Rumah-rumah Gadang nan Meradang

By Muhammad Alzaki Tristi, Jumat, 5 Juli 2019 | 19:03 WIB
Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Kebanyakan kaum perempuan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke berbagai daerah untuk berdagang, mencari peluang pekerjaan yang lebih baik atau mengikuti suaminya bekerja. Rumah gadang yang ditinggalkan perlahan terbengkalai dan mengalami kerusakan. (Muhammad Alzaki Tristi)

Bagi laki-laki lajang atau duda, tidak ada tempat untuknya tidur di rumah gadang, atau rumah pribadi milik ibunya sekalipun. Mereka tidur di surau-surau dan pulang ke rumah hanya ketika makan, atau beristirahat ketika sakit. Laki-laki Minangkabau telah membiasakan menghabiskan waktunya di luar rumah, seperti di lapau atau di surau. Lapau atau kedai menjadi tempat beristirahat setelah letih bekerja dan sebagai pusat bertukar informasi tentang berbagai hal.

Bagi laki-laki yang sudah menikah pun, lapau menjadi tempat pelarian apabila mengalami permasalahan di dalam rumah tangga. Dari obrolan saya dengan beberapa laki-laki pengunjung lapau, mereka menyampaikan bahwa laki-laki Minangkabau harus peka terhadap sindiran dan kiasan. Laki-laki yang tinggal di dalam rumah keluarga istrinya, harus mampu melatih rasa dan kepekaan. Laki-laki harus bisa melihat apakah mertuanya memberi sindiran atas sikap selama di rumah, dan peka terhadap kiasan yang mereka ucapkan. Laki-laki yang mengalami permasalahan di rumah istrinya, kemudian menuju lapau sebagai tempat menyegarkan dan memberi ruang dari pikiran yang kusut.

Begitupun dengan surau yang tidak hanya difungsikan sebagai tempat mengaji dan belajar agama saja. Surau dalam kehidupan di Minangkabau juga difungsikan sebagai tempat persiapan laki-laki berlatih kemampuan bela diri silat dan ilmu kebatinan. Latihan dilakukan di malam hari dengan bimbingan guru silat. Silat, ilmu kebatinan, dan ilmu agama menjadi bekal laki-laki Minangkabau sebelum pergi meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan di tanah rantau.

Baca juga: Empat Anak Raffles Wafat di Bengkulu. Di manakah Nisan Mereka?

Lapau (kedai) mejadi pusat bertukar informasi dan tempat bagi laki-laki menghabiskan waktu setelah bekerja. Bagi laki-laki Minangkabau, lapau menjadi tempat pelarian dari tekanan kehidupan rumah tangga. Ketika di dalam rumah gadang, laki-laki tidak lebih dari sekedar tamu yang tinggal di rumah istri yang dinikahinya. Lemahnya posisi laki-laki di antara keluarga istri dan saudari-saudarinya, memaksa mereka untuk keluar rumah ketika terjadi permasalahan di dalamnya. (Muhammad Alzaki Tristi)

Laki-laki di Nagari Pariangan memiliki aktivitas rutin setiap minggunya, yaitu berburu babi dan pacu jawi. Kedua tradisi ini dikenal dengan sebutan ‘badunyia’ yang berarti menghabiskan. Pada kenyataannya, kegiatan ini memang menghabiskan dana dan tenaga dengan tujuan mencari kepuasan pribadi dan kebanggaan atas kehebatan anjing dan sapi yang dimiliki.

Kepemilikan anjing atau sapi menjadi harta laki-laki yang bebas dimiliki tanpa campur tangan pihak perempuan. Dengan kata lain, pacu jawi dan buru babi sejalan dengan kebebasan laki-laki yang tidak dimiliki perempuan di Minangkabau. Perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah gadang, mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, berbelanja ke pasar, mengasuh dan mendidik anak-anak. Perempuan Minangkabau diikat dalam aturan-aturan adat tentang cara berprilaku dan menjaga martabat dalam kehidupan di Minangkabau.

Pada 2017, Bupati Tanah Datar telah merencanakan restorasi kawasan Nagari Tuo Pariangan setelah mempertimbangkan potensi wisata yang terdapat di nagari itu. Di tahun yang sama, Presiden bersama Menteri PUPR melakukan kunjungan ke Nagari Pariangan sekaligus mengusulkan pembuatan rencana induk untuk tahun 2018. Di dalamnya terdapat rencana revitalisasi rumah-rumah gadang dan surau di Nagari Pariangan. “Tercatat di lokasi itu ada 10 surau dan 68 rumah gadang di dalam master plan,” jelas Lovely Hendra, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanah Datar.

Rencana induk itu akan direalisasikan pada  2019, apabila hubungan kerja sama pemerintah dengan masyarakat pemilik tanah kaum berjalan lancar. “Terdapat masalah hingga saat ini, yaitu munculnya ketakutan bagi masyarakat Nagari Pariangan atas hilangnya hak kepemilikan rumah gadang mereka apabila direvitalisasi oleh pemerintah,” jelas Lovely Hendra.

Dalam sistemnya, pemerintah pusat akan menurunkan dana perbaikan kepada yayasan yang berbadan hukum, bukan ke perorangan, hal ini ditujukan agar penyaluran dana lebih mudah dan menghindari kesalahpahaman dalam proses perbaikan rumah gadang. Namun, hingga saat ini, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanah Datar masih menunggu adanya yayasan berbadan hukum yang mampu mengelola dana dari pemerintah pusat sekaligus menyelesaikan permasalahan tanah adat. Hingga kini, belum dapat dipastikan kapan rencana induk mulai bisa direalisasikan.

Dalam proses pengupayaan bantuan revitalisasi rumah gadang, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar memiliki peran sebagai perekomendasi bagi komunitas adat dan pewaris rumah gadang yang meminta bantuan melalui proposal. “Kami bekerja sama dengan BPNB (Badan Pelestarian Nilai Budaya) untuk membantu merekomendasikan proposal bagi para komunitas atau pewaris rumah gadang itu sendiri,” jelas Ariswandi, Kepala Seksi Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar.

Beberapa perempuan melewati rumah gadang Datuk Garang sehabis beribadah sholat maghrib. Beberapa bangunan rumah gadang masih tetap berdiri dengan kondisi yang cukup baik, namun harus berjuang untuk bertahan di saat rumah-rumah gadang lain mulai ditinggalkan para pemiliknya. (Muhammad Alzaki Tristi)

Masyarakat Minangkabau mampu menjaga kokohnya rumah-rumah gadang jika menggunakan sistem pengaturan ekonomi dan pengelolaan harta pusaka kaum yang telah diatur di dalam adat. Bangunan rangkiang (lumbung padi) yang berada di halaman depan setiap rumah gadang menjadi pengatur pengelolaan hasil panen sesuai kegunaannya. Dari beberapa bangunan rangkiang, masyarakat Minangkabau mampu untuk mengelola hasil panen padi dan pengeluarannya sesuai kebutuhan.

Terdapat tiga jenis rangkiang yang banyak dibangun. Ada lumbung yang berisi padi untuk makanan anak kemenakan dan belanja keperluan rumah tangga. Ada lumbung yang difungsikan untuk menolong masyarakat di kampung sewaktu musim gagal panen. Lumbung lainnya untuk membantu musafir, orang-orang yang kelaparan, dan untuk penanti acara besar atau tamu yang datang.

Kehidupan di dalam rumah gadang menjadi komponen penting dalam membangun karakter masyarakat Minangkabau. Bangunan ini ditinggali oleh beberapa kepala keluarga dalam satu rumah besar secara turun-temurun dan terus berkembang. Kelas ekonomi dan sosial pewaris rumah gadang pun termasuk dalam kategori yang mapan, karena ditinggali oleh keturunan para petinggi adat.

Dari tiga jenis bangunan lumbung yang terdapat di setiap rumah gadang, dapat dipastikan bahwa pewaris rumah gadang adalah masyarakat yang hidup sejahtera. Namun pada saat ini, rumah gadang yang rusak dan terbengkalai itu seolah menjadi gambaran ketidakmampuan para pewaris dalam merawat harta pusaka yang dititipkan para leluhurnya. Rumah kebesaran kaum ini hanya sebagai ingatan masa lalu tentang kehidupan-kehidupan sejahtera yang pernah ada di dalamnya.

Waktu terus berjalan dan para pewaris rumah gadang masih terbata-bata untuk memperbaiki rumah kebesaran kaumnya ini. Tidak ada yang mampu menjamin rumah gadang masih memiliki arti yang besar bagi masyarakat Nagari Pariangan.

Saya miris mendapati warisan ini tidak lagi seperti kata pepatah, Sumarak dalam nagari, hiasan dalam kampuang—tampak semarak dalam nagari, menjadi hiasan dalam kampung.