Rupa-rupa Ekowisata di Pulau Bunga

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:03 WIB
Deretan rumah tradisional tertata rapi mengikuti kode budaya dari leluhur. Pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Ngada. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Teks dan foto oleh Bayu D.M. Kusuma

“Tolong fotokan, saya juga mau berpose seperti itu.”

“Boleh. Siap-siap ya!”

“Oke!”

“Kim, Siap! Hitungan ketiga ya.”

“Satu, dua, tiga... huppp!”

“Yeah!”

“Nah, seperti ini foto kamu, Kim.”

Nationalgeographic.co.id—Saya mengangsurkan kamera saku digital kepadanya. Lelaki berkulit bersih itu berseri-seri. Ia tampak cukup puas atas aksinya tadi.

Kami memang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Tetapi, globalisasi dan teknologi membuat kami sama-sama paham soal fotografi levitasi—membuat foto dengan subjek yang tampak seolah-olah melayang. Meskipun saya tak terlampau jago dalam hal fotografi—hingga mampu menghasilkan foto levitasi—setidaknya kami dapat berbagi kebahagiaan (belakangan, Kim menunjukkan kepada saya foto-foto melayang yang dimilikinya di setiap destinasi menarik seantero jagat yang pernah dia kunjungi).

Kim, lelaki yang murah senyum, bernama lengkap Seungkyu Kim. Pekerjaannya adalah manajer Good Travel, Inc.—badan usaha yang menawarkan paket ekowisata ke destinasi pilihan di Korea Selatan. “Ini bukan sembarang lanskap sawah. Bukan hanya indah untuk dipandang, melainkan juga ada makna dari pola sawah itu,” kata Ary Suhandi, yang memimpin Indecon—organisasi yang mendorong implementasi pariwisata berkelanjutan untuk sejumlah destinasi alam di negara ini.

Di puncak sebuah bukit di wilayah Cancar, Manggarai, kami menikmati sekaligus mengagumi keunikan bentang sawah milik masyarakat. Eberhardus Ardy Agus, pramuwisata yang berdiri di dekat Ary, juga ikut mempromosikan salah satu destinasi andalan Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur itu.

Keterangan Ary tadi seolah mengingatkan saya dan Kim agar mencari tahu lebih dalam soal sistem budi daya sawah yang menyimpan kisah menarik—bukan dinikmati keindahan panoramanya semata. Begitu dapat kesempatan, saya pun mulai berselancar di dunia maya.

Baca Juga: Di Bawah Duli Senhor Sikka

Flores yang telah diakui akan keramahan masyarakatnya menyambut kedatangan tetamu melalui tari. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Area yang menghampar itu berpagar bukit di sekelilingnya. Di antara bukit, ada kumpulan rumah yang menjadi batas dengan tanah milik masyarakat yang ditanami tumbuhan padi. Dalam pengelolaan sawah, warga Manggarai mengenal sistem budi daya komunal: lodok. Para leluhur mengajarkan generasi penerus untuk membagi lahan sawah di sejumlah lingko atau hamparan. Di sinilah, kearifan lokal mengikat erat kehidupan warga dan menjadi tradisi yang hingga kini masih terpelihara dengan baik.

Berdasarkan tradisi itu pula, pengelolaan sawah sistem lodok dimulai dengan penanaman sebatang pohon. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya sebagai haju teno di titik tengah lingko. Dari situ, tu’a teno (tetua yang bertanggung jawab atas lingko, termasuk urusan pembagian lahan) membagikan lahan sawah kepada para petani pendukungnya. Sang tetua menarik garis dari titik tengah lingko hingga titik batas luar. Pembagian petak sawah itu menghasilkan pola unik. Saat hamparan telah terbagi menjadi petakpetak tanam, tampak gambaran sawah yang mirip jaring laba-laba.

Panorama pola pembagian sawah itu terlihat jelas apabila kita menatapnya dari puncak bukit. Panorama paling mengasyikkan adalah saat padi menguning yang dikelilingi bukit dan beratapkan langit nan membiru. Indah!

Baca Juga: Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie

Di wilayah Bajawa, para petani kopi bergotong royong menjemur biji kopi hasil panen kebun masyarakat. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Esthy Reko Astuty tersenyum puas. Ia mengatakan bahwa perjalanan darat Ende-Ngada-Manggarai-Manggarai Barat sejauh 390 kilometer yang dipimpinnya berlangsung produktif. Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (sebelum mengalami perubahan nomenklatur) itu menyertakan delapan orang yang berasal dari agen perjalanan dari enam negara yang khusus memasarkan produk-produk dan destinasi ekowisata, khususnya Indonesia. “Mereka memang sengaja kami undang untuk memberikan masukan, saran, hingga kritik terhadap produk ekowisata yang kita punya. Saat ini, kami ingin mendorong pasar ekowisata di Flores,” ujar Esthy.

Perjalanan yang saya ikuti ini merupakan bagian dari penyelenggaraan Forum Bisnis Internasional Ekowisata (EcotourBiz) 2014. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mendorong forum ini untuk melakukan pemasaran bersama produkproduk ekowisata Indonesia. Caranya, “dengan mempertemukan langsung buyer dengan seller produk ekowisata,” kata Esthy.

Tak cukup bertemu, para pelaku industri ekowisata itu diajak untuk melihat langsung berbagai contoh produk yang ditawarkan. Menurut perempuan berkacamata ini, setelah melihat langsung di lapangan, para buyer diminta untuk memberikan masukan dan kritik untuk pengembangan produk tersebut.

Esthy lantas mencontohkan diskusi malam hari dengan Wakil Bupati Manggarai, Deno Kamelus, yang berjalan produktif. Diskusi antarbangsa itu digelar interaktif, dan tuan rumah menerima masukan dan kritik dari peserta Forum.

Baca Juga: Manu, Ngana, dan Kaba: Cerita Hewan-Hewan Kurban Orang Bajawa

Bebatuan yang tersusun rapi memiliki kode budaya leluhur—menjadi bagian tak terpisahkan dari kampung adat di Flores (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Ary Suhandi yang memimpin diskusi telah memancing pembicaraan dengan melakukan refleksi terhadap destinasi ekowisata yang sudah disinggahi. Untuk pasar Indonesia, calon pembeli kerap mempermasalahkan biaya tiket penerbangan dari kota besar, misalnya Jakarta, menuju kotakota di Flores yang dinilai terlampau mahal, apabila dibandingkan dengan ongkos pergi ke Singapura.

“Ini perlu kita edukasi, bahwa biaya ke Singapura jelas lebih murah. Karena secara jarak (tempuh) memang lebih dekat dari Jakarta. Tetapi, soal biaya memang bergantung pada tujuan si wisatawan. Sebagian orang mengatakan value of money di (industri) pariwisata diukur dari kepuasan dan pengalaman yang didapat,” Ary memaparkan. Flores menawarkan pengalaman yang sangat berbeda dengan destinasi dunia lainnya. “Apakah kita bisa melihat langsung komodo (di habitatnya) di tempat lain? Apakah ada danau di atas gunung yang memiliki tiga warna? Apakah ada model sawah lingko di belahan bumi lain?”

Peserta diskusi yang memberikan masukan adalah Sahabuddin Nur. Lelaki yang mudah terlelap saat berdiam di dalam bus itu merupakan pemilik Matahari Holidays Tour & Travel di Makassar, Sulawesi Selatan—agen perjalanan yang memasarkan produk ekowisata di wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Ia menyoroti permasalahan bau yang kurang sedap, yang berasal dari kamar mandi hotel. Sahabuddin yang sudah puluhan tahun berkecimpung di industri wisata sangat menekankan betapa pentingnya kenyamanan dan pengelolaan kamar mandi di dalam tempat penginapan. Yang menarik, ia tak hanya memberikan kritik, tetapi juga menawarkan solusi.

Diskusi kian menghangat ketika Roelof Dieleman dari WAG Travel Belanda memberikan apresiasi terhadap upaya pembangunan infrastruktur yang berjalan baik di Flores. Ia mengamati selama perjalanan darat, mulai dari Ende ke Bajawa (Ngada) hingga Ruteng di Manggarai, jaringan jalan telah dilapisi aspal mulus. Di beberapa bagian, jaringan jalan yang menghubungkan antarkota di Pulau Bunga itu memang masih dalam tahap peningkatan kualitas. Ia memahami, bukanlah hal yang mudah untuk membangun infrastruktur di wilayah Flores.

Baca Juga: Untold Flores: Berbagi Cerita Tentang Makna Sebuah Perjalanan

Para perempuan yang menyambut tetamu. Masyarakat Manggarai menyajikan seni dan budaya yang diwariskan leluhur kepada tetamu —entah itu wisatawan atau pejabat penting pemerintahan. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Ide sederhana datang dari Paul, pengelola perjalanan ekowisata yang bermukim di Singapura. Ia menawarkan branding untuk Flores, yang memiliki makna ‘bunga’ dalam bahasa Portugis. “Nah, kenapa tidak kembali menghadirkan bunga di setiap pelosok pulau ini? Gerakan ini mudah saja. Caranya, setiap rumah menanam tanaman berbunga. Dan, ini perlu dukungan dari pihak pemerintah.” Peserta diskusi memberikan tanggapan atas ide tersebut. Dan, tentunya, aplaus bagi Paul.

Jess McKelson, Tour Director RAW Wildlife Activities, mengingatkan soal perencanaan tata ruang wilayah. Hal ini menjadi kunci penting dalam penataan suatu destinasi. Perempuan asal Australia ini khawatir apabila pemerintah daerah di Flores tidak mengimplementasikan rencana tata ruang yang telah disusun. Tentu, kekayaan alam dan budaya dapat terkena dampak langsung. Ini pun berkaitan dengan bagaimana masa depan pengembangan wisata di Flores. Pilihan itu ada pada pilihan wisata yang berkelanjutan.

Terlepas dari diskusi yang berlangsung penuh semangat itu, para peserta setuju bahwa Flores telah memiliki modal yang kuat dalam pengembangan industri pariwisata. Mulai dari alam yang unik, budaya menarik, hingga masyarakat yang ramah terhadap pendatang.

Herry Wngge terus berupaya meyakinkan saya. “Ini kesempatan, bro. Nanti kalau sudah di sana, saya mau terjun dan berenang,” katanya, bersemangat. Saya masih menimbang-nimbang ajakan lelaki yang berprofesi sebagai pemandu perjalanan di wilayah Flores dan sekitarnya ini. Ketika kami tiba di pelataran kantor Bupati Manggarai di Ruteng, Herry sudah melontarkan keinginannya.

Kami masih menempuh perjalanan darat sejauh 90 kilometer ke arah barat untuk mengikuti sejumlah rangkaian acara—termasuk penyambutan adat bagi tetamu di Kampung Pusut, Desa Nampar Mancing, Sano Nggoang, Manggarai Barat.

Baca Juga: Dia yang Sedang Mekar, Habitat Kadal Purba yang Kerap Terlewat

Pemandangan Kampung Adat Bena—yang menjual hasil tenun di muka rumah warganya. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Ctar, ctar, ctar!

Sang penari melompat. Saat melayang di udara, dia mengayunkan cambuk rotan ke arah lawannya. Untuk menangkis serangan tadi, penari lawan melindungi tubuh dengan perisai yang terbuat dari anyaman rotan. Adegan itu terjadi beberapa kali. Lalu, keduanya kembali menari.

Permainan cambuk yang menjadi hiburan besar bagi hampir seluruh kaum laki-laki Manggarai ini menjelma sebagai pertunjukan yang mengasyikkan bagi tetamu. Begitulah permainan caci yang dipandang sebagai cara membuktikan keperkasaan dan kegagahan lelaki. Kini, caci lebih banyak menunjukkan sifat sportif orang Manggarai.

Permainan caci adalah permainan yang melambangkan seni—adat kebudayaan yang orisinal dari wilayah barat Flores. Seni ini bukanlah pertandingan. Caci adalah permainan persahabatan dan kekeluargaan. Caci menjadi bagian dari adat—warisan leluhur Manggarai.

Namun, menurut Maribeth Erb—peneliti yang lama bekerja di wilayah Manggarai—caci telah mengalami pergeseran atas filosofi yang dikandungnya pada masa kini. Sejak tahun 1970-an, caci semakin sering dimainkan pada perayaan penting. Permainan ini memainkan peran yang makin penting sebagai lambang seni dan budaya Manggarai. Ia menjadi duta budaya kepada tetamu, dan menjelma sebagai atraksi wisata populer.

Baca Juga: Kotak Keperawanan dan Budaya Kampung Adat Cecer Manggarai Barat

Jalur mendaki saat menuju Cunca Wulang di Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat. Perjalanan menyusuri alam yang memberikan sensasi berbeda. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Akibat banyak permintaan dari pemandu wisata atau agen perjalanan, sanggar seni dan budaya tumbuh subur di seantero Manggarai. Mereka merespons atas permintaan tadi dengan menggelar permainan caci bagi pejalan—yang terikat agenda perjalanan selama di Flores hingga hanya punya waktu satu jam singgah di kampung.

Warga Manggarai yang mengenal lebih dalam soal caci tentu tidak merasa nyaman terhadap permainan yang disajikan khusus untuk wisatawan. Suguhan budaya itu bukanlah caci yang sesungguhnya—hanya sebagai “potret” dari adat leluhur.

Untunglah sekitar dua belas tahun silam ada jalan tengah. Solusi bagi orang Manggarai yang ingin menampilkan caci dan budaya Manggarai yang sebenarnya dalam arena sebagai pertunjukan bagi wisatawan. Dengan bantuan dari LSM Swiss dan misionaris luar negeri, warga berhasil membangun kembali rumah adat yang berbentuk bundar itu di Desa Todo, tempat yang menjadi asal raja Manggarai yang ditunjuk pada zaman Belanda.

Pada 2002, salah seorang anggota keluargakerajaan menggelar ritual besar denganmengundang Menteri Kebudayaan dan Pariwisata(saat itu) I Gede Ardika—untuk mengunjungirumah adat. Sang menteri bersedia datang danmengukuhkan tempat itu sebagai desa wisata.

Baca Juga: Sedapkan Manggarai: Cengkerama Kuliner dan Masyarakat Labuan Bajo

Sawah dengan sistem lodok menyajikan pola unik—mirip jaring laba-laba yang memikat wisatawan. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Pada akhirnya, caci tetap dimainkan sebagai pertunjukan budaya Manggarai bagi wisatawan, dan melambangkan seni untuk tetamu penting. Sementara itu, caci tetap dimainkan untuk audiensi dari orang-orang Manggarai yang ingin melestarikan budaya dan hubungan dengan arwah leluhur dan lambang kegembiraan mereka dalam ekspresi seni tradisional.

Pertunjukan caci di Kampung Pusut baru saja usai. Lalu, para tetamu diminta memasuki bagian dalam rumah tuan rumah. Warga telah menyediakan santap siang—menunya khas setempat. Beres urusan perut, Herry kembali mendekati saya. Rupanya, lelaki yang bernama Herman belum berhenti merayu saat kami menyaksikan sajian tarian caci di Kampung Pusut, yang sudah masuk wilayah Manggarai Barat.

“Setelah makan siang, kita minta izin saja. Kita harus pergi ke sana.” Lelaki yang juga mengelola resor wisata di Moni ini mengompori saya. Ia kembali meyakinkan saya, perjalanan darat selama lebih dari 200 kilometer itu akan kehilangan makna, apabila saya belum mengunjungi salah satu destinasi yang menjadi incarannya tadi.

“Gimana, Mas Sugi. Kita bisa pinjam motor kah?” saya bertanya ke Sugiarto Agus, staf Indecon yang bertugas mengawal kegiatan wisata berkelanjutan di Manggarai dan Ngada.

“Sebentar, saya periksa dulu di kantor.”

“Oke! Siap, bro! Ayo, lompat sekarang!”

“Yeaaahhh!”

Byuuurrr!

Sepasang kakinya menghujam air, yang memuncratkan isi kolam ke udara. Sejenak tenggelam, dia menyembul kepalanya.

“Mantap!”

Herry berteriak, kegirangan. Ia baru saja menuntaskan nazarnya: terjun dari puncak tebing cadas kokoh setinggi sepuluh meter ke dalam kolam air, yang berasal dari aliran Cunca Wulang. Inilah air terjun yang begitu diidamkan oleh Herry, sehingga dia tak pernah berhenti merayu saya untuk mengikuti langkahnya ke sana.

Baca Juga: Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio

(National Geographic Traveler)

Sedari awal, Herry sudah mewanti-wanti saya untuk mengabadikan aksi terjun bebasnya tadi dengan kamera. Katanya, sebagai bukti sahih di kemudian hari. Itu sebabnya, begitu sampai di lembah aliran air terjun, kami segera melakukan orientasi. Yang pertama, melihat kemungkinan titik terjun. Air yang tumpah dari ketinggian ini menyediakan pasokan untuk kolam yang terbentuk alami di lembah sungai. Tetapi, kami datang pada musim kemarau. Aliran air tidak terlampau deras ketimbang ketika penghujan tiba.

Gemuruh air mendominasi lembah. Suara itu tentu membuat penasaran pendatang yang baru pertama kali menapakkan jejaknya di sini. Tebing cadas di kedua sisi aliran air menutupi pandangan ke sekeliling. Kalau ingin dapat pandangan yang lebih lega, ya harus berjalan mlipir di bebatuan hingga menuju puncak tebing. Lantas, di mana sih letaknya air terjun itu? Saya bergumam, penasaran.

Saya mengikuti langkah Sugiarto Agus dan Gregorius Harapan—pemuda Desa Cunca Wulang yang menjadi Ketua Lembaga Pengelola Pariwisata Cunca Wulang. Kami menuju arah timur. Cunca Wulang boleh dibilang mukjizat buat masyarakat Manggarai Barat. Bukan hanya mengalirkan nadi kehidupan, melainkan sekaligus memberikan panorama yang mengundang decak kagum. Air terjun itu bertingkat-tingkat. Di ujung tebing, yang berada di seberang air terjun pertama, kita bisa memandangi lembah sungai yang diapit dinding cadas kokoh. Pepohonan yang tumbuh di atasnya menyumbangkan warna hijau dan cokelat. Matahari yang bersinar di antara awan kelabu memberikan kesan dramatis, khas lanskap tropis. Amboi, cantik nian tanah Manggarai!

Setelah mengenali medan, Herry telah memilih lokasi terjun. Dia meminta saya untuk bersiap mencari sudut pengambilan gambar yang terbaik. Sugi memberikan saran. Tentu, kami harus mendengarkan sarannya, sebab dia yang pernah mengunjungi tempat ini beberapa kali— selain Goris, sapaan Gregorius yang telah berlatih melakukan pemanduan wisata bagi pelancong yang datang ke desanya.

“Gila, bro. Saya sempa takut tadi. Tinggi juga itu. Tapi, segar airnya nih,” kata Herry setelah melakukan aksi terjun yang pertama kali dilakukannya di Cunca Wulang. Air kolam yang mengalir itu terlihat kehijauan, sehingga kami tak dapat melihat bagian dasarnya. Arus hanya terasa di bagian dalam, sebab di permukaan tidak terlampau tampak air yang bergerak. Herry tampak berseri-seri. Dia segera berenang menuju tepian kolam, dan langsung meminta diperlihatkan hasil pengambilan gambar. Kepalang tanggung, saya memanasi Herry untuk mengulangi aksi terjunnya—dengan alasan mencari sudut gambar yang berbeda. “Supaya kita punya variasi gambar lah, bro,” saya coba menyakinkan lelaki asal Desa Moni, Ende, itu.

Rupanya, Herry setuju. Bahkan, pada aksi yang ketiga, Herry tak sendirian. Sugi yang mulanya tak tertarik, lantaran mengaku tak membawa bekal pakaian dalam pengganti, akhirnya melepaskan baju dan celana panjangnya. Dan, keduanya sama-sama melompat dari ketinggian.

Masyarakat setempat menyebut aliran air yang jatuh dari ketinggian di sela bebatuan itu sebagai ‘cunca’. Sementara itu ‘wulang’ berarti ‘bulan’. Konon, ada yang bilang bahwa bentuk air terjun itu seperti bulan. Dari pengalamannya itu, Herry lantas memilih Cunca Wulang sebagai destinasi air terjun yang paling disukai. Dia bilang kepada saya, sudah puluhan air terjun yang dikunjunginya di seantero Flores. Lantas, apa alasannya?

“Ada tiga hal. Pertama, untuk mencapai cunca kita harus trekking selama satu jam. Kedua, lanskapnya berupa ngarai . Ketiga, pengelolaan wisatanya sudah melibatkan partisipasi masyarakat setempat.”

Untuk mencapai air terjun, pejalan harus mendaki, yang dimulai dari kampung terdekat. Tanjakannya menantang. Dan, cocok untuk memberikan sensasi yang berbeda bagi pengunjung—terutama yang mencari keringat. Cunca Wulang setidaknya memberikan alternatif bagi pejalan saat mengunjungi wilayah Flores bagian barat. Berada tak begitu jauh dari Labuanbajo, air terjun ini membuktikan bahwa bukan hanya komodo yang dapat kita lihat. Alam dan budaya masyarakat yang terus dilestarikan menyajikan pilihan dalam menu rupa-rupa yang ditawarkan pulau yang menjadi bagian dari gugusan Sunda Kecil.

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Gagasan ini merupakan bagian misi National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.