Deli memang tanah emas dan surga bagi kelas kaum kapitalis, namun hanya tanah untuk meneteskan keringat dan air mata, tanah kematian dan neraka bagi kaum buruh.
Para kuli melakukan kerja paksa, mereka adalah budak. Para kuli membanting tulang dari dini hari sampai malam, mendapat upah yang cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, sewaktu-waktu dipukul dan dimaki godverdom, sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadisnya yang dikehendaki ndoro tuan.
Breman memperkirakan seperempat dari kuli kontrak tewas sebelum kontrak mereka berakhir.
Warisan buruk perkebunan kolonial
Setelah kemerdekaan Indonesia, kasus perbudakan ini sudah dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia.
Selain merusak kemanusian, perusahaan kolonial Belanda dan Eropa dalam mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara telah membabat hutan secara besar-besaran. Karl Pelzer, akademisi dari Yale University, memperkirakan lebih setengah lahan di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat telah dibabat menjadi perkebunan saat zaman Belanda.
Daerah Sumatera Utara sekarang terkenal menjadi daerah perkebunan. Namun warisan sistem perkebunan zaman Belanda masih diterapkan. Setiap kebun memiliki administrator (ADM), asisten kebun, kerani, mandor, dan buruh.
Walau sang buruh sekarang tidak lagi terikat dalam kontrak, namun upah buruh masih minimum
Romantisme tanah Deli
Belakangan ini, riwayat tanah Deli yang kaya banyak diromantisasi sebagai wisata warisan sejarah.
Kota Medan yang telah modern pada awal abad ke-20, pernah dijuluki Parijs van Sumatra. Daerah Kesawan terkenal dengan restoran Tip Top, pusat perbelanjaan Warenhuis dan Seng Hap.
Esplanade (Lapangan Merdeka) memiliki bangunan bersejarah (Harrison Crossfield - sekarang London Sumatera), balai kota, kantor pos, hotel de Boer (sekarang Grand Inna), jalur kereta api yang menghubungkan semua perkebunan di Sumatera Utara.
Bersamaan dengan roman yang indah ini, Nienhuys diceritakan sebagai pendiri kota Medan modern. Monumen Kolonial Belanda mengagungkan Cremer sebagai sang kolonial dengan cita-cita tertinggi yang membawa peradaban, kemakmuran, kedamaian, dan ketertiban.
Nienhuys dan Cremer menjadi kaya raya dari hasil perkebunan Deli. Cremer bahkan menjabat sebagai menteri kolonial di pemerintah Belanda (1897–1901).
Baca Juga: Gerakan Rahasia White Lotus dan Hancurnya Dinasti Mongol di Tiongkok
Halaman Wikipedia Nienhuys dan Cremer mengangkat mereka sebagai pendiri perusahaan tembakau, dan tidak mempersoalkan sistem perbudakan yang mereka tanamkan.
Romantisme sejarah Medan jangan sampai melupakan keringat dan darah ratusan ribu kuli kontrak yang diperbudak di perkebunan saat kolonial.
Agar sejarah terhadap pekerja kebun tidak terulang lagi, pemerintah dan masyarakat mestinya memperhatikan pendidikan dan kesejahteraan mereka agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan turunan.
Jika generasi milenial tidak lagi berminat menjadi pekebun atau petani, akan berdampak terhadap kelanjutan pertanian di Indonesia.
Penulis: Budiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.