Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 26 Juni 2019 | 19:12 WIB
Patung singa di depan beranda rumah penginapan GANEFO di Jalan Kapasan 169-171, Surabaya. Awalnya rumah ini milik keluarga The Toan Ing, yang kemudian berpindah tangan ke Tan Siong Chiu. Inilah salah satu tengara pecinan di Surabaya yang kerap terlewat. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Opsir Cina itu menemani Maurik berkeliling kediamannya. Ia berkuncir dan berbusana ala Eropa modern seperti jaket. “Dia memiliki cara yang sangat beradab,” ungkap Maurik. “Tahu cara menerima dan menunjukkan dirinya dalam segala hal.”

Toan Ing tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Belanda, kendati ia memahaminya. Maurik marasa beruntung memelajari bahasa Melayu, sehingga ia bisa memahami apa yang disampaikan si tuan rumah.

Setelah itu mereka kembali ke beranda depan untuk duduk mengaso. Sang letnan memperkenalkan istrinya kepada Maurik. Nyonya Kwee Giem Nio “terlihat sungguh manis dalam pakaian Cinanya. Dia adalah seorang wanita muda yang cantik, dengan mata cokelat gelap nan indah,” tulisnya. “Jarang di Hindia Belanda ada perona pipi alami yang membuat lebih menyenangkan bahkan lebih simpatik.”

Maurik tampaknya memerhatikan sekali penampilan Giem Nio yang lembut dan simpatik itu ketimbang suaminya. Boleh jadi penampilan perempuan itu lebih eksotis menurut mata orang barat. Atau, mungkin karena Maurik lelaki?

Baca juga: Kesaksian Serdadu Australia Kala Ditawan Militer Indonesia di Surabaya

Hiasan keramik berlanggam Renaisans dengan semboyan (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Perempuan terhormat itu mengenakan busana semacam jubah sutra dengan sulaman renda di leher dan manset renda yang menutupi separuh tangannya yang anggun. Gaun atas itu berpadu dengan rok sutra pendek berwarna merah gelap yang bercorak bunga. Rambutnya yang hitam berkilau tampak berhias mawar merah. Sepatunya berenda dengan sulaman yang rapi. “Meskipun dia mengenakan anting-anting, cincin, dan gelang besar yang cemerlang, bros dan kancing berlian yang berkilauan untuk 'badjoe'-nya,” kali ini Maurik mencoba serius, “Setidaknya dia tidak terlihat kelebihan muatan; seluruh kostumnya berselera tinggi dan serasi.”

Giem Nio, dalam catatan Maurik, seorang perempuan yang ramah. “Dia menunjukkan giginya yang indah ketika dia tertawa […], ketika berbicara atau bertanya pun mengalun bak suara musik: Toewan soeka minoem ajer djeroek?”

Sebagai akhir dari kunjungan, kedua pasangan itu mengajak Maurik menyaksikan tonil Cina di gedung pertunjukan. Menurut Maurik, jaraknya tidak begitu jauh dari kediaman sang opsir tadi. Tampaknya, menurut perkiraan saya, mereka mengarah ke Kembangjepoen menuju Comedieplein—beberapa peta lama menyebutnya sebagai Comediestraat atau Comedieweg. Sayangnya, gedung pertunjukan itu sudah dibongkar, lokasinya sekarang sekitar Jalan Merak.

Sayangnya, kita tidak banyak memiliki catatan dari para pejalan Eropa lainnya yang menyelisik Pecinan Surabaya. Catatan Maurik pun menjadi sumber yang berharga.

Claudine Salmon pernah mengungkapkan terbatasnya sumber dari pejalan Eropa tentang kawasan eksotik di Surabaya itu dalam “The Chinese Community of Surabaya,from its Origins to the 1930s Crisis” yang terbit di

Chinese Southern Diaspora Studies, Volume 3, 2009. Kita memiliki “sumber-sumber Eropa yang sangat kaya untuk Cina di Batavia, namun sangat sedikit untuk Cina di Surabaya,” tulisnya. “Para pengembara yang mengunjungi kota ini tampaknya tidak tertarik untuk menjelajahi kawasan pecinan atau mengamati perayaan keagamaan dan tontonan.”