Penabur Benih Menuai Badai, Peran Rangkong dalam Detak Jantung Bumi

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 12:00 WIB
Sepasang julang sulawesi dewasa berbagi makanan berupa buah pohon ara di tepi Cagar Alam Tangkoko. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Beberapa orang menyebut suara kepak sayap raksasa julang sulawesi bagaikan helikopter hutan. Bentangan sayap itu menghasilkan suara menggetarkan di dalam rimba. Saya sendiri mendengar suara ini pertama kali pada tiga hari sebelumnya di kaki Gunung Batuangus, sekitar lima kilometer jauhnya dari Toka Tamboansela.

Dua puluh tahun silam, tak jauh dari sana, tepatnya di Taman Wisata Alam Batuputih, Tangkoko, Suer Suryadi mendirikan menara yang menjulang 40 meter ke angkasa guna melacak satwa ini. Hal yang diklaimnya sebagai pelacakan radio pertama julang sulawesi di Indonesia.

Dalam waktu kurang lebih satu bulan, peneliti lulusan Universitas Indonesia ini berhasil memasang pelacak berdiameter 1,5 dan panjang 4,8 sentimeter di punggung 10 julang sulawesi. Ia menggunakan tali rapuh agar mudah terlepas bila saatnya tiba. Dibutuhkan lima orang untuk memasang alat ini. Ia pun pernah mendapatkan patukan burung berparuh besar itu di jemarinya.

Pemasangan jaring untuk menangkap burung jantan dilakukan secara berhati-hati agar betina yang bersarang tak terganggu. Suer mengenang kegiatannya saat itu. “Kalau mendengar suara sayap pejantan yang datang untuk mengantarkan makan, kami bubar untuk bersembunyi.” Selama sembilan bulan, Suer yang didanai oleh hibah National Geographic Society serta bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society melacak kesepuluh objek penelitiannya setiap menit, dari pukul enam pagi sampai pukul enam malam.

Baca Juga: Rangkong Gading, Burung Purba yang Bisa Hidup Puluhan Tahun Kabarnya Berstatus Terancam Punah

Enggang cula atau rangkong badak (Buceros rhinoceros) di Bali Zoo, Gianyar, Bali. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Selain di taman wisata alam, ia menempatkan dua menara lagi di perbukitan di sekitar wilayah itu. Hanya petir yang bisa membuat mereka turun dari ketinggian. Melalui penelitian ini Suer mengambil kesimpulan. “Jarak terbang per hari yang bisa terpantau adalah 37 kilometer, tergantung pohon pakannya.” Itu sama dengan jarak dari pusat kota Jakarta ke wilayah Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dengan wilayah jelajah yang luas, para peneliti pun menyebut rangkong farmer of the rainforest, atau petani hutan.

Ada 55 jenis rangkong yang tersebar di permukaan bumi. Namun bagi Alan Kemp, peneliti asal AS yang tergila-tila pada rangkong sejak 1970-an, Rhinoplax vigil yang hidup di Sumatra dan Kalimantan meninggalkan kesan yang mendalam. Ia menggambarkan pertemuannya dengan satwa ini di tengah Pulau Borneo dalam tulisan pembuka bab pertama bukunya The Hornbills, yang terbit pada 1995.

Suara rangkong yang memiliki nama lokal enggang gading, memang mampu menyihir siapa pun yang mendengarnya. Vokalisasi kung… kung… kung… yang semakin lama bertempo semakin cepat dan diakhiri dengan suara bagaikan tawa yang lirih membahana di tengah hutan, mampu membuat saya merinding setiap kali mendengarnya. Suara ini bisa terdengar dua hingga tiga kilometer jauhnya di dalam hutan. Kemp menamainya maniacal laughter, dan Yoki, panggilan akrab Yok Yok, menyebut suara ini sebagai ketawa setan.

Di balik pesonanya, wilayah hutan yang kian menyempit menjadi suatu ancaman yang amat serius bagi rangkong. Dalam satu tahun, rata-rata sepasang enggang gading menghasilkan satu anak. Dalam rentang umurnya yang mencapai sepuluh tahun, burung ini matang kelamin pada usia sekitar tiga tahun. Jika diasumsikan bahwa waktu efektif berkembang biak adalah tujuh tahun, artinya sepasang rangkong hanya menghasilkan tujuh anak seumur hidupnya.

Namun, ada faktor pembatas yang sangat mutlak. Yaitu ketersediaan pohon sarang. Burung bertubuh besar ini harus mencari pohon berlubang yang memiliki minimal diameter 50 sentimeter, sekitar sepelukan orang dewasa yang tentunya ada di hutan primer, dan biasanya sangat rapuh karena usia.

Baca Juga: Makaka Pendaulat Takhta, Kisah Sosial Politik Yaki di Sulawesi Utara

Sepasang julang sulawesi dewasa. Masa bersarang dan mengerami telur biasanya dimulai pada pertengahan tahun. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

“Jika ia tak menemukan sarang, fase memiliki anak ini akan terlewatkan,” kata Yoki yang tak sungkan menirukan suara rangkong di dalam kafe, di perjumpaan pertama kami pada 2009. Lantas, dengan semakin menyusutnya hutan primer di Indonesia, ke mana lagi rangkong akan mencari sarang?

Yang menjadi lebih celaka, lanjut Yoki, kita tak tahu populasi rangkong di alam. Ia membandingkan hal ini dengan riset rangkong di Thailand yang paling maju dan memiliki studi populasi yang sangat baik, dipimpin oleh Pilai Poonswad, wanita berusia 67 tahun yang masih aktif hingga kini. Sekarang Yoki sedang mencoba memperkirakan populasi satwa ini baik di Sumatra, maupun Kalimantan. Akhirnya, sasaran di masa mendatang adalah memperbarui status rangkong Indonesia dalam daftar IUCN.

Di kalimantan, walau tak semua suku memiliki pandangan khusus terhadap burung ini, rangkong memiliki kedekatan dengan budaya Dayak. Tak mengherankan pula jika enggang gading yang disebut penduduk setempat dengan nama tingaang ini ditahbiskan menjadi simbol Provinsi Kalimantan Barat.

“Orang Dayak dari subsuku Kenyah mengagungkan enggang sebagai  simbol alam atas, atau alam dewata. Manifestasi penghormatan masyarakat Dayak terhadap enggang itu dapat dilihat dalam tari Kancet Lasan. Ia adalah potret nyata bagi terciptanya harmonisasi antara manusia dengan alam,” ungkap Faizal Amin.

Bagi masyarakat Dayak suku Taman dan Kayan, burung enggang dianggap sebagai burung tunggangan Dewata yang mengantarkan arwah ke Bukit Lumut, papar Faizal, seorang dosen STAIN Pontianak yang pernah melakukan penelitian manuskrip klasik tentang tradisi berhuma komunitas Dayak.

Bagi Martinus Nanang, dosen sosio-antropologi di Universitas Mulawarman, Samarinda, yang terlahir ke dalam komunitas Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur, simbol enggang bermakna kekuasaan, karena “enggang selalu berada di tempat yang paling tinggi. Terbang tinggi dan hinggap di pohon yang tinggi,” ungkapnya.

Selain itu, menurutnya bagi orang Dayak, bulu enggang yang berwarna hitam dan putih adalah simbol dari keindahan. “Enggang sangat populer dan penting bagi suku-suku yang tergolong kelompok Kayan: Bahau, Kayan, dan Kenyah,” lanjutnya, walau ia tak menampik kemungkinan bahwa mungkin tak hanya kelompok tersebut yang mengagungkan enggang.

Baca Juga: Mengikuti Ritual Rambu Solo di Mamasa, Apa Bedanya dengan di Toraja?

Julang sulawesi dewasa di Taman Wisata Alam Batuputih, Tangkoko, Sulawesi Utara. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)