ada satu dekorasi taman yang mencuri perhatian Maurik. Di tengah taman itu tampak sebuah kubah porselen berlapis emas yang didatangkan dari Tiongkok. Belakangan, dia mengetahui bahwa bangunan itu merupakan penghormatan kepada ayah dari The Toan Ing, yang dihormati oleh semua orang Cina di Surabaya, pada ulang tahunnya yang ketujuh puluh. “Hari di mana sang ayah, menurut mereka, memasuki usia tua dengan mulia.”

“Orang Cina benar-benar menghormati ayah mereka,” ungkapnya. “Selama masih hidup, sang ayah menjalankan kekuasaan yang tidak terbatas atas keluarganya.” Pada 1891, Toan Ing menggelar perayaan pesta ulang tahun yang meriah untuk ayahnya, Mayor Tituler The Boen Khe yang telah menjabat sebagai mayor Cina selama periode 1874-1888.

Maurik tampaknya begitu terkesan dengan taman sentuhan gaya Tiongkok di pekarangan Toan Ing. Pun, tampaknya ia penasaran bagaimana membentuk tanaman bonsai. “Satu-satunya hal yang saya hargai dalam pemandangan Tiongkok mini itu adalah kesabaran yang dimiliki pembuatnya saat memangkas pohon dan memotongnya,” ungkap Maurik yang kemudian diikuti kelakar, “sehingga tanaman-tanaman itu dapat hidup selama bertahun-tahun, sebagai monster tua yang sehat.”

Bagaimana kesan Maurik tentang rumah Toan Ing? “Apabila taman sang Letnan benar-benar bergaya Tiongkok, rumahnya hampir seperti gaya rumah orang Eropa.” Kesan yang ia dapatkan adalah mewah dengan hiasan hiasan tepian jendelanya yang elegan.

Ruangan dalam kediaman itu begitu besar dan luas, serta dihiasi hasil karya seniman Weijermann, pemuda dari sebuah panti asuhan di Samarangan, Surabaya. Langit-langitnya dicat warna alami, yang mewakili semua jenis buah-buahan khas Hindia. Mebelnya dari kayu eboni yang diukir indah dengan gaya Tiongkok, hingga kursi jati modern dan lemari cermin, demikian pemerian Maurik.

Satu dari tiga pintu utama. Kediaman ini dibangun pada akhir abad ke-19, namun tampaknya pintu lamanya telah berganti dengan pintu baru bergaya Art-Deco. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sederet mebel tadi ada yang diukir dengan sangat indah oleh seniman Poei Tjing Kik. Namun, Maurik menambahkan, sang seniman itu apes lantaran menyalahgunakan keterampilannya dengan membuat ukiran untuk uang kertas palsu. “Keterampilan yang sungguh hebat,” ungkap Maurik, “yang mengubah karirnya di bidang seni menjadi pemain rantai.”

Itu belum cukup. Patung-patung perunggu nan artistik dan langka turut menghiasi ruangan utama dan kamar-kamar lainnya. Maurik pun kembali berkelakar bahwa perabotan di ruang pribadi Toan Ing seolah mengalahkan koleksi museum. Namun demikian, yang paling menarik minat Maurik adalah, “Tongkat kerajaan yang berusia lebih dari 1000 tahun dari salah satu kaisar Tiongkok, yang dilestarikan sebagai bagian keluarga besar The Toan.”

Opsir Cina itu menemani Maurik berkeliling kediamannya. Ia berkuncir dan berbusana ala Eropa modern seperti jaket. “Dia memiliki cara yang sangat beradab,” ungkap Maurik. “Tahu cara menerima dan menunjukkan dirinya dalam segala hal.”

Toan Ing tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Belanda, kendati ia memahaminya. Maurik marasa beruntung memelajari bahasa Melayu, sehingga ia bisa memahami apa yang disampaikan si tuan rumah.

Setelah itu mereka kembali ke beranda depan untuk duduk mengaso. Sang letnan memperkenalkan istrinya kepada Maurik. Nyonya Kwee Giem Nio “terlihat sungguh manis dalam pakaian Cinanya. Dia adalah seorang wanita muda yang cantik, dengan mata cokelat gelap nan indah,” tulisnya. “Jarang di Hindia Belanda ada perona pipi alami yang membuat lebih menyenangkan bahkan lebih simpatik.”

Maurik tampaknya memerhatikan sekali penampilan Giem Nio yang lembut dan simpatik itu ketimbang suaminya. Boleh jadi penampilan perempuan itu lebih eksotis menurut mata orang barat. Atau, mungkin karena Maurik lelaki?

Baca juga: Kesaksian Serdadu Australia Kala Ditawan Militer Indonesia di Surabaya

Hiasan keramik berlanggam Renaisans dengan semboyan (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Perempuan terhormat itu mengenakan busana semacam jubah sutra dengan sulaman renda di leher dan manset renda yang menutupi separuh tangannya yang anggun. Gaun atas itu berpadu dengan rok sutra pendek berwarna merah gelap yang bercorak bunga. Rambutnya yang hitam berkilau tampak berhias mawar merah. Sepatunya berenda dengan sulaman yang rapi. “Meskipun dia mengenakan anting-anting, cincin, dan gelang besar yang cemerlang, bros dan kancing berlian yang berkilauan untuk 'badjoe'-nya,” kali ini Maurik mencoba serius, “Setidaknya dia tidak terlihat kelebihan muatan; seluruh kostumnya berselera tinggi dan serasi.”

Giem Nio, dalam catatan Maurik, seorang perempuan yang ramah. “Dia menunjukkan giginya yang indah ketika dia tertawa […], ketika berbicara atau bertanya pun mengalun bak suara musik: Toewan soeka minoem ajer djeroek?”

Sebagai akhir dari kunjungan, kedua pasangan itu mengajak Maurik menyaksikan tonil Cina di gedung pertunjukan. Menurut Maurik, jaraknya tidak begitu jauh dari kediaman sang opsir tadi. Tampaknya, menurut perkiraan saya, mereka mengarah ke Kembangjepoen menuju Comedieplein—beberapa peta lama menyebutnya sebagai Comediestraat atau Comedieweg. Sayangnya, gedung pertunjukan itu sudah dibongkar, lokasinya sekarang sekitar Jalan Merak.

Sayangnya, kita tidak banyak memiliki catatan dari para pejalan Eropa lainnya yang menyelisik Pecinan Surabaya. Catatan Maurik pun menjadi sumber yang berharga.

Claudine Salmon pernah mengungkapkan terbatasnya sumber dari pejalan Eropa tentang kawasan eksotik di Surabaya itu dalam “The Chinese Community of Surabaya,from its Origins to the 1930s Crisis” yang terbit di

Chinese Southern Diaspora Studies, Volume 3, 2009. Kita memiliki “sumber-sumber Eropa yang sangat kaya untuk Cina di Batavia, namun sangat sedikit untuk Cina di Surabaya,” tulisnya. “Para pengembara yang mengunjungi kota ini tampaknya tidak tertarik untuk menjelajahi kawasan pecinan atau mengamati perayaan keagamaan dan tontonan.”

Sebuah foto, mungkin bagian suvenir keluarga, yang menampilkan Mayor The Toan Ing dan istrinya Kwee Giem Nio. The lahir pada 28 Desember 1849 dan wafat pada 27 Desember 1920 dalam usia 70 tahun. (Geni.com)

Siapakah sejatinya The Toan Ing?

Ia lahir di Surabaya pada Jumat, 28 Desember 1849. Jabatan sebagai letnan tituler diembannya pada 1890-1904. Kemudian naik pangkat sebagai kapitein pada 1904-07. Lalu, dalam periode 1907-1913, ia menjabat sebagai Mayor Surabaya. Kariernya lumayan gemilang.

Saya menjumpai silsilah keluarga The yang diunggah oleh Pandjie Kusuma di laman geni.com, salah satu situs web terbesar yang menyediakan jasa pencatatan silsilah pohon keluarga. Ketika saya bertanya lebih jauh tentang The Toan Ing, Pandjie menjawab, “Maaf saya tidak bisa banyak membantu Anda dalam masalah ini. Saya pikir Anda harus menghubungi keluarga The. Rumah klan The berada di Jalan Karet, Surabaya.”

Setiap kali ke Surabaya, saya memang kerap melintasi rumah yang dimaksud Pandjie, sebuah rumah kusam beratap ekor walet dengan hiasan buket bunga berpasangan di Jalan Karet. Rumah itu pernah sohor sebagai “Vereeniging The Goa Tjing” yang berada di Chineesche Voorstraat —kini lebih dikenal sebagai “Rumah Sembayang Keluarga The Goan Tjing”—yang didirikan oleh anak-anaknya pada 1883. Di jalan yang sama juga berdiri “Roemah Sembajang Kaloearga Han Bwe Koo”. Ada hubungan apa keluarga The dan Han?

Dari catatan Pandjie, setidaknya kita mendapatkan gambaran tentang riwayat dan kiprah klan The di Surabaya. Bagi orang-orang Surabaya, keluarga The memiliki jejak kenangan. Sederet nama bermarga The selama tiga generasi memiliki jabatan opsir Cina. Ayahnya yang bernama The Boen Khe (13 Januari 1821 – 5 April 1898) juga seorang opsir Cina. Ia menjabat sebagai letnan pada 1846-1861, kapitein pada 1861-1874, Mayor Surabaya pada 1874-1888, dan Mayor tituler pada 1888 sampai akhir hayatnya.

Boen Khe memiliki dua istri. Istri pertama bernama Han Hong Hio, yang menurunkan empat anak, salah satunya The Toan Ing. Istri keduanya bernama Han Kian Nio, kakak dari istri pertama.

Langit-langit beranda yang berhias flora nan mewah, yang dipadukan dengan jendela berkaca patri dengan corak flora pula. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Artinya, dalam diri Toan Ing mengalir darah marga The dan Han. Ia memiliki empat saudara kandung. Satu kakak laki-laki, yakni The Toan Lok, dan tiga saudara perempuan The Tjoan Nio, The Djien Nio, dan The Tien Nio. Sang kakak juga menjabat sebagai letnan pada 1873-1883 dan kapitein pada 1888-1812.

Thérèse Hoven (1860-1941) pernah mencatat tentang perayaan ulang tahun ke-71 The Boen Khe, yang digelar mewah oleh Kapitein The Toan Lok dan Letnan Toan Ing. Catatan itu terbit dalam De Huisvriend jilid 1891.

Hoven dikenal sebagai seorang penulis asal Den Haag dengan karya lebih dari seratus buku sepanjang hidupnya—dari esai tentang Hindia, novel, sampai cerita anak-anak. Menurut catatannya, dia menyaksikan tentang sebuah pesta yang digelar untuk menghormati mantan Mayor Cina The Boen Keh. Agenda Acara dan Menu Perjamuan pada acara itu dicetak begitu elegan dalam tiga bahasa—Belanda, Prancis dan Melayu—yang bertakhtakan “huruf-huruf emas dan dihiasi dengan potret si Jubilaris, seorang Cina tua yang baik dengan wajah nan cerdas.”

Jendela dengan kaca patri bergaya Art-Nouveau yang tren pada dekade awal 1900-an. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam agenda acara, tamu undangan diharapkan datang di gedung pesta pada pukul 21.00. Sementara itu Boen Khe dijemput pukul 21.30 bersama enam arak-akan kereta kuda yang berisi pejabat kota dan keluarga dekat. Setibanya di gedung pesta, Boen Khe dan rombongan disambut meriah dengan dentuman semarak kembang api dan musik.

Setelah prosesi acara penghormatan yang dihadiri Residen Surabaya, mereka memulai santap malam pada pukul 23.30. Sederet menu ala barat pun tersaji: Caisses et Risolles, Boeuf Pressé dengan saus Remoulade, Croquettes de Pommes de Terre dengan kacang polong, Ris de Veau dengan asparagus, Charlotte Russe, dan Bouillon. Tepat tengah malam, tibalah acara santai dan minum bersama. Acara puncaknya adalah pertunjukan kembang api.

Ayah dari Boen Khe, atau kakek Toan Ing, adalah The Goan Tjing, seorang kapitan (1826-1835) dan mayor (1835-1838) yang dimakamkan di daerah Embong Malang, Surabaya. Saudara lelaki sang kakek juga seorang opsir Cina, yakni The Goan Siang.

Goan Tjing memiliki tujuh anak: The Boen Hie, The Boen Khe (ayah Toan Ing), The Boen King, The Boen Kong, The Boen Tiong, The Boen Wan, dan The Boen Tong. Tiga pertama yang disebut di atas adalah opsir Cina pada pertengahan abad ke-19.

Rumah penginapan GANEFO masih mengekalkan beberapa perabot lawasnya, salah satunya meja rias yang bertakhtakan batu marmer. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Catatan Jurnalis Arnold Wright 

Arnold Wright (1858–1941), seorang wartawan asal Inggris, berkesempatan mengabarkan tentang sosok Mayor The Toan Ing dan leluhurnya dalam buku bertajuk Twentieth Century Impressions of Netherlands India, yang terbit di London pada 1909.

"Mayor The Toan Ing, kepala komunitas Cina di Sourabaya, adalah wakil dari sebuah keluarga yang telah memegang posisi resmi tinggi selama beberapa tahun terakhir,” demikian tulis Wright. Dia menambahkan bahwa kakek dari Toan Ing telah menjadi dasar kemakmuran materi keluarga melalui pendirian pabrik gula Tjandi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pabrik pertama yang dibangun sang kakek, The Goan Tjing, adalah Naamloze Vennootschap Suikerfabriek Tjandi, yang “telah membuktikan sumber kekayaan yang berkelanjutan.” Namun demikian, kemilau pabrik yang dibangun pada 1832 itu berpindah tangan pada 1911, dua tahun setelah tulisan Wright terbit.

“Mayor The Toan Ing merupakan direktur Hokkien Kong Tik Soe, sebuah perkumpulan masyarakat yang tujuannya adalah untuk mengatur ketaatan budaya orang Cina […],” ungkap Wright. Dia juga “merupakan Komisaris Kota Sourabaya, anggota Masyarakat untuk Pencegahan Kekejaman terhadap Satwa, dan seorang freemason."

Saya bertanya tentang sosok The Toan Ing kepada Agni Malagina, pemerhati budaya Cina dan pengajar Program Studi Cina di FIB Universitas Indonesia. “Ia mahsyur sebagai pemilik pabrik penggilingan tebu terbesar di Jawa Timur alias Raja Gula-nya Jawa Timur,” ujarnya, “dan pemimpin 'Freemason Hokkian' Surabaya, Hokkien Kong Tik Soe.”

Perkumpulan Hokkien Kong Tik Soe atau Fujian Gongde Ci merupakan institusi yang bertujuan untuk mempromosikan kembali budaya Cina dan membangkitkan kembali adat tradisional Cina, yaitu upacara pernikahan dan pemakaman. Kelak, demikian ujar Agni, perkumpulan ini menjadi cikal bakal Tionghoa Hwee Koan atau Zhong Hua Hui Guan, yang didirikan pada 1900 di Batavia. "Semangatnya, membangkitkan kembali budya tradisional Cina dan ajaran Konfusianisme."

Baca juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Mayor Cina di Betawi

The Toan Ing mendirikan Klenteng Boen Bio. Pada 1884, Ia telah menyediakan dana dan lahan sehingga klenteng itu bisa digunakan. (Kartu pos koleksi Olivier Johannes Raap)

Pendiri Klenteng Kapasan Berdewa Kesusastraan

Toan Ing dikenal juga sebagai salah satu pendiri Klenteng Kapasan, yang berdewa Wen Chang, Dewa Kesusastraan. Pada 1884, Ia telah menyediakan dana dan lahan sehingga klenteng itu bisa digunakan.

Pada 1899, klenteng ini diubah menjadi klenteng yang didedikasikan untuk Konfusius, seiring dengan gerakan kebangkitan kembali budaya Cina. Pelopornya adalah kaum jentri dan pedagang Surabaya. Lebih jauh Agni menambahkan, “Para pendiri klenteng Konfusianis dan gerakan ini dianggap merupakan pelopor gerakan kebangkitan konfusianisme di Asia Tenggara, yang kemudian memengaruhi kaum masyarakat Cina di Singapura dan Selat Malaya.”

Pada awal abad ke-20, Klenteng Boen Bio mengalami pemugaran yang selesai pada 1906. Acara peresmiannya digelar secara besar-besaran, yang dipimpin The Toan Ing. “Berita acara peresmian ini masuk dalam catatan sejarah Dinasti Qing di Beijing, bahkan Kaisar Guangxu memberi hadiah sebuah panel kayu yang memuja Konfusius, yang kemudian dipasang di Klenteng Kapasan,” ungkap Agni. “The Toan Ing dan rekan-rekannya memiliki peran penting dalam gerakan membangkitkan kembali ajaran Konfusianis di Jawa dan juga Asia Tenggara.”

Bagi saya, bermalam di penginapan eksotik berarsitektur hindia ini mampu membangkitkan keingintahuan dan narasi tentang siapa pemilik sejatinya. Sekurang-kurangnya, apabila bermalam di GANEFO, kita turut berpartisipasi dalam pelestarian bangunan bersejarah bagi Kota Surabaya. Saya mengapresiasi upaya pemilik rumah penginapan ini. Kita bisa membayangkan, apabila sedikit tamu yang bermalam di sini, bagaimana bisnis rumah penginapan ini bisa bertahan? Kita tidak berharap jejak kediaman Mayor The Toan Ing ini berpindah tangan lagi kepada orang yang tidak memahami betapa pentingnya sebuah citarasa sejarah dalam sebuah kota.

Pendar lampu beranda rumah penginapan ini seolah menyingkap narasi denyut Kota Surabaya. Sampai hari ini pemiliknya masih keluarga Tan, yakni anak laki-laki Tan Siong Chiu, yang bernama Tan Tjhoen Lin atau Frenky Tanoyo. Kabar duka pada April silam, janda mendiang Tan Siong Chiu yang bernama Oei Tjoei Hie, wafat dalam usia 106 tahun di Surabaya. 

Sebelum saya meninggalkan rumah penginapan ini saya bertanya kepada, salah satu pegawai administrasinya. Apakah rumah tua ini sudah masuk dalam daftar bangunan cagar budaya di Surabaya?

Ia menatap saya penuh tanya, lalu hanya menggelengkan kepala.

Beranda belakang yang teduh dan asri, tampaknya sebagian elemennya ditambahkan pada awal abad ke-20. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)