Nationalgeographic.co.id - Protes besar atas rasisme yang populer dengan nama #BlackLivesMatter, bermula di Amerika Serikat, telah menjalar ke Eropa dan dunia.
Di Indonesia, banyak aktivis membahas persoalan rasisme terhadap orang-orang Papua.
Tak hanya mempersoalkan rasisme saat ini, masyarakat dunia juga mengecam rasisme dan perbudakan zaman kolonial, dengan cara merobohkan patung kolonialis dan pedagang budak.
Awal Juni lalu, misalnya, patung kolonial pedagang budak di Inggris, Belgia, dan Amerika dirobohkan dan dicoret. Di Belanda juga ada beberapa protes mengenai rasisme dan keberadaan patung Jan Pieterszoon Coen di Kota Hoorn. Dia merupakan Gubernur Jenderal Kongsi Dagang asal Belanda (VOC) pada abad ke-17 di Hindia Belanda (Indonesia).
Perdagangan budak masa kolonial juga terjadi di Indonesia, terutama di Sumatera Utara. Di daerah ini, sekitar 150 tahun lalu, Belanda terlibat perdagangan manusia untuk tenaga kerja perkebunan dengan istilah kuli kontrak.
Baca Juga: Demam Sepeda dan Bagaimana Itu Mengubah Dunia Pada 1890-an?
Tahun lalu, saya membawa mahasiswa Australia ke Medan dalam program New Colombo Plan untuk mengenal perkebunan di Sumatera Utara. Dalam perjalanan tersebut, saya mulai meneliti mengenai tanah di Sumatera Utara dan mempelajari banyak riset yang dilakukan di zaman kolonial untuk mengetahui jenis tanah di daerah Deli.
Daerah Medan terkenal dengan tembakau Deli dan para pekebun kolonial melakukan riset untuk meningkatkan produksi tembakau. Di belakang kejayaan riset Belanda, saya menemukan banyak korban manusia untuk mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara. Rasisme dan perbudakan terjadi secara besar-besaran di perkebunan yang dikelola oleh perusahaan kolonial.
Dampak kuli kontrak juga masih bisa dirasakan sampai sekarang dengan keturunan para buruh yang masih tinggal di perkebunan yang tidak pernah terlepas dari stigma kuli kontrak.
Patung peringatan kejayaan budak
Walau beberapa novel dan tulisan akademik menceritakan kuli kontrak di Sumatera Utara, sejarah perbudakan ini jarang dibahas secara umum.
Bahkan sampai akhir abad ke-20, pemerintah Belanda tidak pernah mempersoalkan kekerasan pada zaman kolonial. Padahal, fakta perbudakan dan rasisme itu jelas sekali.
Medan yang terkenal sebagai kota perdagangan pada awal abad ke-20, pernah mendirikan dua monumen untuk memperingati kejayaan pedagang budak. Pada 1915, monumen air mancur di depan Kantor Pos Medan didirikan untuk memperingati Jacob Nienhuys sebagai “perintis” perkebunan Deli.