Kelindan Seni dan Sains dalam Mukjizat Kebinekaan Flora Indonesia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 5 September 2019 | 22:31 WIB
Seni lukis botani bertajuk 'Phytocrene macrophylla' karya Victor Wong, seniman asal Vancouver, Kanada. (Victor Wong/Indonesian Society of Botanical Artists)

Nationalgeographic.co.id— Sejak kapan leluhur kita mulai sadar tentang keberadaan ragam flora yang menjalar-jalar di sekitar kehidupan Nusantara?

Tampaknya, sejak ribuan tahun silam mereka begitu sadar dan memahami kebinekaan flora untuk beragam kebutuhan hidup. Namun, ekspresi para seniman klasik tentang tumbuhan Nusantara yang teragung adalah ragam flora yang terpahat dalam kisah relief-relief Borobudur sekitar abad kesembilan.

Ragam flora Nusantara juga hidup dalam aspek keseharian, yang bisa dijumpai dalam wastra—baik tenun maupun batik—sampai ragam ukiran yang menghiasi peranti dan elemen arsitektur. Sejatinya, kesadaran manusia terhadap lingkungannya merupakan awal dari sebuah upaya pelestarian.

Kekayaan flora itu tidak hanya memikat hati leluhur kita, tetapi juga peneliti Eropa. Pada abad ke-17, Rumphius, seorang tentara VOC asal Jerman yang akhirnya memilih jalan hidupnya sebagai peneliti botani di Ambon, telah menyingkap ragam flora setempat. Catatan pengamatannya terbit dalam buku Herbarium Amboinense, yang dihiasi seni lukis botaninya. Dia selalu mempelajari dan mengamati tumbuhan yang dijadikan subjek karyanya dengan tekun dan cermat, sebelum akhirnya ia melukis.

Baca juga: Benarkah Tanaman Tidak Memiliki Perasaan? Berikut Jawaban Para Ilmuwan

Amorphophallus titanum atau yang akrab dilidah kita sebahai titan arum. Eunike Nugroho melukis sesuai dengan ukuran aslinya: Tingginya mencapai 2,4 meter! (Eunike Nugroho/Indonesian Society of Botanical Artists)

“Seni lukis botani adalah sebuah genre seni lukis yang merupakan paduan kajian botani (sains) dan seni (lukis). Karyanya bersifat ilmiah sekaligus indah. Estetika lah kunci yang membuka khazanah sains menjadi indah tersebut”, ujar Jenny Ardantiningsih Kartawinata, pendiri Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA). Pada kesempatan lain Jenny pernah mengungkapkan juga bahwa seni lukis botani itu “bisa mengaitkan hubungan batin antara tumbuhan dan pelukisnya."

Salah satu pendiri komunitas seni botani pertama di Indonesia ini, Eunike Nugroho atau yang akrab disapa Keke, menambahkan bahwa semenjak ide pendirian IDSBA pada November 2017, salah satu misi komunitas ini adalah mendokumentasikan flora Indonesia.

"Ini muncul dari kegelisahan bahwa Indonesia kaya, bahkan terkenal sebagai satu dari sedikit negara mega biodiversitas, tapi kekayaan ini masih sering tidak disadari atau dihargai oleh warganya," ungkap Keke. "Kami percaya bahwa seni botani dapat efektif membantu masyarakat mengenal dan mengapresiasi kekayaan tersebut. Lewat karya seni, biasanya khalayak mendapat pengalaman yang lebih emosional, tidak sekedar intelektual. Dan ini biasanya efektif, karena langsung menyentuh hati."

Pameran "Ragam Flora Indonesia" yang pertama telah digelar di Kebun Raya Bogor pada Mei 2018. Pada tahun ini, IDSBA kembali menggelar pameran "Ragam Flora Indonesia 2" di Bale Banjar Sangkring, Yogyakarta pada 6 - 13 September.

"Sebetulnya kami ingin pameran di banyak kota karena masyarakat masih perlu diberi sebanyak-banyaknya akses dan paparan pada karya seni botani," kata Keke yang kebetulan berdomisili di Yogyakarta.

"Setelah pameran di Bogor, pusat botani Indonesia, kami pikir Yogya—jika boleh dibilang pusat seni Indonesia atau kota seni—perlu mengenal genre 'baru' seni yang berbeda ini," ujarnya. "Saya secara pribadi pun penasaran seperti apa respons teman-teman seniman Yogyakarta atas pameran seni botani ini. Semoga menimbulkan diskusi yang memperkaya kedua pihak."

Komunitas ini bekerjasama dengan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada  untuk mengajak warga Yogyakarta untuk menyaksikan keajaiban flora khas Nusantara yang dikemas dalam kelindan seni dan sains.

Pada kesempatan pameran ini sejumlah 36 seniman botani Indonesia dan mancanegara memamerkan 70 karya seni lukis botani. Mereka menyajikan kemolekan dan keajaiban 66 spesies dari 41 famili flora asli Indonesia.

Karyono Apic menghadirkan detail nan teliti tentang tumbuhan gadung (Dioscorea hispida) yang mengingatkan kita akan ragam pangan lokal. (Karyono Apic/Indonesian Society of Botanical Artist)

Selain 70 lukisan botani khas Indonesia, warga juga bisa menikmati kompilasi Botanical Art Worldwide berupa rangkai salindia atau slideshow yang menampilkan 1.000 karya seni botani dari 700 seniman asal 25 negara. Mereka menampilkan seni botani yang melukiskan kekhasan flora dari negerinya masing-masing.

Pengunjung pameran akan menjumpai keindahan flora Indonesia melalui karya seni botani, yang dipandu oleh mahasiswa Fakultas Biologi UGM. Para pemandu itu akan menjelaskan sisi sains dari setiap subjek flora yang dipamerkan.

Profesor Purnomo, Guru Besar Ilmu Botani dan pakar sistematika tumbuhan di UGM, memberikan komentar tentang karya seni botani yang dipamerkan. “Sangat menarik karena menyejajarkan seni lukis dan ilmu botani menjadi seni yang botanis atau ilmu botani yang artistik.” Harapannya, "pelukis makin tertarik pada tumbuhan, demikian pula ahli botani tertarik belajar melukis”.

Alsomitra macrocarpa yang juga dikenal sebagai Javan cucumber. Tumbuhan merambat ini hidup di naungan kanopi hutan tropis, yang ketika buahnya pecah, biji-bijinya yang ringan dan bersayap putih transparan beterbangan ke segala penjuru terbawa angin. (Ananda Firman/Indonesian Society of Botanical Artists )

Suwarno Wisetrotomo, pengajar ISI Yogyakarta dan sekaligus sebagai juri yang mewakili dunia seni rupa, mengungkapkan bahwa lukisan-lukisan cermat bertema keragaman hayati ini adalah realitas lain dalam praktik seni rupa, utamanya seni lukis. 

Karya seni ini, imbuhnya, menyodorkan daya pesona visual serta kemungkinan makna yang lebih luas bagi dunia ilmu pengetahuan atau sains. Artinya, seni sejatinya adalah sains juga.

"Karya-karya lukisan cermat ini semacam interupsi yang memberikan banyak kejutan di tengah riuhnya seni rupa kontemporer yang seolah tanpa tepi,” ungkap Suwarno. “Lukisan-lukisan bertema keragaman hayati menyodorkan pengetahuan yang jelas dan pengalaman keindahan yang berbeda”.

"Saya menyambut dengan antusias munculnya para 'pelukis botani' dan berbagai kegiatan yang menyertainya," ujar lelaki yang juga Kurator Galeri Nasional Indonesia. "Karya-karya ini, sekali lagi, di samping untuk memperkaya pengalaman keindahan kita, juga berfungsi sebagai dokumentasi visual keragaman hayati kita, Indonesia."

Pada kesempatan pameran ini komunitas IDSBA juga berkolaborasi dengan berbagai komunitas, baik dari sisi seni rupa maupun ilmu botani.

Anggrek Paraphalaenopsis labukensis yang memiliki daun unik berbentuk seperti ekor tikus yang merupakan tumbuhan khas endemik Borneo. (Feby Nazuar/Indonesian Society of Botanical Artits)

Karya ikonik yang dipamerkan adalah bunga majemuk terbesar di dunia. Inilah bunga bangkai raksasa Amorphophallus titanum atau yang akrab dilidah kita sebahai titan arum. Eunike Nugroho melukis sesuai dengan ukuran aslinya. Tingginya mencapai 2,4 meter! Dia menggarap karya ini dengan begitu detail. Warga pun mampu melihat tiap lekuk dan kontur bunga raksasa ini layaknya menyaksikan langsung saat berbunga.

Kita patut mengenang semangat seniman botani Herbarium Bogoriense, Amir Hamzah dan Moehamad Toha. Mereka sohor lantaran 459 lukisan botani keduanya—yang berwarna dan berskala satu banding satu—menghias buku The Mountain Flora of Java. Karya seni botani itu dihasilkan pada periode 1927-1949, dan kini tersimpan di Universiteit Leiden, Belanda.

Buku legendaris bagi peneliti dan penjelajah alam itu disusun oleh pakar botani Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis yang terbit pada 1972. Buku edisi bahasa Indonesianya baru terbit pada 2007, yang berjudul Flora Pegunungan di Jawa.

Steenis begitu berharap bahwa buku yang dilengkapi seni lukis botani itu dapat menyadarkan masyarakat Jawa tentang kebinekaan floranya. Dia pun bercita-cita akan munculnya peran masyarakat dalam melestarikan flora dan habitatnya.

Lukisan manggis atau Garcinia mangostan L. yang begitu detail menggambarkan perkembangan dari kuncup, bunga, hingga buah yang matang. Manggis memiliki sifat antiinflamasi dan antioksidan. (Fanny Agustina/Indonesian Society of Botanical Artists)

Kebinekaan flora yang disajikan dalam pameran "Ragam Flora Indonesia 2" tampaknya mencoba menyadarkan kita sekali lagi, betapa negeri ini memiliki keanekaragaman hayati sekaligus kekayaan sains. Kebinekaan itu juga kelak menyadarkan kita untuk lebih mengenali, menyingkap, memuliakan, dan melestarikan flora khas Nusantara.

Kebinekaan adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia. Kita tidak hanya memiliki berkah beragam suku bangsa, tetapi juga ragam geologi dan keanekaragaman hayati. Inilah mukjizat Indonesia, yang masih dijuluki sebagai surga penemuan spesies baru hingga hari ini. Setidaknya, di sinilah habitat 15,5 persen dari total jumlah flora di dunia. Lalu, nikmat negeri manalagi yang akan kita dustakan?

Kita pun menghargai upaya para talenta negeri ini yang berkontribusi bukan hanya kepada seni, tetapi juga sains. Dua istilah ini belakangan memudar dalam keseharian kita. 

Seni telah menjadi kebutuhan emosional, yang mampu melatih kita dalam memahami emosi dan empati terhadap sesama dan lingkungan. Ajaklah keluarga dalam apresiasi seni dan sains yang mendamaikan sanubari dan kematangan berpikir.

Namun demikian, semuanya membutuhkan ketelatenan dan kesabaran layaknya para talenta seni botani. Thomas Jefferson pernah berkata, "Ilmu botani adalah sekolah untuk kesabaran, dan setiap hari para talentanya belajar untuk lepas dari kekecewaan."

Baca juga: Decak Keindahan Flora Melalui Seni Lukis Botani

Antidesma bunius. Orang Jawa biasa menyebutnya wuni, sedangkan orang Sunda menyebutnya huni. Buahnya kecil berwarna merah dan bergerombol dalam satu tangkai panjang. (Youfeta Devy/Indonesian Society of Botanical Artist)