Rupa-rupa Ekowisata di Pulau Bunga

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:03 WIB
Deretan rumah tradisional tertata rapi mengikuti kode budaya dari leluhur. Pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Ngada. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Baca Juga: Manu, Ngana, dan Kaba: Cerita Hewan-Hewan Kurban Orang Bajawa

Bebatuan yang tersusun rapi memiliki kode budaya leluhur—menjadi bagian tak terpisahkan dari kampung adat di Flores (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Ary Suhandi yang memimpin diskusi telah memancing pembicaraan dengan melakukan refleksi terhadap destinasi ekowisata yang sudah disinggahi. Untuk pasar Indonesia, calon pembeli kerap mempermasalahkan biaya tiket penerbangan dari kota besar, misalnya Jakarta, menuju kotakota di Flores yang dinilai terlampau mahal, apabila dibandingkan dengan ongkos pergi ke Singapura.

“Ini perlu kita edukasi, bahwa biaya ke Singapura jelas lebih murah. Karena secara jarak (tempuh) memang lebih dekat dari Jakarta. Tetapi, soal biaya memang bergantung pada tujuan si wisatawan. Sebagian orang mengatakan value of money di (industri) pariwisata diukur dari kepuasan dan pengalaman yang didapat,” Ary memaparkan. Flores menawarkan pengalaman yang sangat berbeda dengan destinasi dunia lainnya. “Apakah kita bisa melihat langsung komodo (di habitatnya) di tempat lain? Apakah ada danau di atas gunung yang memiliki tiga warna? Apakah ada model sawah lingko di belahan bumi lain?”

Peserta diskusi yang memberikan masukan adalah Sahabuddin Nur. Lelaki yang mudah terlelap saat berdiam di dalam bus itu merupakan pemilik Matahari Holidays Tour & Travel di Makassar, Sulawesi Selatan—agen perjalanan yang memasarkan produk ekowisata di wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Ia menyoroti permasalahan bau yang kurang sedap, yang berasal dari kamar mandi hotel. Sahabuddin yang sudah puluhan tahun berkecimpung di industri wisata sangat menekankan betapa pentingnya kenyamanan dan pengelolaan kamar mandi di dalam tempat penginapan. Yang menarik, ia tak hanya memberikan kritik, tetapi juga menawarkan solusi.

Diskusi kian menghangat ketika Roelof Dieleman dari WAG Travel Belanda memberikan apresiasi terhadap upaya pembangunan infrastruktur yang berjalan baik di Flores. Ia mengamati selama perjalanan darat, mulai dari Ende ke Bajawa (Ngada) hingga Ruteng di Manggarai, jaringan jalan telah dilapisi aspal mulus. Di beberapa bagian, jaringan jalan yang menghubungkan antarkota di Pulau Bunga itu memang masih dalam tahap peningkatan kualitas. Ia memahami, bukanlah hal yang mudah untuk membangun infrastruktur di wilayah Flores.

Baca Juga: Untold Flores: Berbagi Cerita Tentang Makna Sebuah Perjalanan

Para perempuan yang menyambut tetamu. Masyarakat Manggarai menyajikan seni dan budaya yang diwariskan leluhur kepada tetamu —entah itu wisatawan atau pejabat penting pemerintahan. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Ide sederhana datang dari Paul, pengelola perjalanan ekowisata yang bermukim di Singapura. Ia menawarkan branding untuk Flores, yang memiliki makna ‘bunga’ dalam bahasa Portugis. “Nah, kenapa tidak kembali menghadirkan bunga di setiap pelosok pulau ini? Gerakan ini mudah saja. Caranya, setiap rumah menanam tanaman berbunga. Dan, ini perlu dukungan dari pihak pemerintah.” Peserta diskusi memberikan tanggapan atas ide tersebut. Dan, tentunya, aplaus bagi Paul.

Jess McKelson, Tour Director RAW Wildlife Activities, mengingatkan soal perencanaan tata ruang wilayah. Hal ini menjadi kunci penting dalam penataan suatu destinasi. Perempuan asal Australia ini khawatir apabila pemerintah daerah di Flores tidak mengimplementasikan rencana tata ruang yang telah disusun. Tentu, kekayaan alam dan budaya dapat terkena dampak langsung. Ini pun berkaitan dengan bagaimana masa depan pengembangan wisata di Flores. Pilihan itu ada pada pilihan wisata yang berkelanjutan.

Terlepas dari diskusi yang berlangsung penuh semangat itu, para peserta setuju bahwa Flores telah memiliki modal yang kuat dalam pengembangan industri pariwisata. Mulai dari alam yang unik, budaya menarik, hingga masyarakat yang ramah terhadap pendatang.

Herry Wngge terus berupaya meyakinkan saya. “Ini kesempatan, bro. Nanti kalau sudah di sana, saya mau terjun dan berenang,” katanya, bersemangat. Saya masih menimbang-nimbang ajakan lelaki yang berprofesi sebagai pemandu perjalanan di wilayah Flores dan sekitarnya ini. Ketika kami tiba di pelataran kantor Bupati Manggarai di Ruteng, Herry sudah melontarkan keinginannya.