Penabur Benih Menuai Badai, Peran Rangkong dalam Detak Jantung Bumi

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 12:00 WIB
Sepasang julang sulawesi dewasa berbagi makanan berupa buah pohon ara di tepi Cagar Alam Tangkoko. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Tetes air terakhir baru terjun dari langit. Uap putih membubung keluar dari lantai hutan, menembus sela-sela ranting dan dedaunan. Gunung Batuangus menjulang di kejauhan, berpayung mega pada puncaknya. Merpati hutan terbang beriringan di atas tajuk hutan di seberang Toka Tamboansela, Bitung, Sulawesi Utara.

Saya menekuk kaki rapat-rapat. Tak ada cukup tempat di atas empat lembar papan yang membentuk bidang satu kali dua meter ini untuk menyamankan badan. Selain saya dan Reynold, fotografer, tempat ini disesaki tas, tripod, kamera, juga tali yang berseliweran mengamankan alat serta badan.

Saya mengintip melalui sela alas yang ditopang rangkaian pipa besi. Kami ada di ketinggian setara dengan empat lantai gedung bertingkat, tepat di bibir lembah. Jantung saya berdegup kencang saat memanjati pipa nan licin.

Matahari merayap ke atas kepala. Saya yang kepanasan mencoreti buku saku sembari sesekali melepas pandangan di antara lembaran ponco yang menutup rapat atas menara. Tiba-tiba suara samar tertangkap telinga. Bagi saya seperti gonggongan anjing: Guk!.. guk!... guk!... Tak lama kemudian, suara berat kepak sayap: wug… wug… wug… datang dari puncak lembah.

Akhirnya tiba juga satwa yang kami tunggu-tunggu. Sepasang julang sulawesi hinggap di pohon ara yang berhadapan dengan menara. Burung berlabel nama latin Aceros cassidix ini meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Si jantan mencapit buah dengan paruh, sementara sang betina menghilang di balik dahan dan rimbun daun.

Baca Juga: Balung Burung Ini Lebih Mahal dari Gading Gajah, Saat Ini Spesiesnya Kritis Menuju Punah

Rangkong gading (Rhinoplax vigil)

Kadang mereka berdiam, lalu kembali sibuk dengan buah yang berkilau kemerahan. Bisa jadi, orang memandang satwa ini sama seperti semua burung yang hidup di hutan. Padahal, rangkong punya jasa yang besar dalam  setiap detak jantung bumi.

The real carbon superhero adalah rangkong,” tegas Yok Yok Hadiprakarsa, peneliti yang mendalami rangkong sejak 1999. Sekitar 90 persen makanan rangkong adalah buah, sementara sisanya adalah satwa-satwa kecil yang menjadi sumber protein, terutama kala sang betina bersarang.

“Disebut seperti itu karena sebagai pemakan buah, fungsi ekologi utamanya adalah pemencar biji. Dengan begitu, rangkong menjaga kesehatan hutan,” papar pria yang mendapatkan gelar Master of Science dari University of Georgia di Amerika Serikat ini dengan bersemangat. Tidak ada satwa lain yang seefektif satwa ini dalam menyebarkan biji di seantero hutan. Karena selain memiliki ukuran tubuh yang besar, daya terbangnya pun jauh. Hal ini yang membuat rangkong berbeda dari burung lainnya.

 

Beberapa orang menyebut suara kepak sayap raksasa julang sulawesi bagaikan helikopter hutan. Bentangan sayap itu menghasilkan suara menggetarkan di dalam rimba. Saya sendiri mendengar suara ini pertama kali pada tiga hari sebelumnya di kaki Gunung Batuangus, sekitar lima kilometer jauhnya dari Toka Tamboansela.

Dua puluh tahun silam, tak jauh dari sana, tepatnya di Taman Wisata Alam Batuputih, Tangkoko, Suer Suryadi mendirikan menara yang menjulang 40 meter ke angkasa guna melacak satwa ini. Hal yang diklaimnya sebagai pelacakan radio pertama julang sulawesi di Indonesia.

Dalam waktu kurang lebih satu bulan, peneliti lulusan Universitas Indonesia ini berhasil memasang pelacak berdiameter 1,5 dan panjang 4,8 sentimeter di punggung 10 julang sulawesi. Ia menggunakan tali rapuh agar mudah terlepas bila saatnya tiba. Dibutuhkan lima orang untuk memasang alat ini. Ia pun pernah mendapatkan patukan burung berparuh besar itu di jemarinya.

Pemasangan jaring untuk menangkap burung jantan dilakukan secara berhati-hati agar betina yang bersarang tak terganggu. Suer mengenang kegiatannya saat itu. “Kalau mendengar suara sayap pejantan yang datang untuk mengantarkan makan, kami bubar untuk bersembunyi.” Selama sembilan bulan, Suer yang didanai oleh hibah National Geographic Society serta bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society melacak kesepuluh objek penelitiannya setiap menit, dari pukul enam pagi sampai pukul enam malam.

Baca Juga: Rangkong Gading, Burung Purba yang Bisa Hidup Puluhan Tahun Kabarnya Berstatus Terancam Punah

Enggang cula atau rangkong badak (Buceros rhinoceros) di Bali Zoo, Gianyar, Bali. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Selain di taman wisata alam, ia menempatkan dua menara lagi di perbukitan di sekitar wilayah itu. Hanya petir yang bisa membuat mereka turun dari ketinggian. Melalui penelitian ini Suer mengambil kesimpulan. “Jarak terbang per hari yang bisa terpantau adalah 37 kilometer, tergantung pohon pakannya.” Itu sama dengan jarak dari pusat kota Jakarta ke wilayah Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dengan wilayah jelajah yang luas, para peneliti pun menyebut rangkong farmer of the rainforest, atau petani hutan.

Ada 55 jenis rangkong yang tersebar di permukaan bumi. Namun bagi Alan Kemp, peneliti asal AS yang tergila-tila pada rangkong sejak 1970-an, Rhinoplax vigil yang hidup di Sumatra dan Kalimantan meninggalkan kesan yang mendalam. Ia menggambarkan pertemuannya dengan satwa ini di tengah Pulau Borneo dalam tulisan pembuka bab pertama bukunya The Hornbills, yang terbit pada 1995.

Suara rangkong yang memiliki nama lokal enggang gading, memang mampu menyihir siapa pun yang mendengarnya. Vokalisasi kung… kung… kung… yang semakin lama bertempo semakin cepat dan diakhiri dengan suara bagaikan tawa yang lirih membahana di tengah hutan, mampu membuat saya merinding setiap kali mendengarnya. Suara ini bisa terdengar dua hingga tiga kilometer jauhnya di dalam hutan. Kemp menamainya maniacal laughter, dan Yoki, panggilan akrab Yok Yok, menyebut suara ini sebagai ketawa setan.

Di balik pesonanya, wilayah hutan yang kian menyempit menjadi suatu ancaman yang amat serius bagi rangkong. Dalam satu tahun, rata-rata sepasang enggang gading menghasilkan satu anak. Dalam rentang umurnya yang mencapai sepuluh tahun, burung ini matang kelamin pada usia sekitar tiga tahun. Jika diasumsikan bahwa waktu efektif berkembang biak adalah tujuh tahun, artinya sepasang rangkong hanya menghasilkan tujuh anak seumur hidupnya.

Namun, ada faktor pembatas yang sangat mutlak. Yaitu ketersediaan pohon sarang. Burung bertubuh besar ini harus mencari pohon berlubang yang memiliki minimal diameter 50 sentimeter, sekitar sepelukan orang dewasa yang tentunya ada di hutan primer, dan biasanya sangat rapuh karena usia.

Baca Juga: Makaka Pendaulat Takhta, Kisah Sosial Politik Yaki di Sulawesi Utara

Sepasang julang sulawesi dewasa. Masa bersarang dan mengerami telur biasanya dimulai pada pertengahan tahun. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

“Jika ia tak menemukan sarang, fase memiliki anak ini akan terlewatkan,” kata Yoki yang tak sungkan menirukan suara rangkong di dalam kafe, di perjumpaan pertama kami pada 2009. Lantas, dengan semakin menyusutnya hutan primer di Indonesia, ke mana lagi rangkong akan mencari sarang?

Yang menjadi lebih celaka, lanjut Yoki, kita tak tahu populasi rangkong di alam. Ia membandingkan hal ini dengan riset rangkong di Thailand yang paling maju dan memiliki studi populasi yang sangat baik, dipimpin oleh Pilai Poonswad, wanita berusia 67 tahun yang masih aktif hingga kini. Sekarang Yoki sedang mencoba memperkirakan populasi satwa ini baik di Sumatra, maupun Kalimantan. Akhirnya, sasaran di masa mendatang adalah memperbarui status rangkong Indonesia dalam daftar IUCN.

Di kalimantan, walau tak semua suku memiliki pandangan khusus terhadap burung ini, rangkong memiliki kedekatan dengan budaya Dayak. Tak mengherankan pula jika enggang gading yang disebut penduduk setempat dengan nama tingaang ini ditahbiskan menjadi simbol Provinsi Kalimantan Barat.

“Orang Dayak dari subsuku Kenyah mengagungkan enggang sebagai  simbol alam atas, atau alam dewata. Manifestasi penghormatan masyarakat Dayak terhadap enggang itu dapat dilihat dalam tari Kancet Lasan. Ia adalah potret nyata bagi terciptanya harmonisasi antara manusia dengan alam,” ungkap Faizal Amin.

Bagi masyarakat Dayak suku Taman dan Kayan, burung enggang dianggap sebagai burung tunggangan Dewata yang mengantarkan arwah ke Bukit Lumut, papar Faizal, seorang dosen STAIN Pontianak yang pernah melakukan penelitian manuskrip klasik tentang tradisi berhuma komunitas Dayak.

Bagi Martinus Nanang, dosen sosio-antropologi di Universitas Mulawarman, Samarinda, yang terlahir ke dalam komunitas Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur, simbol enggang bermakna kekuasaan, karena “enggang selalu berada di tempat yang paling tinggi. Terbang tinggi dan hinggap di pohon yang tinggi,” ungkapnya.

Selain itu, menurutnya bagi orang Dayak, bulu enggang yang berwarna hitam dan putih adalah simbol dari keindahan. “Enggang sangat populer dan penting bagi suku-suku yang tergolong kelompok Kayan: Bahau, Kayan, dan Kenyah,” lanjutnya, walau ia tak menampik kemungkinan bahwa mungkin tak hanya kelompok tersebut yang mengagungkan enggang.

Baca Juga: Mengikuti Ritual Rambu Solo di Mamasa, Apa Bedanya dengan di Toraja?

Julang sulawesi dewasa di Taman Wisata Alam Batuputih, Tangkoko, Sulawesi Utara. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Selain itu, enggang juga merupakan lambang kesetiaan karena tak akan mencari pasangan lain dalam hidupnya, bahkan setelah ditinggal mati.

Saya duduk di atas sofa di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. Seorang petugas mengulurkan tangannya, menyodorkan sesuatu yang sebelumnya ada di dalam koper dan terbungkus plastik hitam: sederetan kepala enggang gading yang kini tinggal paruh dan balungnya­—tonjolan keras yang ada di bagian atas kepala.

Tangan saya gemetar saat menerimanya. Balung enggang ini amat tebal dan keras. Paruh bagian bawahnya telah tiada, sementara di kedua sisinya ada lapisan berwarna cokelat kemerahan dari bahan serupa kuku. Saya pandangi seluruh jajaran paruh enggang yang terdiri dari enam hingga sepuluh setiap bungkusnya dalam diam.

Adam Mustofa, salah satu petugas penyidik Balai yang menangani kasus ini berkisah: Pada 4 Januari silam, sekitar pukul satu pagi, petugas keamanan Bandara Soekarno-Hatta  Jakarta berhasil menyita 246 balung enggang gading dari empat pria berkebangsaan Cina saat hendak mengudara menggunakan China Airlines menuju Hongkong.

Seluruh balung berikut paruh enggang itu mereka bungkus dengan plastik hitam, dan diselipkan di sela-sela baju. Tak hanya balung enggang, “Di dalamnya diselipkan 289 keping sisik trenggiling. Ini kasus penyelundupan rangkong yang pertama bagi kami,” ungkap Adam lebih lanjut. Ia mengeluhkan sulitnya proses penyidikan karena para tersangka bahkan tak fasih berbahasa Mandarin. Mereka menggunakan bahasa daerah.

Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?

Julang Sulawesi (Aceros cassidix) di Sulawesi Utara. Biasa juga disebut rangkong atau enggang. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Saat saya bertanya apa yang menyebabkan permintaan enggang gading begitu tinggi, jawaban yang didapatkan dari Adam dan Yoki, serupa. Balungnya dipercaya sebagai antitoksin dan afrodisiak di Cina. Hanya enggang gadinglah rangkong di dunia yang memiliki balung yang solid, balung gading. Sementara rangkong jenis lainnya dikaruniai balung yang bagian dalamnya memiliki rongga.

Angka 246 tidaklah membuat Yoki takjub. Di Kalimantan Barat, sejak Agustus 2012 hingga April 2013 lalu, 692 kepala rangkong berhasil disita oleh pihak BKSDA Pontianak. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dalam proyek yang dikerjakan oleh Indonesia Hornbill Conservation Society, Titian Foundation, dan Wildlife Conservation Society, bahkan jika dihitung sejak Maret 2012, terdapat 1.027 balung rangkong yang berhasil disita saat hendak diselundupkan ke beberapa negara. 

Bagaimana caranya hingga sekian banyak paruh bisa dikumpulkan dengan mudahnya? Ketiga lembaga ini telah mendeteksi beberapa lokasi perburuan di Kalimantan Barat, yang dilakukan dengan senjata rakitan, bahkan menggunakan senjata AK-47. “Dengan temuan tersebut, diperkirakan kurang lebih 80 hingga 1.800 balung enggang gading berhasil dikumpulkan setiap bulannya!” ujar Yoki sambil menatap saya lekat-lekat.

Baca Juga: Mengamati Maleo dan Menelusuri Peninggalan Megalitikum di Lore Lindu

Seekor rangkong (kemungkinan rangkong badak, Buceros rhinoceros) di wilayah Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Dampak dari perburuan ini dirasakan betul olehnya. Pada 2009, Yoki bertugas ke salah satu wilayah hutan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dengan mudahnya ia mendengar suara sang enggang gading nan tersohor di antara rimbunnya pepohonan.

Pada 2012 ia kembali ke hutan yang sama. Ia pun takjub dengan apa yang saat itu tak ia temukan. Suara rangkong berparas unik itu tidak lagi membahana. Hutan yang amat akrab dengan dirinya itu telah senyap dari ketawa setan.

Kembali di atas menara di Toka Tamboansela, sepuluh menit berlalu hingga akhirnya kepak sayap julang sulawesi terdengar lagi dan  menghilang ke tengah lembah. Dengan paruh berwarna-warni serta bulu hitam putih, pasangan ini anggun menjelajah angkasa nan biru. Saya termenung. Semoga nasib rangkong yang satu ini tak serupa dengan enggang gading. Semoga jika suatu saat saya kembali, suara khas gonggongan anjing dan helikopter hutan itu masih bisa terdengar di atas tajuk hutan Sulawesi Utara.

Feature "Penabur Benih Menuai Badai" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2013.