Rupa-rupa Ekowisata di Pulau Bunga

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:03 WIB
Deretan rumah tradisional tertata rapi mengikuti kode budaya dari leluhur. Pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Ngada. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Keterangan Ary tadi seolah mengingatkan saya dan Kim agar mencari tahu lebih dalam soal sistem budi daya sawah yang menyimpan kisah menarik—bukan dinikmati keindahan panoramanya semata. Begitu dapat kesempatan, saya pun mulai berselancar di dunia maya.

Baca Juga: Di Bawah Duli Senhor Sikka

Flores yang telah diakui akan keramahan masyarakatnya menyambut kedatangan tetamu melalui tari. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Area yang menghampar itu berpagar bukit di sekelilingnya. Di antara bukit, ada kumpulan rumah yang menjadi batas dengan tanah milik masyarakat yang ditanami tumbuhan padi. Dalam pengelolaan sawah, warga Manggarai mengenal sistem budi daya komunal: lodok. Para leluhur mengajarkan generasi penerus untuk membagi lahan sawah di sejumlah lingko atau hamparan. Di sinilah, kearifan lokal mengikat erat kehidupan warga dan menjadi tradisi yang hingga kini masih terpelihara dengan baik.

Berdasarkan tradisi itu pula, pengelolaan sawah sistem lodok dimulai dengan penanaman sebatang pohon. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya sebagai haju teno di titik tengah lingko. Dari situ, tu’a teno (tetua yang bertanggung jawab atas lingko, termasuk urusan pembagian lahan) membagikan lahan sawah kepada para petani pendukungnya. Sang tetua menarik garis dari titik tengah lingko hingga titik batas luar. Pembagian petak sawah itu menghasilkan pola unik. Saat hamparan telah terbagi menjadi petakpetak tanam, tampak gambaran sawah yang mirip jaring laba-laba.

Panorama pola pembagian sawah itu terlihat jelas apabila kita menatapnya dari puncak bukit. Panorama paling mengasyikkan adalah saat padi menguning yang dikelilingi bukit dan beratapkan langit nan membiru. Indah!

Baca Juga: Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie

Di wilayah Bajawa, para petani kopi bergotong royong menjemur biji kopi hasil panen kebun masyarakat. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Esthy Reko Astuty tersenyum puas. Ia mengatakan bahwa perjalanan darat Ende-Ngada-Manggarai-Manggarai Barat sejauh 390 kilometer yang dipimpinnya berlangsung produktif. Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sebelum mengalami perubahan nomenklatur) itu menyertakan delapan orang yang berasal dari agen perjalanan dari enam negara yang khusus memasarkan produk-produk dan destinasi ekowisata, khususnya Indonesia. “Mereka memang sengaja kami undang untuk memberikan masukan, saran, hingga kritik terhadap produk ekowisata yang kita punya. Saat ini, kami ingin mendorong pasar ekowisata di Flores,” ujar Esthy.

Perjalanan yang saya ikuti ini merupakan bagian dari penyelenggaraan Forum Bisnis Internasional Ekowisata (EcotourBiz) 2014. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendorong forum ini untuk melakukan pemasaran bersama produkproduk ekowisata Indonesia. Caranya, “dengan mempertemukan langsung buyer dengan seller produk ekowisata,” kata Esthy.

Tak cukup bertemu, para pelaku industri ekowisata itu diajak untuk melihat langsung berbagai contoh produk yang ditawarkan. Menurut perempuan berkacamata ini, setelah melihat langsung di lapangan, para buyer diminta untuk memberikan masukan dan kritik untuk pengembangan produk tersebut.

Esthy lantas mencontohkan diskusi malam hari dengan Wakil Bupati Manggarai, Deno Kamelus, yang berjalan produktif. Diskusi antarbangsa itu digelar interaktif, dan tuan rumah menerima masukan dan kritik dari peserta Forum.