Rupa-rupa Ekowisata di Pulau Bunga

By National Geographic Indonesia, Kamis, 7 Januari 2021 | 14:03 WIB
Deretan rumah tradisional tertata rapi mengikuti kode budaya dari leluhur. Pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Ngada. (Bayu D.M. Kusuma/National Geographic Traveler)

Sepasang kakinya menghujam air, yang memuncratkan isi kolam ke udara. Sejenak tenggelam, dia menyembul kepalanya.

“Mantap!”

Herry berteriak, kegirangan. Ia baru saja menuntaskan nazarnya: terjun dari puncak tebing cadas kokoh setinggi sepuluh meter ke dalam kolam air, yang berasal dari aliran Cunca Wulang. Inilah air terjun yang begitu diidamkan oleh Herry, sehingga dia tak pernah berhenti merayu saya untuk mengikuti langkahnya ke sana.

Baca Juga: Tiga Unsur Pembentuk Kampung Adat di Wilayah Wolotolo-Ende Lio

(National Geographic Traveler)

Sedari awal, Herry sudah mewanti-wanti saya untuk mengabadikan aksi terjun bebasnya tadi dengan kamera. Katanya, sebagai bukti sahih di kemudian hari. Itu sebabnya, begitu sampai di lembah aliran air terjun, kami segera melakukan orientasi. Yang pertama, melihat kemungkinan titik terjun. Air yang tumpah dari ketinggian ini menyediakan pasokan untuk kolam yang terbentuk alami di lembah sungai. Tetapi, kami datang pada musim kemarau. Aliran air tidak terlampau deras ketimbang ketika penghujan tiba.

Gemuruh air mendominasi lembah. Suara itu tentu membuat penasaran pendatang yang baru pertama kali menapakkan jejaknya di sini. Tebing cadas di kedua sisi aliran air menutupi pandangan ke sekeliling. Kalau ingin dapat pandangan yang lebih lega, ya harus berjalan mlipir di bebatuan hingga menuju puncak tebing. Lantas, di mana sih letaknya air terjun itu? Saya bergumam, penasaran.

Saya mengikuti langkah Sugiarto Agus dan Gregorius Harapan—pemuda Desa Cunca Wulang yang menjadi Ketua Lembaga Pengelola Pariwisata Cunca Wulang. Kami menuju arah timur. Cunca Wulang boleh dibilang mukjizat buat masyarakat Manggarai Barat. Bukan hanya mengalirkan nadi kehidupan, melainkan sekaligus memberikan panorama yang mengundang decak kagum. Air terjun itu bertingkat-tingkat. Di ujung tebing, yang berada di seberang air terjun pertama, kita bisa memandangi lembah sungai yang diapit dinding cadas kokoh. Pepohonan yang tumbuh di atasnya menyumbangkan warna hijau dan cokelat. Matahari yang bersinar di antara awan kelabu memberikan kesan dramatis, khas lanskap tropis. Amboi, cantik nian tanah Manggarai!

Setelah mengenali medan, Herry telah memilih lokasi terjun. Dia meminta saya untuk bersiap mencari sudut pengambilan gambar yang terbaik. Sugi memberikan saran. Tentu, kami harus mendengarkan sarannya, sebab dia yang pernah mengunjungi tempat ini beberapa kali— selain Goris, sapaan Gregorius yang telah berlatih melakukan pemanduan wisata bagi pelancong yang datang ke desanya.

“Gila, bro. Saya sempa takut tadi. Tinggi juga itu. Tapi, segar airnya nih,” kata Herry setelah melakukan aksi terjun yang pertama kali dilakukannya di Cunca Wulang. Air kolam yang mengalir itu terlihat kehijauan, sehingga kami tak dapat melihat bagian dasarnya. Arus hanya terasa di bagian dalam, sebab di permukaan tidak terlampau tampak air yang bergerak. Herry tampak berseri-seri. Dia segera berenang menuju tepian kolam, dan langsung meminta diperlihatkan hasil pengambilan gambar. Kepalang tanggung, saya memanasi Herry untuk mengulangi aksi terjunnya—dengan alasan mencari sudut gambar yang berbeda. “Supaya kita punya variasi gambar lah, bro,” saya coba menyakinkan lelaki asal Desa Moni, Ende, itu.

Rupanya, Herry setuju. Bahkan, pada aksi yang ketiga, Herry tak sendirian. Sugi yang mulanya tak tertarik, lantaran mengaku tak membawa bekal pakaian dalam pengganti, akhirnya melepaskan baju dan celana panjangnya. Dan, keduanya sama-sama melompat dari ketinggian.

Masyarakat setempat menyebut aliran air yang jatuh dari ketinggian di sela bebatuan itu sebagai ‘cunca’. Sementara itu ‘wulang’ berarti ‘bulan’. Konon, ada yang bilang bahwa bentuk air terjun itu seperti bulan. Dari pengalamannya itu, Herry lantas memilih Cunca Wulang sebagai destinasi air terjun yang paling disukai. Dia bilang kepada saya, sudah puluhan air terjun yang dikunjunginya di seantero Flores. Lantas, apa alasannya?

“Ada tiga hal. Pertama, untuk mencapai cunca kita harus trekking selama satu jam. Kedua, lanskapnya berupa ngarai . Ketiga, pengelolaan wisatanya sudah melibatkan partisipasi masyarakat setempat.”

Untuk mencapai air terjun, pejalan harus mendaki, yang dimulai dari kampung terdekat. Tanjakannya menantang. Dan, cocok untuk memberikan sensasi yang berbeda bagi pengunjung—terutama yang mencari keringat. Cunca Wulang setidaknya memberikan alternatif bagi pejalan saat mengunjungi wilayah Flores bagian barat. Berada tak begitu jauh dari Labuanbajo, air terjun ini membuktikan bahwa bukan hanya komodo yang dapat kita lihat. Alam dan budaya masyarakat yang terus dilestarikan menyajikan pilihan dalam menu rupa-rupa yang ditawarkan pulau yang menjadi bagian dari gugusan Sunda Kecil.

UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Gagasan ini merupakan bagian misi National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.