Nationalgeographic.co.id - Saat virus corona mulai mewabah di Wuhan, Cina, akhir tahun 2019, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa distribusi satwa liar dalam jalur perdagangan ilegal menjadi salah satu penyebab kemunculannya.
Namun, kemunculan wabah adalah proses yang kompleks.
Sebagai peneliti dalam bidang biologi konservasi, kami menganalisis hubungan munculnya emerging diseases, atau penyakit baru pegari, seperti COVID-19, bagi manusia dengan pengelolaan satwa dan habitat yang tidak benar.
Baca Juga: Swietenia Puspa Lestari, Punguti Sampah Lautan Demi Kebaikan Bumi
Penyakit baru pegari hampir selalu bermula dari perambahan habitat dan praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan yang dilakukan oleh manusia.
Kajian yang dilakukan terhadap penyakit baru pegari yang muncul pada 2010-2011 di seluruh dunia menemukan bahwa peternakan dengan populasi hewan yang terlalu padat atau daerah yang mengalami aktivitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan kerap berujung kepada penyebaran penyakit.
Pembangunan tidak ramah lingkungan dapat memunculkan penyakit baru
Penelitian terbaru dari Stanford University, Amerika Serikat menemukan bahwa berkurangnya luasan hutan di Uganda berisiko meningkatkan interaksi manusia dengan primata liar, meningkatkan risiko kontak manusia dengan virus yang ada pada primata liar tersebut.
Beberapa wabah penyakit zoonosis, penyakit yang ditularkan melalui satwa liar, tercatat terjadi di Uganda, seperti virus Ebola dan virus Marburg. Kedua virus ini dapat menginfeksi baik manusia maupun kera, menyebabkan pengidapnya mengalami demam yang diikuti oleh pendarahan dalam.
Singkatnya, semakin banyak manusia membabat hutan untuk bertani atau membangun infrastruktur, semakin tinggi risiko manusia berinteraksi dengan hewan yang membawa virus.
Analisis terhadap kemunculan penyakit baru pegari di seluruh dunia dari tahun 1940 hingga 2004 juga sudah menunjukkan adanya kecenderungan penyakit baru pegari di daerah dengan kepadatan manusia yang tinggi.
Area padat permukiman manusia dan pembukaan lahan belakangan diketahui turut bertanggung jawab terhadap insiden luapan infeksi virus Ebola di Afrika dan virus Hendra di Australia.
Selain praktik pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan, manajemen satwa liar juga memiliki andil terhadap munculnya penyakit baru pegari.
Umumnya, organisme patogen yang dibawa oleh satu spesies tertentu dan meloncat ke spesies lain tidak akan langsung menimbulkan penyakit baru pegari. Kemunculan penyakit baru pegari sangat bergantung kepada kecocokan organisme patogen dengan inang baru dan kesempatannya menyebar ke banyak individu dari inang tersebut.
Peluang organisme patogen untuk menyebabkan penyakit baru pegari akan semakin tinggi jika inang asalnya mengalami stres berlebih. Ketika hewan mengalami stres berlebih, sistem imun akan melemah sehingga meningkatkan jumlah patogen yang dia bawa.
Stres pada hewan liar bisa terjadi karena pengelolaan hewan yang tidak benar.
Kesalahan kelola bisa berupa penempatan hewan dalam kondisi yang tidak nyaman dalam pasar, transportasi yang tidak higienis dalam jalur perdagangan, atau polusi dari perluasan pemukiman ke habitat mereka.
Membasmi satwa liar bukan cara yang tepat
Cara manusia mengendalikan penularan penyakit pegari dengan memusnahkan satwa liar pembawa virus bisa berisiko mengganggu struktur populasi.
Ketika badger (sejenis luak Eropa) di Inggris diketahui membawa bakteri tuberkulosis yang sama dengan yang ada di sapi, sekelompok peneliti setempat menguji apakah membasmi badger dapat mengurangi persebaran penyakit tuberkulosis pada hewan-hewan ternak.
Hasilnya, ketika satu atau lebih anggota kelompok badger mati, maka struktur sosial mereka berubah dengan berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain. Pergerakan individu semacam ini justru meningkatkan laju infeksi penyakit.
Karena itu, imbauan Bupati Subang, Jawa Barat kepada masyarakat untuk membasmi kelelawar mungkin ide yang buruk.
Sebagai perbandingan, pembasmian kelelawar di Amerika Latin tidak terbukti mengurangi insiden rabies dan di Uganda justru memunculkan kembali virus Marburg.
Sebagaimana yang terjadi pada para badger, gangguan terhadap struktur populasi kelelawar dapat memperparah insiden wabah.
Menghentikan penyebaran penyakit baru dengan memusnahkan spesies tidak menyelesaikan masalah karena malah akan menyebabkan ketidakseimbangan alam. Karena itu, manusia harus paham bahwa perubahan dan pengelolaan ekosistem akan berdampak pada kesehatan manusia.
Kesehatan ekosistem berarti kesehatan manusia
Kesadaran untuk memandang kesehatan manusia dan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan sesungguhnya sudah ada sejak awal abad ke-19.
Konsep kesatuan ini sekarang dikenal sebagai One Health, atau pendekatan lintas disiplin untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan atau ekosistem.
One Health muncul kembali pada awal tahun 2000-an ketika dunia berhadapan dengan wabah SARS yang berasal dari satwa liar.
Praktisi One Health Indonesia dinaungi Indohun (Indonesia One Health University Network) dan berkolaborasi dengan USAID untuk mengembangkan pangkalan data untuk mendeteksi penyakit baru pegari yang disebabkan oleh virus dari hewan (zoonosis), PREDICT.
Baca Juga: 2019 Tercatat dalam Sejarah Sebagai Tahun Terpanas Benua Eropa
Penerapan One Health dalam pemerintahan Indonesia sendiri masih sangat baru. Sejak diadopsi pada tahun 2016, penerapannya masih terbatas kepada penyakit-penyakit zoonosis dalam hewan domestik dan pertanian. Selain itu, sistem berbagi informasi terkait penyakit baru pegari secara nasional baru akan diuji coba di empat kabupaten percontohan.
Mengingat penyakit baru pegari kerap muncul bersama perusakan habitat, kami menyarankan mengintegrasikan pendekatan One Health ke dalam kebijakan lingkungan, misalnya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hingga pemberian izin usaha dan pembukaan lahan.
Selengkap apapun sistem pengawasan kita, semaju apapun ilmu pengetahuan dalam memetakan risiko, dan sebanyak apapun informasi yang kita punya, jika pemerintah masih menganaktirikan proses ilmiah dan mengutamakan ego sektoral, kita tidak akan ke mana-mana.
Penulis: Sabhrina Gita Aninta, Postgraduate Research Student, Queen Mary University of London
drh. Irhamna Putri Rahmawati, M.Sc., penasihat bidang konservasi di Wildlife Rescue Centre Jogja - Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta, turut berkontribusi terhadap penulisan artikel ini.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.