Rumah-rumah Gadang nan Meradang

By Muhammad Alzaki Tristi, Jumat, 5 Juli 2019 | 19:03 WIB
Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Kebanyakan kaum perempuan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke berbagai daerah untuk berdagang, mencari peluang pekerjaan yang lebih baik atau mengikuti suaminya bekerja. Rumah gadang yang ditinggalkan perlahan terbengkalai dan mengalami kerusakan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Baca juga: Kesalahan Fatal, Penjaga Kebun Binatang Diserang Harimau Sumatra

Kelompok Pecinta Alam “Tungku Tigo” berada di Janjang Saribu, lokasi di mana masyarakat Jorong Padang Panjang mempercayai tentang rute yang dilalui nenek moyang orang Minangkabau dari puncak Gunung Marapi ke nagari mereka. (Muhammad Alzaki Tristi)

Proses membangun rumah kebesaran kaum ini pun dikerjakan secara bergotong royong. Mencari bahan kayu, memahat, dan menghela tonggak dari hutan, semuanya dilakukan dengan prosesi adat. Untuk menegakkan tonggak rumah gadang dilakukan secara beramai-ramai dan dilaksanakan dengan upacara adat.

Walaupun rumah gadang dimiliki oleh kaum secara bersama, namun Safni mengatakan belum ada satupun anggota kaumnya yang membantu biaya perbaikan rumah gadang hingga saat ini.

“Tidak ada, saya sudah mencoba untuk menanyakan kepada anggota kaum untuk membantu biaya perawatan, namun ekonominya parah, ekonomi saya sendiri hanya cukup untuk makan saja, apalagi membantu rumah gadang, susah,” ujar Safni.

Festival Kebudayaan Keraton Nusantara XII pada tahun 2018 di Istana Pagaruyung, Kota Batusangkar. Bendera Marawa menjadi simbol kebesaran masyarakat Minangkabau, mewakili sejarah asal usul adat Minangkabau, Luhak Nan tuo, di Nagari Pariangan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Nagari Pariangan berada di ketinggian 500-700 meter dari permukaan laut. Nagari ini tersusun dari empat dusun, yaitu Pariangan, Padang Panjang, Guguak, dan Sikaladi. Lokasi nagari ini berada di kaki Gunung Marapi, dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dan pedagang.

Kebanyakan lahan pertanian di Nagari Pariangan dimiliki secara bersama, terikat sebagai harta pusaka yang dimanfaatkan secara bergantian. Sawah pusaka tidak mudah untuk digadaikan atau diperjualbelikan, terkecuali atas seizin kaum melalui musyawarah bersama datuk dan ninik mamak. Dengan jumlah kepemilikan lahan pertanian yang terbatas, sawah hanya bisa diolah secara bergantian oleh anggota kaum tertentu.

Masyarakat yang tidak mendapatkan bagian dari sawah pusaka kaum memilih untuk bermigrasi ke tanah rantau untuk mencari pekerjaan lain. Seperti Darwis, warga dari Jorong Pariangan yang menceritakan pengalamannya bekerja sebagai teknisi pabrik di Pekanbaru selama 14 tahun, karena tidak memiliki sawah pusaka untuk diolah di kampung halaman.

Baca juga: Hutan di Rawa Tripa Berkurang, Kehidupan Orangutan Sumatra Terancam

Datuk Maajo Basa di Jorong Sikaladi. Rumah gadang milik kaumnya rusak setelah tidak adanya lanjutan pewaris rumah gadang yang menghuni. Hingga saat ini belum ada upaya yang bisa ia lakukan karena dana dari harta pusaka kaum tidak mencukupi untuk biaya perbaikan. (Muhammad Alzaki Tristi)

“Bagi orang yang memiliki sawah pusaka tentulah bisa bertani, sedangkan orang seperti saya tidak memiliki sawah sama sekali, maka dari itu saya pergi merantau,” jelas Darwis.