Rumah-rumah Gadang nan Meradang

By Muhammad Alzaki Tristi, Jumat, 5 Juli 2019 | 19:03 WIB
Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Kebanyakan kaum perempuan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke berbagai daerah untuk berdagang, mencari peluang pekerjaan yang lebih baik atau mengikuti suaminya bekerja. Rumah gadang yang ditinggalkan perlahan terbengkalai dan mengalami kerusakan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Safni tidak bisa menyembunyikan raut wajah sedihnya saat saya memasuki rumah gadang Datuk Barabanso. Bangunan memanjang dengan tujuh ruang kamar tidur ini masih bertahan dalam kondisi tidak terawat. Suasana di dalam rumah terasa lembap. Safni membuka beberapa jendela dan menyibakkan beberapa tirai kamar tidur.

“Atap dan dinding sudah rusak, ketika angin kencang datang, atap itu semakin terbuka lebar,” jelas Safni sambil menunjuk ke salah satu atap gonjong yang telah hilang. “Ingin sekali rumah ini diperbaiki. Ini harta pusaka kami, sayang jika dibiarkan saja,” sambungnya sembari memperlihatkan kondisi sebuah biliak—atau kamar tidur—milik saudarinya.

Masyarakat Minangkabau mengategorikan rumah gadang berdasarkan jumlah ruang tidur yang terdapat di dalamnya. Jumlah ruang mewakili jumlah anak perempuan ketika rumah ini dibangun.

Rumah gadang Datuk Barabanso dikenal dengan sebutan rumah gadang tujuh ruang. Rumah gadang ini termasuk tipe Balambai, dengan atap bergonjong empat dengan posisi tangga pintu tepat di tengah rumah, ciri khas rumah gadang yang ada di koto dan nagari (setingkat desa) di Sumatera Barat. Datuk Barabanso berasal dari suku Dalimo, berada di Jorong Sikaladi, Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Nagari ini dikenal sebagai daerah lahirnya kehidupan orang Minangkabau, nagari di mana rumah-rumah gadang dibangun untuk pertama kalinya.

Baca juga: Perang Dunia Kedua dan Takdir "Sophie Rickmers" di Ujung Sumatra

Safni, di dalam rumah gadang Datuk Barabanso di Jorong Sikaladi. Ia meninggalkan rumah gadang ini pada tahun 1978 dan pindah ke rumah pribadi yang ia bangun tidak jauh dari lokasi. Safni memilih membangun rumah pribadi agar dapat tinggal secara mandiri tanpa terikat keluarga lainnya di dalam satu rumah gadang. Hingga saat ini, kondisi rumah gadangnya terbengkalai dan belum ada perbaikan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Safni adalah salah satu pewaris rumah gadang Datuk Barabanso yang terakhir menetap, sebelum ia memisahan diri dari rumah gadangnya pada 1978. Rumah gadang termasuk dalam harta pusaka tinggi yang diwariskan secara matrilineal, karena diperuntukkan hanya untuk perempuan. Fatimah, ibu dari Safni, memiliki empat anak perempuan.

Safni dan ketiga saudarinya, Kartini, Murni, dan Tarni, adalah pewaris saparuik (seibu), mereka lahir dan besar di rumah gadang ini. Setelah mereka menikah dan berkembang, satu persatu mulai memisahkan diri dari rumah gadang dan menetap di rumah pribadi bersama suami dan anak-anaknya.

Nagari Pariangan terletak di ketinggian 500-700 meter dari permukaan laut, di kaki Gunung Marapi. Berdasarkan kepercayaan masyarakat adat, Nagari Pariangan menjadi wilayah pertama dimulainya peradaban setelah turunnya nenek moyang orang Minangkabau dari puncak Gunung Marapi. (Muhammad Alzaki Tristi)

Sembari duduk di tangga rumah gadang, Safni membuka ingatan-ingatan lamanya. Ia menceritakan pilihannya untuk meninggalkan kehidupan di dalam rumah gadang untuk dapat tinggal secara mandiri tanpa terikat keluarga lainnya.

“Kalau orang zaman sekarang ketika sudah punya anak banyak, misalkan anak mereka ada lima, di mana nantinya mereka akan mengadakan pesta pernikahan? Sedangkan kamar terbatas, tentulah mereka ingin membuat rumah sendiri untuk anak-anaknya,” jelas Safni.

Dalam ketentuan adat, rumah gadang dimiliki oleh kaum secara bersama. Kegiatan kaum seperti musyawarah mufakat, pengangkatan datuk, acara pernikahan, penyambutan tamu, hingga sebagai rumah duka, dilaksanakan di dalamnya.