Rumah-rumah Gadang nan Meradang

By Muhammad Alzaki Tristi, Jumat, 5 Juli 2019 | 19:03 WIB
Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Kebanyakan kaum perempuan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke berbagai daerah untuk berdagang, mencari peluang pekerjaan yang lebih baik atau mengikuti suaminya bekerja. Rumah gadang yang ditinggalkan perlahan terbengkalai dan mengalami kerusakan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Safni tidak bisa menyembunyikan raut wajah sedihnya saat saya memasuki rumah gadang Datuk Barabanso. Bangunan memanjang dengan tujuh ruang kamar tidur ini masih bertahan dalam kondisi tidak terawat. Suasana di dalam rumah terasa lembap. Safni membuka beberapa jendela dan menyibakkan beberapa tirai kamar tidur.

“Atap dan dinding sudah rusak, ketika angin kencang datang, atap itu semakin terbuka lebar,” jelas Safni sambil menunjuk ke salah satu atap gonjong yang telah hilang. “Ingin sekali rumah ini diperbaiki. Ini harta pusaka kami, sayang jika dibiarkan saja,” sambungnya sembari memperlihatkan kondisi sebuah biliak—atau kamar tidur—milik saudarinya.

Masyarakat Minangkabau mengategorikan rumah gadang berdasarkan jumlah ruang tidur yang terdapat di dalamnya. Jumlah ruang mewakili jumlah anak perempuan ketika rumah ini dibangun.

Rumah gadang Datuk Barabanso dikenal dengan sebutan rumah gadang tujuh ruang. Rumah gadang ini termasuk tipe Balambai, dengan atap bergonjong empat dengan posisi tangga pintu tepat di tengah rumah, ciri khas rumah gadang yang ada di koto dan nagari (setingkat desa) di Sumatera Barat. Datuk Barabanso berasal dari suku Dalimo, berada di Jorong Sikaladi, Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Nagari ini dikenal sebagai daerah lahirnya kehidupan orang Minangkabau, nagari di mana rumah-rumah gadang dibangun untuk pertama kalinya.

Baca juga: Perang Dunia Kedua dan Takdir "Sophie Rickmers" di Ujung Sumatra

Safni, di dalam rumah gadang Datuk Barabanso di Jorong Sikaladi. Ia meninggalkan rumah gadang ini pada tahun 1978 dan pindah ke rumah pribadi yang ia bangun tidak jauh dari lokasi. Safni memilih membangun rumah pribadi agar dapat tinggal secara mandiri tanpa terikat keluarga lainnya di dalam satu rumah gadang. Hingga saat ini, kondisi rumah gadangnya terbengkalai dan belum ada perbaikan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Safni adalah salah satu pewaris rumah gadang Datuk Barabanso yang terakhir menetap, sebelum ia memisahan diri dari rumah gadangnya pada 1978. Rumah gadang termasuk dalam harta pusaka tinggi yang diwariskan secara matrilineal, karena diperuntukkan hanya untuk perempuan. Fatimah, ibu dari Safni, memiliki empat anak perempuan.

Safni dan ketiga saudarinya, Kartini, Murni, dan Tarni, adalah pewaris saparuik (seibu), mereka lahir dan besar di rumah gadang ini. Setelah mereka menikah dan berkembang, satu persatu mulai memisahkan diri dari rumah gadang dan menetap di rumah pribadi bersama suami dan anak-anaknya.

Nagari Pariangan terletak di ketinggian 500-700 meter dari permukaan laut, di kaki Gunung Marapi. Berdasarkan kepercayaan masyarakat adat, Nagari Pariangan menjadi wilayah pertama dimulainya peradaban setelah turunnya nenek moyang orang Minangkabau dari puncak Gunung Marapi. (Muhammad Alzaki Tristi)

Sembari duduk di tangga rumah gadang, Safni membuka ingatan-ingatan lamanya. Ia menceritakan pilihannya untuk meninggalkan kehidupan di dalam rumah gadang untuk dapat tinggal secara mandiri tanpa terikat keluarga lainnya.

“Kalau orang zaman sekarang ketika sudah punya anak banyak, misalkan anak mereka ada lima, di mana nantinya mereka akan mengadakan pesta pernikahan? Sedangkan kamar terbatas, tentulah mereka ingin membuat rumah sendiri untuk anak-anaknya,” jelas Safni.

Dalam ketentuan adat, rumah gadang dimiliki oleh kaum secara bersama. Kegiatan kaum seperti musyawarah mufakat, pengangkatan datuk, acara pernikahan, penyambutan tamu, hingga sebagai rumah duka, dilaksanakan di dalamnya.

Baca juga: Kesalahan Fatal, Penjaga Kebun Binatang Diserang Harimau Sumatra

Kelompok Pecinta Alam “Tungku Tigo” berada di Janjang Saribu, lokasi di mana masyarakat Jorong Padang Panjang mempercayai tentang rute yang dilalui nenek moyang orang Minangkabau dari puncak Gunung Marapi ke nagari mereka. (Muhammad Alzaki Tristi)

Proses membangun rumah kebesaran kaum ini pun dikerjakan secara bergotong royong. Mencari bahan kayu, memahat, dan menghela tonggak dari hutan, semuanya dilakukan dengan prosesi adat. Untuk menegakkan tonggak rumah gadang dilakukan secara beramai-ramai dan dilaksanakan dengan upacara adat.

Walaupun rumah gadang dimiliki oleh kaum secara bersama, namun Safni mengatakan belum ada satupun anggota kaumnya yang membantu biaya perbaikan rumah gadang hingga saat ini.

“Tidak ada, saya sudah mencoba untuk menanyakan kepada anggota kaum untuk membantu biaya perawatan, namun ekonominya parah, ekonomi saya sendiri hanya cukup untuk makan saja, apalagi membantu rumah gadang, susah,” ujar Safni.

Festival Kebudayaan Keraton Nusantara XII pada tahun 2018 di Istana Pagaruyung, Kota Batusangkar. Bendera Marawa menjadi simbol kebesaran masyarakat Minangkabau, mewakili sejarah asal usul adat Minangkabau, Luhak Nan tuo, di Nagari Pariangan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Nagari Pariangan berada di ketinggian 500-700 meter dari permukaan laut. Nagari ini tersusun dari empat dusun, yaitu Pariangan, Padang Panjang, Guguak, dan Sikaladi. Lokasi nagari ini berada di kaki Gunung Marapi, dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan pedagang.

Kebanyakan lahan pertanian di Nagari Pariangan dimiliki secara bersama, terikat sebagai harta pusaka yang dimanfaatkan secara bergantian. Sawah pusaka tidak mudah untuk digadaikan atau diperjualbelikan, terkecuali atas seizin kaum melalui musyawarah bersama datuk dan ninik mamak. Dengan jumlah kepemilikan lahan pertanian yang terbatas, sawah hanya bisa diolah secara bergantian oleh anggota kaum tertentu.

Masyarakat yang tidak mendapatkan bagian dari sawah pusaka kaum memilih untuk bermigrasi ke tanah rantau untuk mencari pekerjaan lain. Seperti Darwis, warga dari Jorong Pariangan yang menceritakan pengalamannya bekerja sebagai teknisi pabrik di Pekanbaru selama 14 tahun, karena tidak memiliki sawah pusaka untuk diolah di kampung halaman.

Baca juga: Hutan di Rawa Tripa Berkurang, Kehidupan Orangutan Sumatra Terancam

Datuk Maajo Basa di Jorong Sikaladi. Rumah gadang milik kaumnya rusak setelah tidak adanya lanjutan pewaris rumah gadang yang menghuni. Hingga saat ini belum ada upaya yang bisa ia lakukan karena dana dari harta pusaka kaum tidak mencukupi untuk biaya perbaikan. (Muhammad Alzaki Tristi)

“Bagi orang yang memiliki sawah pusaka tentulah bisa bertani, sedangkan orang seperti saya tidak memiliki sawah sama sekali, maka dari itu saya pergi merantau,” jelas Darwis.

Merantau menjadi pilihan sebagian besar masyarakat Nagari Pariangan. Pasalnya, peluang kerja begitu terbatas di kampung halaman, sehingga merantau telah menjadi tradisi bagi laki-laki di Minangkabau.

Jeffrey Hadler (1968- 2017) seorang peneliti asal Amerika Serikat menuliskan politisasi budaya Minangkabau pada 1910-an dan 1920-an. Inilah masa ketika kontroversi publik antara matriarkat, Islam reformis, dan progresivisme mendominasi pergerakan dan masyarakat Minangkabau.

Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tanah Datar menunjukkan perempuan di Nagari Pariangan terus bermigrasi atau merantau setiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir (2013-2018), para perantau perempuan di Nagari Pariangan berjumlah 194 orang, yang tersebar baik di luar daerah maupun di luar provinsi.

Salah seorang masyarakat Nagari Pariangan mengaji di sebuah Masjid di Jorong Sikaladi. Agama Islam menjadi agama tunggal di Nagari Pariangan dan masyarakat Minangkabau, sejalan dengan ideologi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang mereka terapkan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Kebanyakan dari mereka pergi merantau untuk berdagang, atau pergi bersama suaminya bekerja di tanah rantau. Persoalan ini menjadi faktor umum yang membuat rumah-rumah gadang kian merana. Pada saat perempuan penghuni rumah gadang atau limpapeh meninggalkan kampung halaman, satu demi satu melepaskan tanggung jawabnya sebagai pewaris rumah kebesaran kaum ini.

Rumah gadang yang ditinggalkan rentan mengalami kerusakan, seperti kebocoran pada bagian atap. Tetesan air hujan membuat kayu lapuk secara perlahan. Pada 2017, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat telah melakukan pemetaan mengenai sebaran Sumber daya Budaya di Nagari Pariangan.

Dari total 70 rumah gadang yang terdata, terdapat 13 rumah gadang dengan kondisi rusak dan tidak terawat, dan 20 rumah gadang menyisakan tapak (tanah berdirinya) saja. Dari peta sebaran yang diberikan, saya menuju lokasi rumah-rumah gadang itu dan mencari tahu penyebabnya ditinggalkan.

Saya menuju rumah gadang Datuk Maajo Basa di Jorong Sikaladi. Kondisi bangunan ini hanya menyisahkan tiang dan atap bergonjong, tanpa dinding dan lantai. Rumah gadang tiga ruang ini memiliki halaman luas di sampingnya, yang merupakan bekas berdirinya rumah gadang Datuk Maajo Basa yang pertama. Warga setempat biasa menyebutnya sebagai rumah induak.

Saya menemui pihak keluarga sekaligus ahli waris rumah gadang Datuk Maajo Basa yang bernama Imam Kayo. Ia adalah mamak, sebutan untuk paman, dari rumah gadang itu.

Baca juga: Menjaga Benteng Terakhir Harimau Sumatra di Bukit Barisan Selatan

Kehidupan laki-laki di nagari Pariangan tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan pacu jawi. Tradisi ini digadang-gadangkan sebagai Alek Anak Nagari (acara masyarakat se-nagari). Dimulai dari persiapan hingga pelaksanaan hanya dipersiapkan oleh kaum laki-laki. Pacu jawi selain sebagai tradisi juga menjadi suatu bentuk kompetisi untuk menambah harga jual sapi dan pamor bagi sang pemilik. (Muhammad Alzaki Tristi)

“Pergi merantau, meninggalkan kampung, keturunan perempuan juga sudah banyak yang meninggal, ini yang menyebabkan rumah gadang tidak terawat,” ungkap Imam Kayo. “Ibu saya memiliki empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Kakak laki-laki saya telah meninggal, dan saudari perempuan saya merantau ke Pekanbaru dan Sawahlunto, yang kemudian juga meninggal di perantauan. Hanya saya yang tinggal sebagai mamak satu-satunya.”

Ia menyebutkan bahwa masih terdapat satu ahli waris saparuik, atau saudara seibu, dari rumah gadang ini: satu orang anak perempuan. Namun, ia pun turut meninggalkan kampung halaman, pergi merantau mengikuti suaminya ke Kota Bukittinggi. “Kurangnya keturunan perempuan menyebabkan tidak ada yang mampu mengurus rumah gadang kami. Keadaan yang telah menghukum,” sambungnya.

Soal perbaikan rumah gadang, Imam Kayo tidak memiliki banyak pilihan. Posisinya hanya sebagai seorang laki-laki, tidak memiliki hak atas kepemilikan dan perawatan rumah gadang. Seperti laki-laki di Minangkabau pada umumnya, ia tinggal di rumah keluarga istrinya, menjadi sumando (tamu di keluarga perempuan). Ia hanya bisa menunggu peran datuk sebagai pemimpin kaum untuk mengumpulkan anggota kaumnya dan bermusyawarah mengenai nasib rumah gadang itu.

Seorang datuk dipercaya oleh anggota kaumnya sebagai pemimpin dan penjaga harta pusaka kaum. Posisinya sangat penting sebagai penimbang keputusan penggadaian harta pusaka untuk kepentingan yang mendesak dan sesuai ketentuan adat.

Kegiatan rutin para perempuan Nagari Pariangan di sektor domestik. Pekerjaan rumah tangga didominasi oleh para parempuan, seperti berbelanja kebutuhan mingguan dari pasar Simabur yang berjarak tiga kilometer dari Jorong Pariangan setiap hari Senin. Uang yang digunakan untuk berbelanja didapatkan dari penjualan hasil panen pertanian dan perkebunan di pagi harinya. (Muhammad Alzaki Tristi)

Harta pusaka dapat digadaikan apabila dipergunakan dalam empat syarat. Pertama, ‘Mayiak tabujua di ateh rumah, tidak adanya dana untuk prosesi pemakaman jasad seorang anggota kaum. Kedua, ‘Gadih gadang indak balaki’, perempuan tua yang belum bersuami karena terhambat dana untuk prosesi pernikahan. Ketiga, ‘Mambangkik batang tarandam’, membutuhkan dana untuk mengadakan perhelatan pengangkatan penghulu dalam kaum. Keempat, ‘Rumah gadang katirisan’ memperbaiki atau membangun kembali rumah gadang yang telah rusak.

Selain dari keempat syarat itu, harta pusaka dilarang untuk dijual atau digadaikan. Walaupun penggadaian harta pusaka terikat oleh ketentuan-ketentuan adat, namun tidak sedikit datuk yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memberikan izin penggadaian harta pusaka kaum di luar ketentuan adat. Sengketa penggadaian harta pusaka menimbulkan ketidakpercayaan kemenakan kepada datuk, sehingga menyebabkan hubungan kedua pihak semakin renggang.

“Sawah kaum saat ini hanya cukup untuk makan saja, sekarang hasilnya sudah tidak seberapa,” ungkap Datuk Maajo Basa ketika saya berjumpa di kediamannya.

Datuk Maajo Basa diangkat sebagai datuk pada tahun 1982, ia berasal dari suku Sikumbang. Dari penuturannya, rumah gadang milik kaumnya itu telah ditinggalkan 20 tahun yang lalu, kemudian difungsikan sebagai Taman Pendidikan Alquran beberapa waktu sesudahnya, hingga pada akhirnya terhenti dan terbengkalai begitu saja.

Ia bekerja sebagai tukang bangunan dan bertani. Ia paham bahwa saat ini bahan kayu untuk rumah gadang sulit untuk didapatkan, ditambah harganya yang semakin mahal. Ia tidak yakin dengan hasil panen padi dari sawah pusaka kaum dapat menutupi biaya perawatan. “Rumah gadang itu dibangun dengan harta pusaka, diperbaiki secara bersama, kalau biaya sendiri itu untuk rumah pribadi, makanya orang-orang lebih memilih membangun rumah pribadi untuk anaknya,” ungkap Datuk Maajo Basa.

Esoknya, saya menuju Jorong Pariangan, ke rumah gadang Datuk Cilangik. Rumah gadang ini menjadi salah satu yang terbesar di Nagari Pariangan dengan sembilan ruang. Kondisi rumah gadang Datuk Cilangik tidak jauh berbeda dengan rumah gadang Datuk Barabanso di Jorong Sikaladi. Bedanya, langit-langit atap rumah gadang ini telah menjadi tempat beristirahat kelelawar di waktu siang hari. Saya tidak cukup berani untuk masuk, lantainya sangat tidak mungkin untuk dipijaki, lapuk dan ringkih. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar rumah gadang juga menceritakan tentang hal-hal mistis yang ada di rumah gadang ini, menambah ketidakyakinan saya untuk masuk ke dalamnya.

Baca juga: "Aum Sendu Harimau Sumatra" Menyambangi Bandung

Ani, suami dan kedua anaknya (Miftahul dan Raudatul) makan malam di rumahnya di Jorong Pariangan. Mengatur kehidupan keluarga yang mandiri dan tidak terikat dengan keluarga lainnya di dalam satu rumah gadang menjadi alasan sebagian pemilik mulai meninggalkan kehidupan bersama antar keluarga di rumah gadang. (Muhammad Alzaki Tristi)

Datuk Cilangik telah wafat, gelar adatnya belum ada yang menggantikan. Saya kemudian menemui Datuk Tampang, datuk yang memayungi kaum Datuk Cilangik yang sekaligus menjadi mamak dari rumah gadang itu.

Rumah gadang ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian mudiak, sebutan untuk udik. Bagian lainnya adalah hilia,  sebutan untuk hilir. Keduanya tetap dalam satu kaum yang sama namun terbagi dari ibu yang berbeda. “Penggunaan harta pusaka menjadi sulit, karena yang masih memiliki harta pusaka hanya di kelompok bagian hilia saja, kelompok bagian mudiak sudah tidak ada lagi, ini yang membuat sulitnya kesepakatan,” sambung Datuk Tampang.

Pewaris rumah gadang yang terbagi atas dua kelompok harus bersepakat untuk saling membantu dalam perbaikan rumah gadang. “Harta pusaka ada, tapi tidak bisa digunakan untuk itu. Ada satu pihak yang mau memperbaiki, dan satu pihak lainnya memilih untuk membiarkan saja,” jelas Datuk. “Percuma saja nantinya pihak ini mau untuk memperbaiki rumah gadang, sedangkan pihak sebelahnya tidak.”

Dr. Zainal Arifin, dosen Antropologi di Universitas Andalas, Sumatera Barat, membenarkan perihal sulitnya mencapai kesepakatan sebagai sebuah faktor terbengkalainya rumah gadang. “Sulitnya kesepakatan ini kebanyakan muncul dari perasaan saling mencurigai bahwa pihak suami berusaha mengambil alih rumah gadang, walaupun niat itu sebenarnya tidak ada sama sekali bagi pihak laki-laki,” ujarnya.

Menurut ketentuan adat Minangkabau, menjaga rumah gadang berarti mempertahankan kebesaran sebuah kaum, kebesaran seorang penghulu, dan kesejahteraan sebuah nagari. Masyarakat yang hidup di Nagari Pariangan dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Mereka berada di nagari yang dikenal sebagai wilayah jantung adat Minangkabau. Konon Nagari Pariangan disebut-sebut menjadi nagari yang melahirkan adat dan lembaga Minangkabau setelah turunnya nenek moyang mereka dari puncak Gunung Marapi.

Sekumpulan remaja laki-laki yang tidur di surau. Kebiasaan tidur di surau dianjurkan bagi laki-laki lajang remaja atau duda, yang belum atau tidak lagi memiliki istri. Hal ini dikarenakan kaum laki-laki tidak memiliki hak atas kepemilikan harta pusaka, termasuk rumah. Surau menjadi tempat belajar mendewasakan diri bagi laki-laki lajang sebelum menikah dan persiapan ketika akan merantau. (Muhammad Alzaki Tristi)

Jika berpedoman pada cerita ahli adat, perkembangan kehidupan masyarakat Minangkabau dimulai dari Luhak Nan Tigo (daerah pusat Minangkabau), yang terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Ketiga luhak ini menjadi daerah inti Minangkabau, sedangkan daerah di luar tiga luhak ini disebut sebagai rantau. Daerah inti Minangkabau ini disimbolkan dengan ‘Marawa’, bendera kebesaran adat Minangkabau berwarna hitam, kuning, dan merah, yang dapat ditemui di acara-acara besar adat.

Nagari Pariangan termasuk dalam Luhak Tanah Datar, yang juga dikenal sebagai daerah tertua. Sebutan itu berasal dari kepercayaan masyarakat tentang Nagari Pariangan sebagai daerah tertua di Minangkabau. Menurut para ahli adat, setiap cerita mengenai sejarah Minangkabau tertulis di dalam sebuah kitab yang disebut sebagai Tambo Alam Minangkabau. Kitab ini mengisahkan cerita asal-usul nenek moyang, pengelompokan anggota masyarakat, asal-usul nagari, dan berbagai cerita sejarah alam Minangkabau.

Rumah gadang juga menjadi simbol kebesaran perempuan di Minangkabau. Bundo kanduang adalah perempuan yang memiliki kehormatan dan keutamaan sepanjang adat.

Warga mempunyai pepatah, Bundo kanduang dalam kaum, limpapeh rumah nan gadang. Artinya, bunda kandung dalam kaum merupakan tiang utama di rumah gadang.

Penggalan pepatah itu mewakili kedudukan seorang perempuan sebagai figur terhormat. Perempuan di Minangkabau yang diwakilkan oleh sosok bundo kanduang memiliki keistimewaan menjadi penerima ketentuan keturunan menurut garis ibu, penerima ketentuan rumah tempat tinggal, penerima ketentuan harta dan menjadi prioritas dalam sumber ekonomi, serta pemegang hak suara istimewa dalam bermusyawarah.

Posisi perempuan berbanding terbalik dengan posisi laki-laki di Minangkabau dalam hal jaminan kehidupan. Tidak ada jaminan bagi laki-laki Minangkabau untuk hidup makmur. Mereka dituntut untuk merantau dan berjuang dengan kemampuannya sendiri.

Bagi laki-laki lajang atau duda, tidak ada tempat untuknya tidur di rumah gadang, atau rumah pribadi milik ibunya sekalipun. Mereka tidur di surau-surau dan pulang ke rumah hanya ketika makan, atau beristirahat ketika sakit. Laki-laki Minangkabau telah membiasakan menghabiskan waktunya di luar rumah, seperti di lapau atau di surau. Lapau atau kedai menjadi tempat beristirahat setelah letih bekerja dan sebagai pusat bertukar informasi tentang berbagai hal.

Bagi laki-laki yang sudah menikah pun, lapau menjadi tempat pelarian apabila mengalami permasalahan di dalam rumah tangga. Dari obrolan saya dengan beberapa laki-laki pengunjung lapau, mereka menyampaikan bahwa laki-laki Minangkabau harus peka terhadap sindiran dan kiasan. Laki-laki yang tinggal di dalam rumah keluarga istrinya, harus mampu melatih rasa dan kepekaan. Laki-laki harus bisa melihat apakah mertuanya memberi sindiran atas sikap selama di rumah, dan peka terhadap kiasan yang mereka ucapkan. Laki-laki yang mengalami permasalahan di rumah istrinya, kemudian menuju lapau sebagai tempat menyegarkan dan memberi ruang dari pikiran yang kusut.

Begitupun dengan surau yang tidak hanya difungsikan sebagai tempat mengaji dan belajar agama saja. Surau dalam kehidupan di Minangkabau juga difungsikan sebagai tempat persiapan laki-laki berlatih kemampuan bela diri silat dan ilmu kebatinan. Latihan dilakukan di malam hari dengan bimbingan guru silat. Silat, ilmu kebatinan, dan ilmu agama menjadi bekal laki-laki Minangkabau sebelum pergi meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan di tanah rantau.

Baca juga: Empat Anak Raffles Wafat di Bengkulu. Di manakah Nisan Mereka?

Lapau (kedai) mejadi pusat bertukar informasi dan tempat bagi laki-laki menghabiskan waktu setelah bekerja. Bagi laki-laki Minangkabau, lapau menjadi tempat pelarian dari tekanan kehidupan rumah tangga. Ketika di dalam rumah gadang, laki-laki tidak lebih dari sekedar tamu yang tinggal di rumah istri yang dinikahinya. Lemahnya posisi laki-laki di antara keluarga istri dan saudari-saudarinya, memaksa mereka untuk keluar rumah ketika terjadi permasalahan di dalamnya. (Muhammad Alzaki Tristi)

Laki-laki di Nagari Pariangan memiliki aktivitas rutin setiap minggunya, yaitu berburu babi dan pacu jawi. Kedua tradisi ini dikenal dengan sebutan ‘badunyia’ yang berarti menghabiskan. Pada kenyataannya, kegiatan ini memang menghabiskan dana dan tenaga dengan tujuan mencari kepuasan pribadi dan kebanggaan atas kehebatan anjing dan sapi yang dimiliki.

Kepemilikan anjing atau sapi menjadi harta laki-laki yang bebas dimiliki tanpa campur tangan pihak perempuan. Dengan kata lain, pacu jawi dan buru babi sejalan dengan kebebasan laki-laki yang tidak dimiliki perempuan di Minangkabau. Perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah gadang, mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, berbelanja ke pasar, mengasuh dan mendidik anak-anak. Perempuan Minangkabau diikat dalam aturan-aturan adat tentang cara berprilaku dan menjaga martabat dalam kehidupan di Minangkabau.

Pada 2017, Bupati Tanah Datar telah merencanakan restorasi kawasan Nagari Tuo Pariangan setelah mempertimbangkan potensi wisata yang terdapat di nagari itu. Di tahun yang sama, Presiden bersama Menteri PUPR melakukan kunjungan ke Nagari Pariangan sekaligus mengusulkan pembuatan rencana induk untuk tahun 2018. Di dalamnya terdapat rencana revitalisasi rumah-rumah gadang dan surau di Nagari Pariangan. “Tercatat di lokasi itu ada 10 surau dan 68 rumah gadang di dalam master plan,” jelas Lovely Hendra, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanah Datar.

Rencana induk itu akan direalisasikan pada  2019, apabila hubungan kerja sama pemerintah dengan masyarakat pemilik tanah kaum berjalan lancar. “Terdapat masalah hingga saat ini, yaitu munculnya ketakutan bagi masyarakat Nagari Pariangan atas hilangnya hak kepemilikan rumah gadang mereka apabila direvitalisasi oleh pemerintah,” jelas Lovely Hendra.

Dalam sistemnya, pemerintah pusat akan menurunkan dana perbaikan kepada yayasan yang berbadan hukum, bukan ke perorangan, hal ini ditujukan agar penyaluran dana lebih mudah dan menghindari kesalahpahaman dalam proses perbaikan rumah gadang. Namun, hingga saat ini, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanah Datar masih menunggu adanya yayasan berbadan hukum yang mampu mengelola dana dari pemerintah pusat sekaligus menyelesaikan permasalahan tanah adat. Hingga kini, belum dapat dipastikan kapan rencana induk mulai bisa direalisasikan.

Dalam proses pengupayaan bantuan revitalisasi rumah gadang, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar memiliki peran sebagai perekomendasi bagi komunitas adat dan pewaris rumah gadang yang meminta bantuan melalui proposal. “Kami bekerja sama dengan BPNB (Badan Pelestarian Nilai Budaya) untuk membantu merekomendasikan proposal bagi para komunitas atau pewaris rumah gadang itu sendiri,” jelas Ariswandi, Kepala Seksi Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar.

Beberapa perempuan melewati rumah gadang Datuk Garang sehabis beribadah sholat maghrib. Beberapa bangunan rumah gadang masih tetap berdiri dengan kondisi yang cukup baik, namun harus berjuang untuk bertahan di saat rumah-rumah gadang lain mulai ditinggalkan para pemiliknya. (Muhammad Alzaki Tristi)

Masyarakat Minangkabau mampu menjaga kokohnya rumah-rumah gadang jika menggunakan sistem pengaturan ekonomi dan pengelolaan harta pusaka kaum yang telah diatur di dalam adat. Bangunan rangkiang (lumbung padi) yang berada di halaman depan setiap rumah gadang menjadi pengatur pengelolaan hasil panen sesuai kegunaannya. Dari beberapa bangunan rangkiang, masyarakat Minangkabau mampu untuk mengelola hasil panen padi dan pengeluarannya sesuai kebutuhan.

Terdapat tiga jenis rangkiang yang banyak dibangun. Ada lumbung yang berisi padi untuk makanan anak kemenakan dan belanja keperluan rumah tangga. Ada lumbung yang difungsikan untuk menolong masyarakat di kampung sewaktu musim gagal panen. Lumbung lainnya untuk membantu musafir, orang-orang yang kelaparan, dan untuk penanti acara besar atau tamu yang datang.

Kehidupan di dalam rumah gadang menjadi komponen penting dalam membangun karakter masyarakat Minangkabau. Bangunan ini ditinggali oleh beberapa kepala keluarga dalam satu rumah besar secara turun-temurun dan terus berkembang. Kelas ekonomi dan sosial pewaris rumah gadang pun termasuk dalam kategori yang mapan, karena ditinggali oleh keturunan para petinggi adat.

Dari tiga jenis bangunan lumbung yang terdapat di setiap rumah gadang, dapat dipastikan bahwa pewaris rumah gadang adalah masyarakat yang hidup sejahtera. Namun pada saat ini, rumah gadang yang rusak dan terbengkalai itu seolah menjadi gambaran ketidakmampuan para pewaris dalam merawat harta pusaka yang dititipkan para leluhurnya. Rumah kebesaran kaum ini hanya sebagai ingatan masa lalu tentang kehidupan-kehidupan sejahtera yang pernah ada di dalamnya.

Waktu terus berjalan dan para pewaris rumah gadang masih terbata-bata untuk memperbaiki rumah kebesaran kaumnya ini. Tidak ada yang mampu menjamin rumah gadang masih memiliki arti yang besar bagi masyarakat Nagari Pariangan.

Saya miris mendapati warisan ini tidak lagi seperti kata pepatah, Sumarak dalam nagari, hiasan dalam kampuang—tampak semarak dalam nagari, menjadi hiasan dalam kampung.