Rupa-rupa Ekowisata di Pulau Bunga

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:03 WIB
Deretan rumah tradisional tertata rapi mengikuti kode budaya dari leluhur. Pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Ngada. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Untunglah sekitar dua belas tahun silam ada jalan tengah. Solusi bagi orang Manggarai yang ingin menampilkan caci dan budaya Manggarai yang sebenarnya dalam arena sebagai pertunjukan bagi wisatawan. Dengan bantuan dari LSM Swiss dan misionaris luar negeri, warga berhasil membangun kembali rumah adat yang berbentuk bundar itu di Desa Todo, tempat yang menjadi asal raja Manggarai yang ditunjuk pada zaman Belanda.

Pada 2002, salah seorang anggota keluargakerajaan menggelar ritual besar denganmengundang Menteri Kebudayaan dan Pariwisata(saat itu) I Gede Ardika—untuk mengunjungirumah adat. Sang menteri bersedia datang danmengukuhkan tempat itu sebagai desa wisata.

Baca Juga: Sedapkan Manggarai: Cengkerama Kuliner dan Masyarakat Labuan Bajo

Sawah dengan sistem lodok menyajikan pola unik—mirip jaring laba-laba yang memikat wisatawan. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Pada akhirnya, caci tetap dimainkan sebagai pertunjukan budaya Manggarai bagi wisatawan, dan melambangkan seni untuk tetamu penting. Sementara itu, caci tetap dimainkan untuk audiensi dari orang-orang Manggarai yang ingin melestarikan budaya dan hubungan dengan arwah leluhur dan lambang kegembiraan mereka dalam ekspresi seni tradisional.

Pertunjukan caci di Kampung Pusut baru saja usai. Lalu, para tetamu diminta memasuki bagian dalam rumah tuan rumah. Warga telah menyediakan santap siang—menunya khas setempat. Beres urusan perut, Herry kembali mendekati saya. Rupanya, lelaki yang bernama Herman belum berhenti merayu saat kami menyaksikan sajian tarian caci di Kampung Pusut, yang sudah masuk wilayah Manggarai Barat.

“Setelah makan siang, kita minta izin saja. Kita harus pergi ke sana.” Lelaki yang juga mengelola resor wisata di Moni ini mengompori saya. Ia kembali meyakinkan saya, perjalanan darat selama lebih dari 200 kilometer itu akan kehilangan makna, apabila saya belum mengunjungi salah satu destinasi yang menjadi incarannya tadi.

“Gimana, Mas Sugi. Kita bisa pinjam motor kah?” saya bertanya ke Sugiarto Agus, staf Indecon yang bertugas mengawal kegiatan wisata berkelanjutan di Manggarai dan Ngada.

“Sebentar, saya periksa dulu di kantor.”

“Oke! Siap, bro! Ayo, lompat sekarang!”

“Yeaaahhh!”

Byuuurrr!