Selain itu, enggang juga merupakan lambang kesetiaan karena tak akan mencari pasangan lain dalam hidupnya, bahkan setelah ditinggal mati.
Saya duduk di atas sofa di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam DKI Jakarta. Seorang petugas mengulurkan tangannya, menyodorkan sesuatu yang sebelumnya ada di dalam koper dan terbungkus plastik hitam: sederetan kepala enggang gading yang kini tinggal paruh dan balungnya—tonjolan keras yang ada di bagian atas kepala.
Tangan saya gemetar saat menerimanya. Balung enggang ini amat tebal dan keras. Paruh bagian bawahnya telah tiada, sementara di kedua sisinya ada lapisan berwarna cokelat kemerahan dari bahan serupa kuku. Saya pandangi seluruh jajaran paruh enggang yang terdiri dari enam hingga sepuluh setiap bungkusnya dalam diam.
Adam Mustofa, salah satu petugas penyidik Balai yang menangani kasus ini berkisah: Pada 4 Januari silam, sekitar pukul satu pagi, petugas keamanan Bandara Soekarno-Hatta Jakarta berhasil menyita 246 balung enggang gading dari empat pria berkebangsaan Cina saat hendak mengudara menggunakan China Airlines menuju Hongkong.
Seluruh balung berikut paruh enggang itu mereka bungkus dengan plastik hitam, dan diselipkan di sela-sela baju. Tak hanya balung enggang, “Di dalamnya diselipkan 289 keping sisik trenggiling. Ini kasus penyelundupan rangkong yang pertama bagi kami,” ungkap Adam lebih lanjut. Ia mengeluhkan sulitnya proses penyidikan karena para tersangka bahkan tak fasih berbahasa Mandarin. Mereka menggunakan bahasa daerah.
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
Saat saya bertanya apa yang menyebabkan permintaan enggang gading begitu tinggi, jawaban yang didapatkan dari Adam dan Yoki, serupa. Balungnya dipercaya sebagai antitoksin dan afrodisiak di Cina. Hanya enggang gadinglah rangkong di dunia yang memiliki balung yang solid, balung gading. Sementara rangkong jenis lainnya dikaruniai balung yang bagian dalamnya memiliki rongga.
Angka 246 tidaklah membuat Yoki takjub. Di Kalimantan Barat, sejak Agustus 2012 hingga April 2013 lalu, 692 kepala rangkong berhasil disita oleh pihak BKSDA Pontianak. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dalam proyek yang dikerjakan oleh Indonesia Hornbill Conservation Society, Titian Foundation, dan Wildlife Conservation Society, bahkan jika dihitung sejak Maret 2012, terdapat 1.027 balung rangkong yang berhasil disita saat hendak diselundupkan ke beberapa negara.
Bagaimana caranya hingga sekian banyak paruh bisa dikumpulkan dengan mudahnya? Ketiga lembaga ini telah mendeteksi beberapa lokasi perburuan di Kalimantan Barat, yang dilakukan dengan senjata rakitan, bahkan menggunakan senjata AK-47. “Dengan temuan tersebut, diperkirakan kurang lebih 80 hingga 1.800 balung enggang gading berhasil dikumpulkan setiap bulannya!” ujar Yoki sambil menatap saya lekat-lekat.
Baca Juga: Mengamati Maleo dan Menelusuri Peninggalan Megalitikum di Lore Lindu
Dampak dari perburuan ini dirasakan betul olehnya. Pada 2009, Yoki bertugas ke salah satu wilayah hutan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dengan mudahnya ia mendengar suara sang enggang gading nan tersohor di antara rimbunnya pepohonan.
Pada 2012 ia kembali ke hutan yang sama. Ia pun takjub dengan apa yang saat itu tak ia temukan. Suara rangkong berparas unik itu tidak lagi membahana. Hutan yang amat akrab dengan dirinya itu telah senyap dari ketawa setan.
Kembali di atas menara di Toka Tamboansela, sepuluh menit berlalu hingga akhirnya kepak sayap julang sulawesi terdengar lagi dan menghilang ke tengah lembah. Dengan paruh berwarna-warni serta bulu hitam putih, pasangan ini anggun menjelajah angkasa nan biru. Saya termenung. Semoga nasib rangkong yang satu ini tak serupa dengan enggang gading. Semoga jika suatu saat saya kembali, suara khas gonggongan anjing dan helikopter hutan itu masih bisa terdengar di atas tajuk hutan Sulawesi Utara.
Feature "Penabur Benih Menuai Badai" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2013.