Rumah-rumah Gadang nan Meradang

By Muhammad Alzaki Tristi, Jumat, 5 Juli 2019 | 19:03 WIB
Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Kebanyakan kaum perempuan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke berbagai daerah untuk berdagang, mencari peluang pekerjaan yang lebih baik atau mengikuti suaminya bekerja. Rumah gadang yang ditinggalkan perlahan terbengkalai dan mengalami kerusakan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Datuk Cilangik telah wafat, gelar adatnya belum ada yang menggantikan. Saya kemudian menemui Datuk Tampang, datuk yang memayungi kaum Datuk Cilangik yang sekaligus menjadi mamak dari rumah gadang itu.

Rumah gadang ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian mudiak, sebutan untuk udik. Bagian lainnya adalah hilia,  sebutan untuk hilir. Keduanya tetap dalam satu kaum yang sama namun terbagi dari ibu yang berbeda. “Penggunaan harta pusaka menjadi sulit, karena yang masih memiliki harta pusaka hanya di kelompok bagian hilia saja, kelompok bagian mudiak sudah tidak ada lagi, ini yang membuat sulitnya kesepakatan,” sambung Datuk Tampang.

Pewaris rumah gadang yang terbagi atas dua kelompok harus bersepakat untuk saling membantu dalam perbaikan rumah gadang. “Harta pusaka ada, tapi tidak bisa digunakan untuk itu. Ada satu pihak yang mau memperbaiki, dan satu pihak lainnya memilih untuk membiarkan saja,” jelas Datuk. “Percuma saja nantinya pihak ini mau untuk memperbaiki rumah gadang, sedangkan pihak sebelahnya tidak.”

Dr. Zainal Arifin, dosen Antropologi di Universitas Andalas, Sumatera Barat, membenarkan perihal sulitnya mencapai kesepakatan sebagai sebuah faktor terbengkalainya rumah gadang. “Sulitnya kesepakatan ini kebanyakan muncul dari perasaan saling mencurigai bahwa pihak suami berusaha mengambil alih rumah gadang, walaupun niat itu sebenarnya tidak ada sama sekali bagi pihak laki-laki,” ujarnya.

Menurut ketentuan adat Minangkabau, menjaga rumah gadang berarti mempertahankan kebesaran sebuah kaum, kebesaran seorang penghulu, dan kesejahteraan sebuah nagari. Masyarakat yang hidup di Nagari Pariangan dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Mereka berada di nagari yang dikenal sebagai wilayah jantung adat Minangkabau. Konon Nagari Pariangan disebut-sebut menjadi nagari yang melahirkan adat dan lembaga Minangkabau setelah turunnya nenek moyang mereka dari puncak Gunung Marapi.

Sekumpulan remaja laki-laki yang tidur di surau. Kebiasaan tidur di surau dianjurkan bagi laki-laki lajang remaja atau duda, yang belum atau tidak lagi memiliki istri. Hal ini dikarenakan kaum laki-laki tidak memiliki hak atas kepemilikan harta pusaka, termasuk rumah. Surau menjadi tempat belajar mendewasakan diri bagi laki-laki lajang sebelum menikah dan persiapan ketika akan merantau. (Muhammad Alzaki Tristi)

Jika berpedoman pada cerita ahli adat, perkembangan kehidupan masyarakat Minangkabau dimulai dari Luhak Nan Tigo (daerah pusat Minangkabau), yang terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Ketiga luhak ini menjadi daerah inti Minangkabau, sedangkan daerah di luar tiga luhak ini disebut sebagai rantau. Daerah inti Minangkabau ini disimbolkan dengan ‘Marawa’, bendera kebesaran adat Minangkabau berwarna hitam, kuning, dan merah, yang dapat ditemui di acara-acara besar adat.

Nagari Pariangan termasuk dalam Luhak Tanah Datar, yang juga dikenal sebagai daerah tertua. Sebutan itu berasal dari kepercayaan masyarakat tentang Nagari Pariangan sebagai daerah tertua di Minangkabau. Menurut para ahli adat, setiap cerita mengenai sejarah Minangkabau tertulis di dalam sebuah kitab yang disebut sebagai Tambo Alam Minangkabau. Kitab ini mengisahkan cerita asal-usul nenek moyang, pengelompokan anggota masyarakat, asal-usul nagari, dan berbagai cerita sejarah alam Minangkabau.

Rumah gadang juga menjadi simbol kebesaran perempuan di Minangkabau. Bundo kanduang adalah perempuan yang memiliki kehormatan dan keutamaan sepanjang adat.

Warga mempunyai pepatah, Bundo kanduang dalam kaum, limpapeh rumah nan gadang. Artinya, bunda kandung dalam kaum merupakan tiang utama di rumah gadang.

Penggalan pepatah itu mewakili kedudukan seorang perempuan sebagai figur terhormat. Perempuan di Minangkabau yang diwakilkan oleh sosok bundo kanduang memiliki keistimewaan menjadi penerima ketentuan keturunan menurut garis ibu, penerima ketentuan rumah tempat tinggal, penerima ketentuan harta dan menjadi prioritas dalam sumber ekonomi, serta pemegang hak suara istimewa dalam bermusyawarah.

Posisi perempuan berbanding terbalik dengan posisi laki-laki di Minangkabau dalam hal jaminan kehidupan. Tidak ada jaminan bagi laki-laki Minangkabau untuk hidup makmur. Mereka dituntut untuk merantau dan berjuang dengan kemampuannya sendiri.